1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga Raden Truno Joyo
1.3 Nasab Raden Truno Joyo
1.4 Wafat
2.1 Guru-guru Raden Truno Joyo
1 Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
Raden Truno Joyo lahir pada tahun 1649 di Arosbaya atau sekarang lebih dikenal dengan nama Bangkalan. Beliau adalah Putra dari Demang Melaya Kusuma dan cucu dari CakraNingrat I.
1.2 Riwayat Keluarga Raden Truno Joyo
Raden Truno Joyo menikah dengan Putri dari Pangeran Kajoran dan dikarunia seorang putra yang meninggal sewaktu berjuang melawan VOC
1.3 Nasab Raden Truno Joyo
Raden Truno Joyo masih keturunan dari Rasulullah SAW dengan Jalur Silisilah sebagai berikut :
- Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
- Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti
- Al-Imam Al-Husain bin
- Al-Imam Ali Zainal Abidin bin
- Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin
- Al-Imam Ja’far Shadiq bin
- Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin
- Al-Imam Muhammad An-Naqib bin
- Al-Imam Isa Ar-Rumi bin
- Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin
- As-Sayyid Ubaidillah bin
- As-Sayyid Alwi bin
- As-Sayyid Muhammad bin
- As-Sayyid Alwi bin
- As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin
- As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin
- As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin
- As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
- As-Sayyid Abdullah bin
- As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin
- As-Sayyid Husain Jamaluddin bin
- As-Sayyid Ibrahim Zainuddin As-Samarqandy
- As-Sayyid Ali Rahmatullah
- As-Sayyid Hamzah atau Pangeran Tumapel
- As-Sayyid Kalkum atau Pangeran Wot Galeh
- Pangeran Sawo Kajoran + Nyai Gede Sawo Binti Sunan Giri
- Pangeran Mas Waringin Pitu
- Pangeran Mas Panetan
- Pangeran Sobo Ronggo ing Nepa
- Syarifah Ambami atau Ratu Ibu Arosbaya + P Cakraningrat I
- Pangeran Demang Melayakusuma
- Pangeran Truno Joyo atau Panembahan Maduretno
1.4 Wafat
Raden Truno Joyo Wafat pada 2 Januari 1680 di Payak Bantul.
2 Sanad Ilmu dan Pendidikan Raden Truno Joyo
2.1 Guru Raden Truno Joyo
- Panembahan Rama Kajoran atau Raden Kajoran Ambalik
3. Perjalanan Hidup Raden Truno Joyo
Setelah Sultan Agung Hanyakrakusuma wafat pada tahun 1645, kedudukannya digantikan oleh putranya yang bergelar Susuhunan Amangkurat I. Raja Mataram yang baru ini kelihatan lemah dan tidak menunjukkan kemampuan seperti Sultan Agung. Gejala ini ditandai dengan tindakannya yang keliru, yaitu membuat perjanjian dengan kompeni yang isinya mengizinkan VOC berdagang di semua bandar wilayah Mataram. Kebijakan Amangkurat I menimbulkan kegelisahan rakyat karena buruknya cara ia memerintah
Raden Truno Joyo adalah salah satu tokoh pejuang yang dilahirkan di Sampang, Madura. Beliau mengobarkan perang melawan kompeni Belanda dan Mataram dari tahun 1677 sampai dengan tahun 1680. Raden Truno Joyo merupakan putra Demang Malaya yang masih berhubungan darah dengan Cakraningrat I dari Madura, Raden Truno Joyo diberi hak tinggal di lingkungan Keraton Mataram atas perintah Raja Mataram Meskipun tidak terlalu detil, kisahnya dituliskan relatif panjang di buku Babad Tanah Jawi.
Ayahnya Demang Malaya di Sampang Madura. Saudara tua sang Adipati Cakraningrat II di Sampang. Ki Demang Malaya meninggal ketika berperang dengan Pangeran Alit. Sepeninggal ayahnya, Raden Truno Joyo masih kanak-kanak. Kedudukan Ki Demang Malaya diganti adiknya yang bernama Cakraningrat II tadi. Raden Truno Joyo diasuh oleh pamannya . Setelah dewasa diusir oleh pamannya, dituduh mencintai putri sang Adipati. Cakraningrat II malah akan membunuh Raden Truno Joyo. Beliau dapat selamat, karena disembunyikan oleh orang-orang Sampang, sebab banyak yang sayang kepadanya. Raden Truno Joyo lalu ingin mengabdi kepada Pangeran Adipati Anom, tetapi tidak dapat menemukan jalan. Orang-orang di kadipaten semua dipengaruhi oleh Ki Cakraningrat II, supaya tidak diterima oleh Kanjeng Adipati Anom. Raden Truno Joyo lalu mengembara ke mana-mana, sampailah di Kajoran. Pangeran Kajoran sangat sayang padanya, lalu dijadikan menantunya serta sangat dimanjakan dalam segala hal. Pangeran tahu bahwa Raden Truno Joyo kelak akan menjadi prajurit besar, dapat menggemparkan seluruh tanah Jawa.
Pada waktu itu Pangeran Kajoran sedang duduk di rumahnya. Beliau terkejut melihat datangnya utusan dari Pangeran Adipati Anom yang menyampaikan pesan. Surat lalu diterima dan dibaca. Isi surat menyatakan kalau Pangeran Kajoran dipanggil Pangeran Adipati Anom. Pangeran berangkat ke kadipaten bersama utusan, demikian Raden Truno Joyo juga ikut mendampingi mertuanya itu. Setibanya di Mataram sudah berjumpa dengan Pangeran Adipati Anom, dipersilakan duduk di dalam.
Pangeran Adipati berkata, “Eyang saya mohon datang di kadipaten karena bingung hati saya serta khawatir, berhubung sekarang orang di Mataram sedih hatinya. Ayahanda Kanjeng Sultan sekarang berubah segala tindak tanduknya, tidak seperti dahulu. Ia selalu menerapkan kebijakan-kebijakan aneh membuat rusuh sendi-sendi kehidupan orang di seluruh negeri. Para bupati dan sentana mendesak saya supaya menjadi raja menggantikan ayahanda. Eyang, jika saya lalu me-lengser-kan kuasa ayahanda, betapa buruk komentar orang yang tidak senang pada saya. Jika saya tidak segera bertindak, suasana Mataram keburu rusak semua. Jadi sekarang yang menjadi kesimpulan dalam pikiran saya Eyang akan saya mohon jadi kepanjangan tangan saya membedah negara Mataram. Di mana tempat berkumpul untuk mengumpulkan prajurit besar-besaran terserah Eyang. Adapun tentang biaya perang serta semua perlengkapan dan senjata, saya yang menyediakan.”
Pangeran Kajoran berkata, “Ngger, yang jadi kehendakmu itu, saya keberatan, karena saya sudah tua.dan takut dengan sang Nata. Lagipula kehendakmu itu tidak baik, sebab dapat dikatakan nggege mangsa. Menurut saran saya, lebih baik bersabarlah. Demikianlah, kelak jika sang Prabu sudah tiada, pasti angger Pangeran Adipati yang mengganti.” Banyak sekali nasihat dari Pangeran Kajoran, tetapi keinginan Pangeran Adipati tidak dapat dicegah.
Kata Pangeran Kajoran, “Jika angger Pangeran bersikeras, saran saya mencari wakil saja. Saya punya wakil, yaitu menantu saya yang bernama Raden Truno Joyo, anaknya Demang Malaya dari Sampang Madura yang sudah meninggal. Ia kiranya dapat melaksanakan yang menjadi rencanamu, serta mampu membangun prajurit besar di Madura, Sekarang Raden Truno Joyo ikut saya.”
Pangeran sangat gembira mendengarnya. Lalu dipanggillah Raden Truno Joyo masuk ke dalam rumah kadipaten. Setiba di hadapan Pangeran Adipati lalu bersujud. Pangeran tertarik hatinya melihat Truna Jaya. Pangeran Kajoran berkata kepada Raden Truno Joyo, “ Kulup, kamu dipanggil Ngger Pangeran Adipati. Kamu ibaratnya mau dijadikan wayang, Supaya bisa membedah Mataram. Jika tidak baik nasibmu kamu bisa Mati, tetapi jika berhasil akan jadi lain lakon hidupmu selanjutnya. Bagaimana, apa kamu sanggup?
Raden Truno Joyo unjuk atur, “Saya siap melaksanakan. Meskipun sampai mati, hancur bercampur tanah, jika melaksanakan perintah Gusti, Saya tak bergeming.”
Pangeran Adipati mendengar kesediaan Raden Truno Joyo begitu Senang hatinya, katanya, “Truno Joyo, negara di Sampang aku serahkan kepadamu, aturlah. Semua orang di seluruh tanah Madura, cegahlah jika ada yang seba, menghadap, dan membayar upati ke Mataram, Bupatinya biarlah tinggal sendiri di Mataram. Jika sudah tegak balamu, segera tundukkan orang di tanah pesisiran dan manca-negari semua. Jika ada yang membandel gempur dengan peperangan. Tetapi pesanku kamu harus rapat-rapat menyimpan rahasia ini jangan sampai tersingkap oleh siapa pun. Kelak jika Mataram sudah berhasil dibedah, segerahlah datang menghadapku. Jika aku sudah menjadi raja, maka segala kuasa tata-pemerintahan negara, untung-malang nasibnya orang di seluruh negara Mataram sepenuhnya kuserahkan padamu. Aku sebagai lambang raja saja.”
Raden Truno Joyo dengan semangat menyatakan bersedia. Pangeran lalu memberi uang, pakaian, senjata serta perlengkapan perang lainnya dalam jumlah sangat besar. Raden Truno Joyo lalu lengser kembali pulang ke Kajoran, kemudian berkemas sambal membuat rencana.
Pangeran Kajoran berpesan kepadanya, “Kulup, pesanku padamu jangan khawatir. Negara Mataram pasti bedah oleh orang Madura. Bersegeralah, tegakkan bala prajuritmu di Surabaya. Kelak jika Mataram sudah kacau-balau, aku segera menyusul kamu.” .
Maka berangkatlah Raden Truno Joyo beserta anak-istri, dan seluruh kerabatnya ke Madura. Setibanya di Sampang orang Madura datang menyambutnya dengan senang hati . Gusti sesembahan mereka sudah kembali. Semua orang seluruh pesisir Madura seluruhnya sujud semua tak ada yang mbalela. Barisan Raden Truno Joyo semakin besar dan kuat.
Perang Truno Joyo mula-mula merupakan perang melawan raja Mataram, Amangkurat I, yang tidak memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Raden Truno Joyo bersekutu dengan Mas Rahmat atau Adipati Anom, putra Amangkurat I yang berselisih dengan ayahnya. Perselisihan ini dilatarbelakangi adanya isu jabatan Adipati Anom atau putra mahkota yang akan dipindahkan kepada Pangeran Singasari (putra Amangkurat I lainnya).
Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa dihadapan Pangeran Kajoran dan Raden Truno Joyo, Adipati Anom membuat perjanjian untuk membiayai seluruh kebutuhan perang Truno Joyo. Kelak jika menang, Raden Truno Joyo harus menyerahkan kekuasaan pada Adipati Anom. Pasukan Trunajaya diperkuat oleh 2.000 pasukan Makasar yang dipimpin oleh Kraeng Galesong . Pasukan ini sangat terlatih, karena telah memenangi berbagai perang. Selain itu, diperkuat pula dengan pasukan Panembahan Giri. Dengan pasukan gabungan itu, Raden Truno Joyo dengan mudah menaklukkan sejumlah wilayah Mataram.
Wilayah Rembang ke timur hingga Blambangan, Surabaya, Gunung Lawu ke timur hingga Blambangan, dan seluruh Madura tunduk pada kekuasaan Raden Truno Joyo. Beliau mengangkat diri sebagai raja berjuluk Panembahan Madu Retna Panatagama.
Masih dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan bahwa, pada Sabtu malam, tanggal 18 Sapar Tahun Be pasukan Truno Joyo berhasil merebut kraton Mataram (kala itu masih di Plered) sehingga memaksa Amangkurat I melarikan diri dan akhirnya meninggal lalu dimakamkan di Tegalarum, Tegal, sehingga dijuluki Susuhunan Tegalwangi atau Tegalarum. Sebelum wafat, Amangkurat I meminta anaknya, Raden Mas Rahmat atau Amangkurat II, untuk meminta bantuan kepada Kumpeni Belanda.
Dalam Babad Tanah Jawi juga dikisahkan, setelah menjarah harta pusaka keraton Mataram, Raden Truno Joyo memindahkan markas perlawanannya di Kediri, Jawa Timur. Karena itulah, pasukan Mataram yang dipimpin Pangeran Puger berhasil menguasai kembali keraton Mataram di Plered. Pangeran Puger kemudian mengangkat dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Susuhunan ing Ngalaga Abdurrachman Sayidin Panatagama atau Pakubuwana I. Itu berarti, kekuasaan Mataram tidak sempat diserahkan kepada Amangkurat II oleh Raden Truno Joyo .
Perang Truno Joyo memberikan kesempatan Kumpeni Belanda untuk terlibat dalam pertikaian. Kumpeni Belanda mengusulkan memberikan bantuan, tetapi dengan kompensasi yang sangat merugikan Mataram. Pada bulan September 1677 diadakanlah perjanjian di Jepara antara Mataram dengan pihak VOC yang diwakili Cornelis Speelman.
Adapun isinya sebagai berikut:
- Daerah-daerah pesisir utara Jawa mulai Karawang sampai ujung timur digadaikan pada VOC sebagai jaminan pembayaran biaya perang Trunajaya;
- Daerah-daerah bawahan Kerajaan Mataram seperti Karawang dan Pamanukan dialihkan penguasaannya kepada kompeni Belanda;
- Perdagangan candu dan bahan pakaian di seluruh wilayah kekuasaan Mataram menjadi hak monopoli Kompeni Belanda .
Dalam perhitungan Kompeni, jika Raden Truno Joyo sampai menguasai seluruh Jawa, tamatlah kekuasaannya karena dalam pasukan Raden Truno Joyo terdapat pula dibantu para pejuang Makasar pimpinan Karaeng Galesong, yaitu sisa-sisa pendukung Sultan Hasanuddin yang melawan Kumpeni Belanda.
Pada 29 Desember 1677 Kompeni Belanda memberangkatkan 1.900 pasukan yang terdiri atas pasukan gabungan dari Batavia dan Jepara dibawah pimpinan Cornelis Speelman. Bersama dengan pasukan Mataram, pasukan ini menyerbu pusat kedudukan Raden Truno Joyo di Surabaya. Karena kalah persenjataan, pasukan Raden Truno Joyo mundur ke Kediri. Dari Surabaya pasukan gabungan Mataram dan kompeni Belanda merangsek ke Madura yang merupakan pusat cadangan pasukan Raden Truno Joyo.
Untuk menyerbu Kediri dibentuklah pasukan gabungan antara tentara Kompeni Belanda, dengan pasukan dari Mataram, Jayakarta, Bugis, dan Ambon. Pada bulan Agustus 1678, ribuan pasukan yang dipimpin oleh Anthonie Hurdt, anggota Raad van Indie, itu menyerbu Kediri, pusat pertahanan Pangeran Trunajaya. Pertempuran berkobar dengan dahsyat, setiap jengkal tanah Kediri, dipertahankan mati-matian oleh pasukan Pangeran Trunajaya. Sekitar 400 orang pasukan Trunajaya gugur pada peristiwa ini. Kekalahan pasukan Trunajaya ini disebabkan kalah persenjataan yang diperparah dengan dirampasnya 8 perahu dari Madura yang mengangkut logistik untuk pasukan Trunajaya.
Gagal mempertahankan Kediri, Trunajaya dan pasukannya mundur ke Malang melalui Blitar. Pada saat di Blitar itulah istri dan anak lelaki tunggalnya meninggal akibat sakit dan kelaparan. Kematian ini tidak menyurutkan semangat beliau. Beliau tidak mau menyerah, melainkan memilih melakukan perang gerilya dengan memilih basis pertahanan di wilayah gunung Ngantang dan Limbangan yang masih berupa rimba.
Kompeni Belanda dan sekutunya kemudian menerapkan sistem pengepungan pagar betis. Pasukan Trunajaya terisolir dan tidak memperoleh pasokan logistik sehingga menderita kelaparan. Dalam kondisi demikian terjadi konflik internal antara pasukan Trunajaya dengan pasukan Makasar yang berbuntut pada keluarnya pasukan Makasar dari barisan pendukung Trunajaya.
Pada 15 Desember 1679 sejumlah besar pasukan Makassar yang bergabung ke pasukan Pangeran Trunajaya menyerahkan diri kepada Kompeni Belanda. Berbagai keadaan yang berat, tidak membuat Pangeran Trunajaya dan pasukannya menyerah. Namun, karena kondisi logistik yang makin sulit, pada 20 Desember 1679 Trunjaya akhirnya memperkenankan beberapa ratus pengikutnya, diantaranya para wanita, turun dari lereng gunung. Mereka ini kemudian ditangkap Kompeni Belanda pimpinan Kapten Jonker. Berdasarkan keterangan yang berhasil dikorek dari mereka, pasukan Kompeni dan Mataram mengepung pertahanan terakhir Pangeran Trunajaya dan sisa pasukannya di Gunung Limbangan.
Untuk menghindari kematian yang sia-sia, setelah pengepungan bagar betis selama sekitar 3 minggu, Trunajaya dan pasukannya menyerah. Dalam keadaan tidak berdaya karena kedua tangannya terikat, Trunajaya di eksekusi oleh bekas sekutunya, yaitu Susuhunan Amangkurat II. Peristiwa itu terjadi pada Selasa Kliwon, 2 Januari 1680. Trunajaya gugur sebagai penentang penjajah dan kesewenang-wenangan.
4 Keteladanan Raden Truno Joyo
Perang Trunajaya perlu dipelajari oleh generasi muda Indonesia. Hal ini dikarenakan kisah heroiknya mengandung nilai-nilai kepahlawanan, yaitu:
1). Anti penindasan, dimana Perang Trunajaya dipicu oleh kesewenang-wenangan pejabat Mataram (Pangeran Alit) yang membunuh ayahanda Trunajaya (Demang Melaya). Hal ini menumbuhkan benih-benih perlawanan pada diri Trunajaya.
2). Antikolonial, Perang Trunajaya adalah juga perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Penyerangan pasukan Trunajaya ke Jepara pada intinya merupakan upaya mengusir Kompeni Belanda. Bagi Belanda, keterlibatannya dilatarbelakangi oleh kekhawatirannya terhadap hilangnya kekuasaannya atas Jawa jika Trunajaya dan para sekutunya menguasai Jawa.
3). Pantang Menyerah, Trunajaya telah menunjukkan semangat pantang menyerah. Meski didera kekalahan dan kelaparan, ia tidak dengan serta merta menyerahkan diri. Ia terus berjuang hingga batas akhir kemampuannya di Gunung Limbangan.
4). Berani Berkorban, meski harus kehilangan istri anak lelaki tunggalnya serta kehilangan harta serta kekuasaannya sebagai penguasa Madura, Trunajaya tetap melanjutkan peperangan. Baginya, keberhasilan perjuangan lebih penting daripada kebahagiaan pribadi.
5). Nasionalisme, Perlawanan Trunajaya adalah perlawanan terhadap kekuasaan Kompeni Belanda. Trunajaya berhasil mengajak pasukan Makasar untuk melawan Kompeni. Nilai-nilai sebagaimana dipaparkan di atas perlu ditanamkan pada diri generasi muda Indonesia.
5 Referensi
- Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
- Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
- Serat Kandhaning Ringgit Purwa. Koleksi KGB. No 7.
- Sudibya, Z.H. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Proyek Peneribitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Kartodirdjo, Sartono (ed.). 1977. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
- Kasdi, Aminuddin. 2003. Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
https://www.laduni.id/post/read/517115/biografi-raden-truno-joyo-pahlawan-nusantara-abad-xvi.html