Ketua MUI, Prof. Utang Ranuwijaya, dalam sambutan kuncinya mengatakan bahwa “Literasi Islam perlu terus disosialisasikan kepada semua pihak, terutama generasi milenial dan Z sebagai penerus bangsa ini, baik secara offline maupun online.”
Menurutnya, selain di pesantren edukasi literasi Islam di media sosial juga tidak kalah penting dilakukan karena hampir semua anak muda aktif menggunakannya.
Ia kemudian menyitir sebuah hadits yang berbunyi ‘Aku (Nabi Muhammad) tinggalkan dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selamanya jika kalian berpegang teguh kepada keduanya: Kitabullah dan Sunnati’. Ia mewanti-wanti, agar seseorang tidak tersesat sebagaimana Ahmad Musadeq, Lia Eden, dan orang lainnya yang mengaku sebagai Nabi maka mereka harus berpegang teguh pada dua warisan Nabi tersebut.
Dengan begitu “Literasi Islam memainkan peranan penting untuk menjaga keutuhan NKRI”, pungkasnya.
Direktur Rumah Daulat Buku, Soffa Ihsan, yang menjadi narasumber dalam acara ini menceritakan pengalamannya belajar di pesantren. Ia mengatakan, tradisi-tradisi di pesantren seperti bahtsul masail, sorogan, bandongan, dan musyawarah mendorong dirinya untuk terus meningkatkan literasi sehingga ia bisa berkuliah di Inggris. Saat studi di Inggris, ia menemukan bahwa metode sorogan yang diterapkan di pesantren juga ternyata digunakan oleh para doktor di Oxford.
Ia mendorong semua orang, terutama para santri, untuk terus membaca secara utuh agar punya wawasan yang luas dan perspektif yang komprehensif. Itu penting agar mereka tidak mudah menyalahkan dan bahkan mengkafirkan orang lain yang pemahaman dan praktik keagamaannya berbeda dengannya, sebagaimana yang dilakukan kelompok takfiri. Lebih dari itu, jika seseorang punya literasi Islam yang baik maka ia tidak akan menjadi ekstremis atau radikalis.
Penulis, juga akademisi Universitas Indonesia (UI) ini pun mengingatkan,
“Kurangnya literasi membuat orang menjadi radikal. Kalau pun membaca hanya sepotong-sepotong sehingga pemahamannya sempit dab dangkal.”
Ia kemudian menjelaskan bahwa kitab-kitab yang ditulis para ulama dahulu tidak hanya membahas tentang agama saja, tetapi juga matematika, optik, astronomi, kesehatan, fisika, dan lainnya.
Oleh karena itu, para santri harus terus mengembangkan literasi Islam yang sudah dimulai para ulama terdahulu tersebut.
Pada kesempatan yang sama Pimpinan Pesantren al-Wathoniyah Pusat, notabene juga Wakil Sekretaris Jenderal MUI, K.H. Arif Fahrudin, M.Ag. mengingatkan “Pesantren seharusnya menjadi pusat literasi Islam wasathiyah. Pesantren dan kelompok-kelompok wasathiyah, harus mengisi ruang-ruang literasi Islam agar itu tidak diisi oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab dan memecah belah bangsa.”
Karena itu, ia pun menyarakan agar LPBKI bekerja sama dengan pesantren-pesantren untuk mengadakan berbagai pelatihan untuk penguatan narasi wasathiyah (moderasi beragama). Ia menyebut, para ulama Nusantara zaman dulu begitu sangat produktif dalam menulis kitab, antara lain Syekh Nawawi Banten, Syekh Mahfudz Tremas, dan lainnya.
Di samping itu, ia pun mendorong para santri agar mengikuti jejak teladan produktifitas para ulama dulu.
Penasihat LPBKI MUI ini pun mengarapkan dengan sangat, “Hasil tashih LPBKI MUI seharusnya diarusutamakan agar masyarakat punya bahan bacaan dan pemikiran yang wasathiyah dan tidak berlebih-lebihan (ekstrim).” Lebih dari itu, “Saat ini buku-buku atau literasi Islam berbahasa Indonesia perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Inggris agar menjadi inspirasi bagi dunia, mengingat situasi dan kondisi di Indonesia yang relatif aman dan toleran meski masyarakatnya begitu majemuk”, pungkasnya di hadapan sekitar 150 peserta yang hadir offline ini.
Hadir dalam acara ini para pengurus LPBKI Prof. Endang Soetari Nd., Buya Syamsuardi Rusli, Ahmad Haromaini, Dr. Ahmad Ali MD, dan Ustadz Madinah, serta komisi dan lembaga di lingkungan MUI Pusat.*
https://www.arrahmah.co.id/2022/11/santri-harus-kreatif-dan-kuasai-literasi.html