Sulastri (nama samaran), adalah perempuan berusia 30 tahun. Dia penyintas pemerkosaan dan perkawinan anak yang kemudian menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tubuhnya masih bergetar menahan tangis mengingat kisah kelam hidupnya 13 tahun lalu. Terlihat jelas betapa trauma itu masih ada walaupun tahun demi tahun telah berlalu.
Dengan tatapan nanar dia mengisahkan tragedi pemerkosaan yang menyebabkan dia hamil pada usia masih 17 tahun. Kondisi itu mengharuskan dia menikah dengan pelaku. Pernikahan yang diharapkan menutupi aib keluarga, justru menjadi tragedi yang tak berkesudahan. Alih-alih hidup bahagia, kekerasan demi kekerasan justru terus dialaminya.
“Saya sering dipukuli dengan sapu, disulut rokok, dan ditampar hanya karena masalah sepele seperti masakan tidak enak atau membangunkan tidur” kata sulastri dengan terbata-bata.
Dua tahun setelah anaknya lahir akhirnya Sulastri bercerai dari mantan suaminya. Setelah itu dia tinggal bersama ibunya yang kemudian membantu mengasuh anaknya sementara Sulastri bekerja. Dia memutuskan menjadi single parent yang fokus membesarkan anak. Menurutnya hidup sendiri lebih aman dan nyaman dibandingkan bersuami namun selalu diliputi ketakutan.
Kisah Sulastri hanyalah satu dari sekian banyak kisah korban penyintas pemerkosaan yang dipaksa menikah dengan pemerkosa. Saya yakin, banyak penyintas di luar sana yang memiliki kisah beragam namun serupa. Ada yang setelah dinikahkan pelaku kabur hilang tak tahu rimbanya, ada juga yg berakhir seperti Sulastri, terjebak dalam hubungan beracun penuh derita.
Dalam banyak kasus pemerkosaan, korban justru disarankan baik oleh pihak keluarga maupun penegak hukum untuk menempuh jalan damai dengan menikahkan pelaku. Komnas perempuan mencatat banyak kasus kekerasan seksual yang mandek di tahap pengaduan polisi dan tidak dilanjutkan ke tahap persidangan pengadilan. Seringnya, alasan yang dikemukakan adalah kasus tersebut diselesaikan dengan pendekatan Restorative Justice.
Tampaknya, mereka menerjemahkan konsep restorative justice secara tekstual sebagai mediasi atau upaya damai. Konsep ini masih sering dilakukan oleh aparat penegak hukum sebagai konsep keadilan berbasis pemulihan hak yang hanya terbatas pada upaya penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan.
Padahal, dalam konteks lahirnya pendekatan restorative justice fokus utama yang paling penting untuk diperhatikan adalah pemulihan dan kepentingan terbaik untuk korban. pelaku diharapkan menyadari kesalahannya dan juga mendukung pemulihan korban. Artinya pendekatan ini berpusat pada pemulihan atas kerugian korban akibat tindak pidana.
Dalam konteks kekerasan seksual, restorative justice harus dipahami sebagai ganti rugi yang harus dilakukan pelaku terhadap korban. Permintaan korban harus menjadi fokus utama. Tentu ini berbeda dengan mediasi yang melibatkan keinginan kedua belah pihak sebagai jalan tengah. Pelaku yang harus menepati perjanjian seperti membayar ganti rugi, tidak mengontak korban setelah keluar dari tahanan, konseling pelaku dan beragam langkah yang mendukung pemulihan korban dan mencegah terjadinya keberulangan
Namun, jika agenda utamanya adalah perdamaian antara kedua belah pihak, maka ini adalah suatu pemikiran yang keliru. Korban dan pelaku dipertemukan dalam satu forum saja sudah merupakan keadaan yang rentan. Apalagi jika pelaku manipulatif, tidak kooperatif ditambah fasilitator yang tidak punya perspektif gender yang kuat. Dalam keadaan seperti ini korban beresiko mendapat beban psikologis, mau tidak mau memaafkan pelaku sehingga tujuan pemulihan tidak lagi berperspektif kebutuhan korban.
Menutup aib keluarga, agar anak yang dilahirkan mempunyai ayah dan beragam dalih lainnya menjadi alasan korban dinikahkan dengan pelaku. Langkah ini lantas dinilai menjadi solusi terbaik untuk kedua belah pihak karena tidak menyebabkan kegaduhan. Sebuah logika ngawur yang membuat gregetan.
Solusi untuk siapa? Mungkin untuk pelaku, tetapi tidak untuk korban. Menurut saya langkah tersebut hanya akal-akalan saja. Sebuah jurus jitu agar pelaku terhindar dari jerat pidana. Solusi pernikahan berarti impunitas bagi pelaku atas kejahatan yang dilakukannya dan tidak menjamin kekerasan tidak berulang dalam pernikahannya nanti.
Pemerkosaan adalah tragedi yang meninggalkan trauma mendalam. Jangankan menikah, bertemu dengan pemerkosa saja akan menimbulkan dampak psikis seperti ketakutan dan rasa tak aman. Saya bukan psikolog ataupun psikiater, tetapi logika sederhana saya membayangkan jika saya menjadi korban dan harus bertemu serta hidup bersama pelaku saya rasa tak sanggup.
Dalam relasi yang belum legal saja pelaku sudah berani melakukan kekerasan, apalagi nanti dalam pernikahan. Besar kemungkinan kekerasan akan berulang dalam pernikahan. Menghilangkan trauma dengan menghadirkan trauma jelas bukan solusi.
Pernikahan dengan pelaku juga akan menguatkan anggapan bahwa korban menjadi rusak karena tindakan pelaku sehingga tidak ada yang mau dengan dia. Pelaku menikahi korban justru dianggap heroik karena mengangkat harga diri. Sebuah mitos dan anggapan yang betul-betul harus dibenahi. Perempuan bukan objek seperti itu.
Isu agama juga sering digunakan sebagai dalih bahwa pernikahan yang dilakukan adalah untuk menghapuskan dosa zina. Hey, Pemerkosaan berbeda dengan zina yang para pelakunya berbuat sesuai kehendak sendiri. Korban pemerkosaan tidak punya kekuatan dan kuasa atas apa yang terjadi pada dirinya. Jadi menjadikan pernikahan sebagai penghapusan dosa hanyalah akal-akalan saja. Menghapus dosa ya dengan taubat, bukan dengan menambah trauma dan beban korban.
Disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada bulan April 2022 menjadi kabar gembira karena menjadi solusi untuk melindungi korban kekerasan seksual. UU ini mengatur salah satunya tentang ketentuan mengenai jerat pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan termasuk pemaksaan perkawinan antara korban dan pelaku pemerkosaan.
Dalam pasal 10 UUTPKS tertuang bahwa pelaku pemaksaan perkawinan dipidana penjara selama paling lama sembilan tahun dan pidana denda paling banyak 200 juta rupiah. Ketentuan ini menjadi payung hukum yang memenuhi hak korban atas keadilan yang restorative, memutus impunitas dan juga keberulangan.
Peraturan hanyalah peraturan jika tidak diimplementasikan. Perlu adanya kerjasama antara korban, orang tua dan juga aparat penegak hukum agar tegas menolak solusi kasus pemerkosaan diluar pengadilan dan hukum pidana. Karenanya, sosialisasi terkait hal tersebut harus terus dilakukan. Mari bertaubat, mari merubah sistem!