Saren Jawa merupakan kampung muslim yang terletak di Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Ia menjadi salah satu kampung muslim yang mendiami wilayah mayoritas Hindu. Tak heran jika topik pembicaraan mengenainya identik dengan kontras keberagamaan.
Di samping itu, ihwal kebahasaan juga menjadi topik penting lainnya. Kampung yang konon berdiri atas prakarsa punggawa Kerajaan Demak ini lebih familiar dengan bahasa Bali ketimbang bahasa founding father-nya, Jawa. Adalah KH. Abdul Jalil yang kala itu berhasil menaklukan sapi gila sampai tertidur sehingga wilayah ‘penaklukan’ tersebut masyhur dengan sebutan Saren, merujuk kata sare yang dalam bahasa Jawa berarti tidur.
Dua topik ini yang agaknya mengaburkan posisi penting Saren Jawa dalam literasi Islam Bali, atau bahkan Nusantara, di masa lalu. Pasalnya penulis mendapati informasi yang cukup menarik, dimana kampung ini merupakan ‘produsen’ naskah Islam kuno yang cukup besar. Penasaran? Mari simak ulasannya.
Di sela-sela penelusuran terhadap koleksi naskah repositori Wanantara milik Balai Litbang Agama Semarang, penulis mendapati 71 naskah kuno yang terafiliasi dengan Saren Jawa. Naskah-naskah tersebut berasal dari genre yang beranekaragam: mushaf Alquran, ilmu tauhid, fikih, doa-doa, dan wirid hingga naskah primbon yang membahas perwatakan lahir.
Naskah-naskah tersebut ditulis menggunakan bahan alas yang bermacam-macam: dari kertas daluang lokal dan kertas impor dari Eropa hingga kertas modern bergaris yang berusia ‘relatif muda’, yang menunjukkan bentang waktu yang cukup lama dalam produktivitas naskah.
Dilihat dari sajian penulisannya, naskah-naskah tersebut diproduksi untuk berbagai kebutuhan dan fungsi. Mushaf Alquran, wirid, dan doa misalnya, ditulis untuk dibaca sehari-hari. Hal ini terlihat dari penulisannya yang berbeda dari naskah keilmuan seperti tauhid, fikih, dan nahwu yang ditulis dengan memberikan ruang di antara baris untuk penyematan makna (gandhul) dalam kegiatan belajar-mengajar.
Sebuah naskah tauhid berkode BLAS/SJ/Tauhid/RAM 22/2019 milik Raden Ayu Mudin bahkan penuh dengan catatan yang mengelilingi bagian pias. Catatan dengan model yang khas sebagaimana lazim digunakan para santri dalam menuliskan keterangan atau komentar (ta‘liq) terhadap teks utama.
Yang menarik dari naskah-naskah tersebut adalah kekayaan bahasa dan aksara yang digunakan. Selain tentunya bahasa dan aksara Arab, ditemukan juga naskah dengan bahasa Jawa, Bali dan Melayu, dengan aksara Jawi dan Hanacaraka. Naskah Jawi bahkan menunjukkan jumlah yang cukup besar. Hal ini sebagaimana ditunjukkan teks kitab Masa’il al-Muhtadi li Ikhwan al-Mubtadi yang konon merupakan karya dari murid Syaikh Abd al-Rauf Singkel, Syaikh Muhammad Baba Daud Rumi, teks-teks ilmu tauhid, fikih, serta hikayat-hikayat kenabian. Sementara naskah dengan aksara Hanacaraka seperti terlihat pada naskah Serat Yusuf berkode BLAS/SJ/IU/SMN03/2019.
Variasi bahasa dan aksara ini agaknya dapat menjadi bukti atas kecakapan masyarakatnya dalam berbahasa dan beraksara sekaligus menepis anggapan kecenderungan penggunaan bahasa Bali ketimbanga bahasa lainnya. Bahkan bahasa Melayu yang jika dirunut dari aspek historisnya, tidak memiliki kaitan langsung dengan Saren Jawa.
Lebih dari itu, yang cukup penting dari temuan naskah-naskah ini adalah bahwa Saren Jawa memiliki kontribusi yang cukup penting dalam literasi keislaman di Bali, atau bahkan Nusantara secara umum. Posisinya yang terletak di antara dominasi mayoritas Hindu juga memberi arti tersendiri bagi kuatnya Islam di masa itu. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []
https://alif.id/read/nls/saren-jawa-kampung-produsen-naskah-kuno-b245943p/