1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga Kyai Ageng Pengging
1.3 Nasab Kyai Ageng Pengging
1.4 Wafat
2.1 Guru-guru Kyai Ageng Pengging
3.1 Anak Kyai Ageng Pengging
4.1 Kisah Orang Tua Kyai Ageng Pengging
4.2 Perjalanan Menuntut Ilmu Kyai Ageng Pengging
4.3 Perjalanan Menuntut Ilmu Dari Syekh Siti Jenar
4.4 Panggilan Sultan Demak Bintoro yang Pertama
4.5 Panggilan Sultan Demak Bintoro yang Kedua
4.6 Datangnya Bisikan Ghaib Akan Hadirnya Seorang Putra
4.7 Lahirnya Kyai Mas Karebet atau Jaka Tingkir atau Hadiwijaya
4.8 Panggilan Sultan Demak Bintoro yang Ketiga
4.9 Perjalanan Sunan Kudus Menuju ke Pengging
4.10 Meninggalnya Kyai Ageng Pengging
1 Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
Kyai Ageng Pengging lahir sekitar tahun 1473 dan terlahir dengan Nama Raden Kebo Kenanga. Beliau adalah Cucu dari Prabu Brawijaya V dari permaisuri Putri Champa ( Vietnam Tengah) yang mempunyai putri dan diberi nama Ratu Pembayun. Dan ayah beliau adalah Prabu Handayaningrat raja dari Pengging Pajang.
1.2 Riwayat Keluarga Kyai Ageng Pengging
Dari pernikahan dengan adik Kyai Ageng Tingkir dan dikarunia putra :
- Kyai Mas Karebet atau Jaka Tingkir atau Hadiwijaya
1.3 Nasab Kyai Ageng Pengging
Jika diambil dari garis keturunan Kakek beliau adalah cucu dari Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi dengan silsilah sebagai berikut :
- Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi
- Ratu Pembayun
- Raden Kebo Kenanga
Jika diambil dari garis keturunan Ayah beliau masih keturunan dari Rasulullah SAW, dengan silsilah sebagai berikut :
- Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
- Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti
- Al-Imam Al-Husain bin
- Al-Imam Ali Zainal Abidin bin
- Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin
- Al-Imam Ja’far Shadiq bin
- Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin
- Al-Imam Muhammad An-Naqib bin
- Al-Imam Isa Ar-Rumi bin
- Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin
- As-Sayyid Ubaidillah bin
- As-Sayyid Alwi bin
- As-Sayyid Muhammad bin
- As-Sayyid Alwi bin
- As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin
- As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin
- As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin
- As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
- As-Sayyid Abdullah bin
- As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin
- As-Sayyid Husain Jamaluddin bin
- Sayyid Muhammad Kabungsuan atau Pangeran Handayaningrat atau Jaka Sengara, berputra:
- Kyai Ageng Pengging atau Raden Kebo Kenongo
1.4 Wafat
Kyai Ageng Pengging di perkirakan wafat sekitar tahun 1518 Masehi dan dimakamkan di Kawasan Pengging, Desa Jembung, Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
2 Sanad Ilmu dan Pendidikan Kyai Ageng Pengging
2.1 Guru-guru Kyai Ageng Pengging
- Prabu Handayaningrat
- Prabu Brawijaya V
- Sunan Ampel
- Sunan Bonang
- Sunan Kalijaga
- Syekh Siti Jenar
3 Penerus Kyai Ageng Pengging
3.1 Anak Kyai Ageng Pengging
- Raden Mas Karebet atau Jaka Tingkir
4. Perjalanan Hidup Kyai Ageng Pengging
4.1 Kisah Orang Tua Kyai Ageng Pengging
Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi mempunyai Putri yang bernama Ratu Pembayun dari permaisuri Putri Champa ( Vietnam Tengah) yang kemudian dinikahkan dengan Ratu Pajang Pengging yang bernama Sri Handayaningrat. Beliau adalah raja yang sakti juga seorang Panglima di medan laga, menurut catatan banyak ratu-ratu sabrang yang ditaklukkan, banyak daerah-daerah berlindung pada Prabu Handayaningrat karena kesaktiannya.Prabu Handayaningrat ketika masih muda gemar sekali berperang.
Raja Bali bernama Prabu Kalagerjita dari Negara Bali Agung tak mengakui kekuasaan Srinarendra Brawijaya Majapahit. Tiga tahun sudah, Raja Bali Agung tak menghaturkan upeti ke Majapahit. Raja Bali Agung prabu Kalagerjita berusaha mencari dan meminta bantuan pada negara lain untuk menyerang Majapahit, konon prajurit sejumlah tiga leksa (1 leksa = 10.000, 3 leksa = 30.000) dikerahkan untuk memukul Negara Balambangan (Blambangan). Prajurit Negara, Bali Agung unggul, para Adipati Brangwetan (kawasan-kawasan di Timur) dibikin tunduk olehnya.Waktu itu orang-orang Bali sedang mujur nasibnya selalu unggul dalam peperangan, sebaliknya prajurit-prajurit Jawa nasibnya sedang sial, mereka kalah dalam peperangan. Ketika pasukan-pasukan dari Bali menyerang ke arah Barat, prajurit-prajurit Majapahit yang bertempur melawannya banyak yang dikalahkan oleh prajurit-prajurit dari Bali.
Waktu itu Raja Majapahit Prabu Brawijaya sangat kesal memikirkan tentang kekalahan Wadyabala Majapahit menghadapi orang-orang dari Bali Agung beserta sekutu-sekutunya. Konon Sri Brawijaya mengadakan sayembara, yang berbunyi “Siapa saja yang dapat membantu kesulitan Negara Majapahit, dapat mengalahkan musuh dari Negara Bali Agung dan sekutu-sekutunya maka akan diambil menantu oleh Raja Majapahit Sang Prabu Brawijaya”. Dia akan di jodohkan dengan putri raja yang sulung. Konon sesudah sayembara diumumkan, banyak Raja-raja yang berusaha membantu dalam berperang melawan Raja Bali Agung. Maksudnya tak lain mengharapkan dapat di jodohkan dengan putri Prabu Brawijaya yang sulung tadi. Kecantikan sang putri memang bagaikan Dewi Supraba, konon Sri Handayaningrat dari Pajang Pengginglah yang memasuki sayembara Raja Majapahit, menang dalam peperangannya.
Akhirnya Raja Bali menyerah kalah, dilanjutkan pula Sri Handayaningrat pergi ke Timur untuk menaklukkan Pulau Sembawa (Sumbawa), Pulau Praguwa (Gowa), Pulau Selebes (Sulawesi), Pulau Ternate, Manila, Pulau Burneo (Kalimantan), Rajanya menyerah, tunduk pada Sri Handayaningrat termasuk seluruh kawasan daerah jajahannya. Sri Handayaningrat ke pulau yang besar dan memanjang, bernama Pulau Sumatra. Rajanya pun dapat dikalahkannya. Konon Sri Handayaningrat telah melebarkan jajahan Majapahit hampir ke seluruh pelosok Nusantara, kesemuanya pun tunduk menyerah pada Majapahit.
Ratu Pembayun mempunyai adik lelaki bernama Sang Lembu Peteng, tampan rupawan. Sang Lembu Peteng tinggal sebagai Adipati di Mandura (Madura) dan adik putri yang cantik jelita. Bernama Ratu Masrara, yang sampai akhir hayatnya mengabdi di Pengging Pajang.
4.2 Perjalanan Menuntut Ilmu Kyai Ageng Pengging
Konon Raja Pajang Pengging Sri Handayaningrat wafat, dan meninggalkan putra 2 orang lelaki. Yang sulung bernama Raden Kebo Kanigara (1472 M) dan yang bungsu bernama Raden Kebo Kenanga (1473 M). Atas kehendak kakeknya, kedua putra Sri Handayaningrat tidak diangkat menjadi Ratu. Namun Pengging Pajang yang semula bentuk kerajaan, diubah kedudukannya menjadi sebuah Kadipaten. Dibagi dua untuk para putra Sri Handayaningrat, dinamakan Pengging tua dan Pengging muda. Kedua putra tadi selalu masih diasuh oleh ibundanya, permaisuri Raja Handayaningrat.
Tak selang berapa lama, ibunda permaisuri Handayaningrat meninggal dunia. Jadilah Raden Kebo Kanigara dan Raden Kebo Kenanga Yatim Piatu yang tak mempunyai ibu dan bapa lagi. Karena kejadian ini kakeknya Prabu Brawijaya menghendaki kedua cucunya untuk dibawa ke Majapahit. Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara di anggap oleh Prabu Brawijaya seperti putra mereka sendiri, kasih sayang tertumpah ke pada mereka. Apalagi permaisuri raja, Kanjeng Ratu Andarawati sangat menyayangi mereka. Raja dan Permaisuri seperti Ayah dan Ibu bagi mereka. Kerajaan Pajang Pengging setelah diubah kedudukannya menjadi Kabupaten diserahkan kepada para Kesatria dan para Sentana Raja Handayaningrat, diurus pula oleh para Mantri yang bijaksana tak ubahnya bagaikan cara menata pemerintahan pada waktu Raja Handayaningrat dahulu.
Konon pada waktu Prabu Brawijaya muksa, lolos dari Kerajaan Majapahit, permaisuri raja Ratu Andarawati tak menyertainya. Adapun Putri Andarawati sepeninggal Raja Brawijaya hijrah menuju Ampel Gading yang terkenal diasuh oleh Sunan Ampel, dan satu lagi cucunya putra dari Sunan Ampel bernama Sinuhun Benang atau Sunan Bonang. Keduanya sebagai penyebar Agama Islam yang besar, sebagai penganut agama Islam yang tekun dan berwibawa. Raja Brawijaya dahulu sebelum meloloskan diri dari Kerajaan Majapahit untuk muksa, meninggalkan pesan kepada permaisuri Kanjeng Ratu Andarawati bahwasanya sepeninggal Prabu Brawijaya hendaknya Kanjeng Ratu Andarawati tetap berada di Majapahit. Ditugaskan kepada Kanjeng Ratu Andarawati untuk tetap menjaga putra, cucu dan Sentana, punggawa Majapahit. Ditekankan pula bahwasanya mereka diwajibkan memeluk agama Islam agama suci dan luhur itu. Karena bagi Prabu Brawijaya, tak ada bedanya Budha dan Agama Islam itu, sebab pada diri Prabu Brawijaya sebenarnya sudah “Islam”. Sang Prabu Brawijaya telah mengenal apa hakekat menyembah Tuhan Yang Maha Esa tadi, baginya tak akan ada kesulitan untuk menempuhnya. Sebab beliau adalah seorang yang bijaksana berbudi luhur, tahu apa yang dinamakan hakekat hukum “Sangkan Paran” (manusia berasal dari Tuhan kembali pula akhirnya ke Tuhan Yang Maha Kuasa).
Selanjutnya sang Permaisuri Ratu Andarawati tinggal di tempat Sunan Bonang atau disebut juga Prabu Anyakrakusuma, tak ketinggalan Raden Kebo Kanigara dan Raden Kebo Kenanga turut serta mengikuti eyangda Ratu Andarawati. Banyak pula cucu-cucu dari permaisuri Ratu Andarawati yang turut di Bonang, sebab sesungguhnya mereka sangat menghormati kepada Ratu Andarawati, apalagi Jeng Susuhunan Benang Anyakrakusuma. Raden Kebo Kenanga dan adiknya Raden Kebo Kanigara masih saudara sepupu dengan Sunan Bonang, Tidak mustahil tali persaudaraan antara Sunan Bonang, Raden Kebo Kanigara dan Raden Kebo Kenanga sangat akrabnya. Selain itu Adipati Mandura Lembu Peteng pun bermukim di Benang, bersama-sama dengan saudara-saudaranya menuntut agama Islam.
Selama di Benang Adipati Mandura sangat mengasihi kepada kedua kemenakannya Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara, apalagi dengan Sunan Bonang. Karena masih keponakan dengan Adipati Mandura Lembu Peteng, menantu Arya Baribin di Madura. Pesan lain Prabu Brawijaya kepada Ratu Andarawati, bahwa sepeninggal raja, hendaknya kerukunan tetap dibina antara trah Majapahit. Tidak mustahil jika antara keturunan-keturunan Majapahit terjalin keakraban yang mendalam sekali, terbukti Sunan Giri, Sunan Drajad, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati mengasihi kepada raja putra Majapahit Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara. Tak ubahnya mereka memberikan bakti dan sayang kepada Prabu Brawijaya Ratu Agung Majapahit.
Tak berapa lama, Ratu Dwarawati permaisuri Prabu Brawijaya mangkat dikarenakan sudah lanjut usianya, jenazahnya dimakamkan di Karangkemuning. Banyak putra Santana keturunan Majapahit yang sedih karenanya, mereka seakan-akan kehilangan pepundhen orang tua. Kemudian menyusul Sunan Bonang juga telah wafat , jenazahnya dimakamkan di Asrama Sunya Bonang. Ditandai dengan sengkala Wisik Sukci Adining Bumi, tahun Jawa 1445 atau tahun Masyekhi 1523. Digantikan oleh adiknya Sunan Drajad dengan gelar Wali Gos Kutubrahman. Konon selang setengah tahun dari wafatnya Sunan Bonang mangkat pula Dipati Mandura Lembu Peteng. Jenazah nya dimakamkan di Karang Kajenar terletak di bagian bawah makam Ibu Prameswari. Putranya menggantikan sebagai Dipati Mandura, yang bernama Lembu Wara.
Sepeninggal Ratu Andarawati, Sunan Bonang dan pamandanya Adipati Lembu Peteng Mandura, Raden Kebo Kanigara dan Raden Kebo Kenanga merasa waktunya kembali ke Pengging, sebab kedua-duanya ingin mengabdikan pada jalan kehidupannya masing-masing. Raden Kebo Kanigara memillih bermukim di Gunung Merapi, hidup sebagai seorang ajar, istri sebagai endang dan putra-putranya sebagai manguyu dan jejanggan. Kyai Ageng Pengging membuang semua ambisi politiknya dan strategi meraih kekuasaan yang agak berbeda. Karena itulah beliau tampil kiai yang soleh dan terpelajar. Tidak lagi berkuasa sebagai bendera di atas bawahnya, dia beralih sebagai empu bagi santri-santrinya. Beliau adalah kiai dari pesantren Pengging, seorang empu yang rendah hati yang menolak penghormatan dan sanggup bergabung dengan pengikut-pengikutnya untuk bekerja di sawah dan ladang. Tapi tetap memiliki 3000 tentara pengikut dan termasuk di dalamnya adalah 700 santri inti.
Raden Kebo Kenanga memilih kehidupannya sebagai layaknya seorang santri, tak diinginkannya hidup selayaknya seorang Raja Putra Pengging. Seluruh penduduk Pengging dalam pimpinan Raden Kebo Kenanga sangat maju ibadahnya, tekun dalam mendalami agama. Demikian pula Putra Santana Pengging tak ketinggalan, kesemuanya melakukan ibadah agama Islam. Sehari-hari yang mereka lakukan hanya beribadah, setelah bersembahyang pergilah ke sawah atau ke ladang.
4.3 Perjalanan Menuntut Ilmu Dari Syekh Siti Jenar
Ada seorang Waliyullah sakti bernama Syekh Siti Jenar Susuhunan di Lemah Bang. Terkenal seorang ahli laku tapa brata, memiliki segala ilmu tinggi, ahli rasa dan tak akan terkecoh ataupun keliru dalam membedakan rasa manisnya gula dan bukan gula. Seorang pertapa yang memiliki ilmu yang sempurna dalam penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, beliau tahu dalam penghayatan kehidupannya dalam menjalankan ibadah agama “mana ada dan mana tiada”, dan memahami tentang ajaran “manunggaling kawula dan gusti”, juga “awal dari ada dan akhir dari ada” singkat kata Syekh Siti Jenar, adalah seorang yang tahu apa yang akan terjadi, seorang yang bersifat terbuka di dalam sikap dan hatinya maupun dasar-dasar penghayatan hidupnya. Seorang waliyullah sakti yang sudah tanpa aling-aling (penghalang) lagi, memiliki ilmu mampu tak kena pati, sempurna dalam pelepasan diri. Mendalami sedalam-dalamnya akan ilmu kesempurnaan hidup atau kemuksaan diri.
Kyai Ageng Pengging menerima kedatangan Waliyullah Syekh Siti Jenar dengan segala kerendahan hati dan keterbukaannya. Lama Syekh Siti Jenar bermukim di Pengging, Kyai Ageng Pengging berguru kepada waliyullah tadi. Segala ilmu yang dimiliki oleh Waliyullah Syekh Siti Jenar diberikan pada Kyai Ageng Pengging, singkat cerita tak ada ilmu yang tidak diajarkan padanya. Sekarang Kyai Ageng Pengging hampir setara ilmunya dengan Syekh Siti Jenar, beliau adalah muridnya kesayangan dan terkasih. Setelah menetap lama di Pengging, pulanglah Syekh Siti Jenar ke tempat tinggalnya, kembali ke daerah Lemah Abang atau Siti Jenar.Konon selain Kyai Ageng Pengging, sahabat-sahabat beliau sejumlah 40 orang turut berguru pula pada Waliyullah Syekh Siti Jenar. Mereka adalah :
Kyai Gede Banyubiru, Kyai Gede Getasaji, Kyai Gede Balak, Kyai Gede Butuh, Kyai Gede Ngerang, Kyai Gede Jati, Kyai Gede TingKyair, Kyai Gede Petalunan, Kyai Gede Pringapus, Kyai Gede Nganggas, Kyai Gede Wanalapa, Kyai Gede Paladadi, Kyai Gede Ngambat, Kyai Gede Karangwaru, Kyai Gede Babadan, Kyai Gede Wanantara, Kyai Gede Majasta, Kyai Gede Tambakbaya, Kyai Gede Bakilan, Kyai Gede Tembalang, Kyai Gede Karanggayam, Kyai Gede Selandaka, Kyai Gede Purwasada, Kyai Gede kebokangan, Kyai Gede Kenalas, Kyai Gede Waturante, Kyai Gede Taruntum, Kyai Gede Pataruman, Kyai Gede Banyuwangi, Kyai Gede Puma, Kyai Gede Wanasaba, Kyai Gede Kare, Kyai Gede Gegulu, Kyai Gede Candi digunung Pragota, Kyai Gede Adibaya, Kyai Gede Karurungan, Kyai Gede Jatingalih, Kyai Gede Wanadadi, Kyai Gede Tambangan, Kyai Gede Ngampuhan, Kyai Gede Bangsri Panengah.
Keempat puluh sahabat seilmu dan seperguruan tadi, mengikrarkan persaudaraan dengan Kyai Ageng Pengging. Semakin kokoh dan akrab persahabatannya, antara Pengging, dan daerah-daerah yang dikuasai oleh sahabat-sahabatnya tadi.
Ketika Syekh Siti Jenar kembali ke padepokannya, Kyai Ageng Pengging turut mengantarkannya, beserta keempat puluh sahabat-sahabatnya. Kyai ageng Pengging dan keempat puluh sahabat-sahabatnya menetap di kediaman Syekh Siti Jenar lumayan lama sambil mempelajari dan memperdalam beragam ilmu, aneka permasalahan kehidupan, yang selalu di bahas dengan Syekh Siti Jenar. Sampai akhirnya dirasa cukup beliau menuntut Ilmu kepada Syekh Siti Jenar. Kyai Ageng Pengging mohon pamit bersama-sama keempat puluh sahabatnya. Kyai Ageng Pengging bersama-sama sahabatnya sejumlah tujuh belas bersama sama pulang dalam satu rombongan, dan selebihnya balik menuju tempat tinggalnya masing-masing.
4.4 Panggilan Sultan Demak Bintoro yang Pertama
Sultan Demak Bintoro I yang baru dilantik sangat disayangi oleh para Wali Agung. Para Satria, Sentana, Punggawa dan Mantri sangat menghormatinya. Namun selama menduduki takhtanya hatinya selalu resah, sebab tersiar berita bahwasanya kedua putra kakaknya Raja Putra Pengging lama sudah tidak sowan (menghadap) ke Demak. Apalagi berita yang meyakinkan telah diterimanya, bahwa keduanya selama menetap kembali ke Pengging sudah meninggalkan adat kehidupannya sebagai kesatria. Mereka melebur diri sebagai rakyat biasa, dan beralih dalam tata cara kehidupan seorang santri. Tidak mustahil seluruh Pengging pun berubah, banyak pula surau tempat-tempat menjalankan ibadah agama. Keresahan Sultan Demak Bintoro I tadi malah menjadi-jadi, timbullah kecemasan jangan-jangan keduanya akan melawan Demak.
Untuk menghilangkan keraguannya, maka di utuslah Duta menuju ke Pengging dengan maksud kedua Raja Putra tadi diminta datang ke Demak, Sultan Demak Bintoro I ingin membahas sesuatu dengan mereka. Keempat Duta tersebut berangkat, dan sampailah mereka di Pengging. Duta Bintara melapor kepada Kyai Ageng Pengging, bahwasanya Sultan Demak Bintoro menginginkan bertemu dengan para Raja Putera Pengging, di Demak. Setelah menceritakan maksud kedatangannya yang tak lain Sultan Demak Bintoro I menghendaki para Raja Putera tadi menghadap ke Demak, jawaban diberikan kepada Duta 4 orang tadi. “Saudara-saudara Duta Sultan Demak Bintoro I, sudilah kiranya saudara-saudaraku melapor pada Sultán Bintara bahwasanya sekarang aku belum bisa menghadap. Sebab hatiku masih susah memikirkan kepergian kakakku Raden Kebo Kanigara. Kakang pergi tak tahu ke mana yang dituju, malah beserta isteri dan puteranya. Tak satu pun dari kawulanya yang mengiringi kepergiannya. Lama sudah kucari-cari, namun hasilnya nihil tak kutemukan kakakku itu. Akan halnya aku sendiri, untuk waktu ini belum bisa memenuhi permintaan Sultán Demak Bintoro I untuk menghadapnya. Namun kujanjikan manakala kakakku telah pulang, aku bersama-sama dengan Raden Kebo Kanigara akan menghadap Sultan Demak Bintoro I di Demak. Itu pesanku pada kalian semua, dan sekarang pulanglah,” keempat duta setelah menerima jawaban dan pesan Kyai Ageng Pengging bermohon diri untuk pulang ke Demak.Di hadapan Sultán Demak Bintoro I, keempat duta melapor dari awal sampai akhir. Sultán Demak Bintoro I menerima laporan-laporan para duta dengan penuh perhatian.
4.5 Panggilan Sultan Demak Bintoro yang Kedua
Setelah Meninggalnya Syekh Siti Jenar, murid-murid beliau berduka sangat dalam. Seakan-akan mereka ditinggal orang tuanya, sebab Syekh Siti Jenar selain sebagai guru, di hati mereka tak ubahnya bagaikan orang tua sendiri. Sedih bagaikan anak yatim piatu yang ditinggal kedua orang tuanya, yang tertinggal hanyalah kenangan kasih sayang Syekh Siti Jenar saja. Yang sangat dalam menjangkau di lubuk hati mereka, sehingga mereka seakan-akan turut merasakan penderitaannya maupun kemulyaannya.
Setelah peristiwa Syekh Siti Jenar, teringat akan janji saudara sepuhnya Kyai Ageng Pengging, yang berjanji, apabila kakaknya yang bernama Raden Kebo Kanigara telah kembali dari perantauannya akan bersama-sama menghadap ke Demak Bintoro. Satu tahun telah berlalu dari janji Kyai Ageng Pengging kepada Sultan Demak Bintoro I, satu waktu yang cukup panjang untuk menantinya. Maka Sultan mengutus delapan orang Mantri diberi tugas untuk menyampaikan sepucuk surat Sultan kepada Kyai Ageng Pengging, setelah jelas perintah Sultan berangkat kedelapan Mantri utusan tadi menuju ke Pengging. Sampailah sudah kedelapan utusan Sultan di Pengging, Kyai Ageng menerima sepucuk surat dari duta dan segera dibacanya isi surat itu.
Isi surat, dari awal sampai akhir kata demi kata telah dipahami kesemuanya oleh Kyai Ageng Pengging. Bertanyalah Kyai Ageng Pengging pada Duta Demak, “Mantri, selain surat ini, adakah pesan-pesan dari Sultan Demak Bintoro I yang dititipkan padamu?” Mantri Duta menjawab, “Kyai, ada pesan yang dititipkan pada kami, manakala Kyai Ageng Pengging berkehendak akan pergi ke Demak kami diperintahkan untuk mengawal Kyai Ageng. Untuk itu kami siap sedia menerima perintah Kyai Ageng, bagaimana kehendak Kyai Ageng,” segera kyai Ageng Pengging menjawabnya. “Baiklah, namun kusarankan beristirahat dahulu barang dua hari di Pengging,”. Kedelapan Mantri Duta tadi dengan senang hati menuruti permintaan Kyai Ageng Pengging.
Tempat tinggal,makan, dan minum memenuhi mereka selama 2 hari berada di Pengging. Busana yang baik-baik diberikan kepada mereka. Kedelapan Mantri Duta berpikir tentu berhasil tugas mereka membawa Kyai Ageng Pengging ke Demak, mereka bersukacita dalam hatinya.
Dua hari telah berlalu, berarti Kyai Ageng Pengging telah mempersiapkan jawabannya kepada Sultan. Hari ketiga selesai sudah apa yang akan menjadi jawabannya kepada Sultan Demak Bintoro I nantinya.Pagi hari ketiganya, Kyai Ageng Pengging berkenan memanggil kedelapan Mantri Duta Demak Bintoro. Mereka duduk berjejer-jejer di paringgitan dalem Pengging, menghadap Kyai Ageng Pengging. “Mantri duta, terimalah surat jawabanku ini kepada Sultan Demak Bintoro I hendaknya kauhaturkan,” diterimanya surat jawaban itu dan delapan Mantri Duta segera bermohon diri untuk kembali ke Demak Bintoro. Pesan yang diberikan pada mereka, “Sampaikan kepada Sang Raja, manakala waktunya telah datang dan atas kehendak Yang Maha Kuasa saya akan berkunjung ke Demak. Dan sampaikan pula kepada Sri Sultan, saya sekarang ini dalam keadaan berkabung dengan wafatnya guru kami Pangeran Syekh Siti Jenar.”
Delapan Mantri Duta telah datang di Demak, segera surat dihaturkan kepada Sultan Demak Bintoro I, akan halnya isi dan maksud surat Kyai Ageng Pengging. Sultan Demak Bintoro I telah memahaminya. Sekali lagi surat dari Pengging dibacanya, dipahami dengan hati-hati.
Sultan Demak Bintoro I selesai membacanya sekali lagi surat dari Pengging tadi, bertanya kepada Mantri Duta, “Adakah dari kakanda Raden Kebokenanga menitipkan pesan-pesan lainnya lagi pada kalian? ” Mantri Duta menjawabnya, “Yang mulia, ada juga pesan beliau yang dititipkan kepada kami. Bahwasanya Kyai Ageng Pengging masih ditimpa kemalangan, kesusahan nya yang dahulu belum reda tertumpuk lagi datangnya kedukaan lainnya. Beliau sangat sedih bagaikan kehilangan orangtua, kesedihan beliau tidak lain karena ditinggal kakak dan gurunya Syekh Siti Jenar,” Sultan Demak Bintoro I mengangguk-anggukan kepalanya, dalam hati bertanya-tanya. Akhirnya Mantri Duta ditanyainya lagi, “Coba jawablah pertanyaanku ini, selama kalian 2 hari ada di Pengging, bagaimana tampak keadaan di sekitar Kapenggingan itu. Bagaimana suasananya, sepi atau ramai.” Mantri Duta menjawabnya satu-persatu, “Yang Mulia Sunan Demak, keadaan dalem Kapenggingan agaknya mengandung rahasia. Ada sesuatu yang disembunyikan. Masalahnya kalau tak diperhatikan dengan jeli tidak akan dapat memahaminya , kelihatannya daerah Pengging itu sepi-sepi saja.
Namun kalau diperhatikan dengan seksama,di dalam kesepiannya mengandung keramaian yang luar biasa. Jelasnya, kelihatannya sepi sebab Pengging bekas suatu kerajaan yang berubah kedudukannya menjadi Kadipaten.
Apalagi Kyai Ageng Pengging sekarang tak mau memakai atau menjalani kehidupan seperti seorang luhur layaknya seorang Adipati apalagi putera Raja Agung Handayaningrat. Kyai Ageng Pengging hidup selayak kawula dusun, demikian juga para putra sentana kawula Pengging seluruhnya. Mereka hidup sebagai orang biasa, hal itu sama saja dilakukan oleh semua warga Pengging tak ada bedanya. Mereka kesemuanya meninggalkan kehidupan “kesatria,” bertingkah seperti orang dusun (desa), yang mereka kerjakan sehari-harinya. Sebab Kyai Ageng Pengging tak lagi mengadakan tata cara kesatria-kesatria. Tak ada lain yang menjadi kesukaan Kyai Ageng Pengging, kecuali bersemadi, tafakur berdoa, menjalankan tapa brata, dan sering menyendiri di tempat-tempat keramat dan yang sepi. Itulah Yang Mulia kalau dilihat, suasana Pengging memang sepi.
Namun dalam kesepiannya ada sesuatu yang ramai juga. Tak dapat diungkiri lagi keadaan Pengging sekarang ini jauh lebih ramai dari dahulunya, sebab banyak terdapat tempat menjalankan ibadah. Banyak surau, langgar apalagi Pengging baru saja membangun sebuah mesjid yang besar dan megah. Semua mulai dari Kyai Ageng Pengging sampai bawahannya semuanya tekun melakukan ibadah.Kyai Ageng Pengging tekun sekali, mendalami agama Islam, demikian pula para santri tak ketinggalan dalam kegiatan-kegiatan menyebar luaskannya. Akhirnya di Pengging terkenal dengan masyarakatnya yang tekun beragama, tak lupa pekerjaan sehari-harinya mereka sebagai petani. Ada kalanya mereka ke sawah, berkebun, berladang. Dilihat dari sepintas lalu memang tak dapat dibedakan antara trah pembesar dan orang dusun.
Namun di kadaleman Pengging sendiri terlihat tetap masih dirancang seperti halnya rancangan seorang Raja Agung Sri Handayaningrat dahulu. Segala upacara kebesaran Keraton Pengging tetap terpampang menghias di padaleman Kraton Pengging itu. Pusaka andalan Pengging dari Sri Handayaningrat masih dirawat, berjajar rapi dan selalu dihormati.” tertegun sejenak dahi berkerut, sambil mengincangkan alis Sultan Demak Bintoro I berkata dalam hatinya, “Ah, kalau demikian keadaannya Pengging sekarang ini bukan mustahil kakanda Kyai Ageng Pengging tentu mempunyai maksud maksud tertentu.
4.6 Datangnya Bisikan Ghaib Akan Hadirnya Seorang Putra
Pada waktu itu Kyai Ageng Pengging sedang dirundung duka yang mendalam, setelah kehilangan kakak tercinta dan kehilangan guru yang disayangi Syekh Siti Jenar. Hatinya susah bukan kepalang,tak ada yang dikerjakannya kecuali berdoa dan bersemadi, mengurangi makan dan tidur, kepada Tuhan Yang Maha Esa selalu dipanjatkan doa-doa.Yang lebih menjadikan kesedihan bagi Kyai Ageng Pengging adalah belum dikaruniai putra. konon dahulu putranya empat,ada lelaki ada pula yang perempuan, semuanya meninggal saat masih muda,itulah yang menjadi sebab Kyai Ageng Pengging sangat susah, cita-citanya menginginkan anak lelaki,yang berumur panjang, Rupawan mengerti akan segala ilmu,dan menjadi Pangeraning Kulawarga (pangeran tempat bernaung, berlindung tegasnya yang akan merupakan tuntunan tauladan bagi keturunannya kelak) .
Pada suatu hari jatuh pada malam Jumat,ketika Kyai Ageng Pengging sedang melakukan semadinya, waktu itu menunjukkan jam 3 pagi, rasa kantuk sangat mengganggunya.Keadaan Kyai Ageng Pengging antara tidur dan berjaga, duduk bersemedi di tempat pemujaannya, tak lama kemudian, terdengar suara memanggil-manggil. Ada suara namun tak tampak rupa, (saking aib suara dumeling) “Wahai, Kyai Ageng Pengging. Apa yang menjadi keinginanmu, Tuhan akan mengabulkannya. Kau akan mempunyai anak lelaki yang panjang umurnya. Rupawan, cahya raut mukanya memancar terang bagaikan sinar matahari di kala “mangsa katri” (pranata mangsa Jawa menyebutkan inangsakatri (ketiga, katelu) jatuh pada bulan dan tanggal antara 25/26 Agustus sampai 18 September).
Bijaksana berbudi luhur,dari kecil anak itu sudah teguh imannya, perwira perkasa dan sakti,terkenal nantinya akan ketrampilannya, sopan santun (berbudi luhur), namun keberaniannya luar biasa. Sanggup jadi bebanten dari segala kesulitan (sanggup mengatasi segala kesulitan-kesulitan) dan selalu unggul dalam peperangan, kelak akan menjadi Ratu di Tanah Jawa. Dia pula besok yang ditakdirkan untuk menguasai bumi seluruh Jawa,dia anakmu yang akan menjadi Ratu Agung. Raja dari Negara Pajang. Namun bukan kerajaanmu Pajang Pengging ini. Yang akan menjadi negara Pajang kelak tempatnya di hutan di sebelah timur. Besok pula hutan itu kelak akan dibabati, di situ akan berdiri Keraton Pajang, dimana beliau akan terus-menerus menjadi Raja.
Namun Kyai tidak akan mengalaminya (menyaksikannya) sebab sebelum itu terjadi Kyai Ageng akan muksa( meninggal). Itu karena keinginan Kyai Ageng sendiri, tidak menginginkan lagi untuk melihat dunia ini. Tiada tahan melihat (menyaksikan) kebatilan-kebatilan dari ulah manusia, kau paksakan dirimu pulang ke keraton baka (akherat), besok kalau sudah masanya kau akan kembali ke alam baka, jalannya pun tersedia (sebabnya, alasannya ada) bagimu, untuk muksa kembali ke alam suci,ingatlah akan kata-kataku itu,pasti terjadi pada dirimu sebab itu sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa,”Kyai Ageng Pengging tertegun, bertanya-tanya dalam hatinya, bangun dari keadaan antara tidur dan berjaga. Dalam hati tiada lain selalu bertanya-tanya. Diingat-ingat apa kata suara tadi, dalam hati selalu bertanya-tanya, tertegun dan yang dalam benaknya hanya memanjatkan doa puji syukur,ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatnya,yang telah dilimpahkan. Tiada lama kemudian istri Kyai Ageng Pengging mengandung sudah 4 bulan,
Konon kakak ipar Kyai Ageng Pengging, ialah Kyai Ageng Tingkir. Beliau telah mendengar kabar bahwa Sultan berkali-kali mengirim utusan ke Pengging untuk memanggil adiknya berkunjung ke Demak. Namun berulang kali utusan datang, tetap jawaban Kyai Ageng Pengging tak mau berkunjung ke Demak,Hari itu juga Kyai Ageng Tingkir memutuskan untuk pergi menemui adik iparnya tersebut. Bertemulah keduanya dan setelah dipersilakan duduk Kyai Ageng Tingkir segera memulai pertanyaannya, “Adinda Kyai ageng Pengging, bukankah dinda dipanggil untuk menghadap Sultan Demak Bintoro I di Demak? Mengapa pula adinda tak mau berkunjung, apakah sebabnya?” Kyai Ageng Pengging dengan lemah lembut menjawab pertanyaan kakaknya Kyai Ageng Tingkir, “Kakanda Kyai Ageng Tingkir, apa gunanya dinda ini orang desa. Mengapa pula Sultan memanggilku, apa pula gunanya aku ini bagi seorang Sultan? “Kyai Ageng Tingkir menyapanya, “Adinda mengapa enggan untuk memenuhi dawuh timbalan Sultan Demak Bintoro itu? Bagaimana pula nanti jadinya, tidakkah dinda mengakui bahwa Pengging dan Tingkir itu termasuk di bawah kekuasaan Demak? Setidaknya tanah Pengging yang kau diami ini bukankah termasuk kekuasaan Demak? Bahkan Ratu Demak itu menguasai seluruh Tanah Jawa, bukankah demikian kenyataannya?” Kyai Ageng Pengging menanggapinya dengan katakata yang lembut dan sareh, “Kanda Kyai Ageng Tingkir, segala bumi ini tak ada lain yang memiliki dan menguasai kecuali Allah.
Maksudnya apa memanggil orang dusun seperti dinda ini”, Dinda, sesungguhnya bagaikan kelenting tempat masin (sejenis asinan ikan) dinda itu, bagaimana pula masih juga terasa (tercium) akan baunya, tidak akan hilang. Dinda adalah cucu dari Raja Agung Majapahit Prabu Brawijaya, lagipula dinda putra seorang prajurit perkasa, perwira, tangguh apalagi sakti. Tidak mustahil ayahanda diambil menantu oleh Prabu Brawijaya. Dirimu itu, bagaikan bau yang belum juga hilang, andaikan bunga belum juga layu.
Dan akhirnya Kyai Ageng Tingkir mohon diri. Dan itulah terakhir kali Kyai Ageng Pengging melihat kakak iparnya. Dua bulan kemudian, Kyai Ageng Tingkir wafat. ketika jenazah hendak dimandikan, Kyai Ageng Pengging berbisik ditelinga kanan jenazah kakak iparnya :
“Kakang Tingkir, antinen sedhela maneh. Ingsun bakal nusul bebarengan nyabrang segara rahmat.”
(Kakang Tingkir, tunggulah sebentar lagi. Aku akan menyusulmu untuk bersama-sama mengarungi lautan Kasih.)
4.7 Lahirnya Mas Karebet atau Jaka Tingkir atau Hadiwijaya
Istri Kyai Ageng Pengging, yang sudah mengandung beberapa waktu lalu, sudah saatnya melahirkan. Kelahiran putra Kyai Ageng Pengging ini disambut gemuruh suka cita rakyat Pengging. Upacara kelahiran-pun digelar sangat meriah. Beberapa pembesar datang tanpa diundang demi untuk memberikan doa-doa keselamatan. Hadir pula Kyai Ageng Butuh dan Kyai Ageng Ngerang. Mereka yang beragama Shiva Buddha dan Islam, bercampur, bersuka ria menyambut kelahiran putra Kyai Ageng Pengging. Pertunjukan Wayang Beber ( wayang yang diceritakan dengan cara membentangkan gambar. Beber artinya Bentang. Wayang Beber artinya Wayang yang dibentangkan) digelar hingga tujuh malam.
Kyai Ageng Pengging, memberikan nama Mas Karebet kepada putranya. Karebet adalah nama lain dari Wayang Beber. Wayang Karebet sama artinya dengan Wayang Beber. ( Kelak, Mas Karebet terkenal dengan nama Jaka Tingkir. Setelah berhasil menjadi Sultan Pajang, lantas bergelar Sultan Adiwijaya atau Sultan Hadiwijaya) Kyai Ageng Pengging berkata semoga pemberian nama tersebut dapat membawa hikmat dan rahmat, dijauhkan dari penyakit.
Pada malam ke tujuh, menjelang dini hari, manakala pertunjukan Wayang hampir usai, para tamu dikejutkan dengan jatuhnya seberkas cahaya dari langit menuju Dalem Agung. Cahaya yang sangat jelas itu meluncur dari atas langit, bergerak cepat, mengarah atap Dalem Agung dimana Mas Karebet ada didalam sana. Dan Cahaya itu lenyap tepat setelah menyetuh atap. Para tamu geger. Hampir semua para tamu yang masih terjaga, melihat cahaya itu. Yang tertidur cepat-cepat dibangunkan teman-teman mereka. Kejadian yang langka ini segera menyita perhatian semua yang tengah bersuka cita menyambut kelahiran Mas Karebet.
Semua tamu-pun sibuk memperkirakan, cahaya apa yang barusan terlihat. Sinarnya terang sedikit kebiru-biruan. Kepercayaan masyarakat Jawa menyebut cahaya itu Andaru Kilat, atau cukup disebut Ndaru. Suatu cahaya yang membawa ‘Wahyu Keprabhon’ atau tanda bahwa dimana kediaman orang yang kejatuhan Andaru Kilat, sudah bisa dipastikan, kelak akan menjadi Penguasa Agung. Menjadi seorang Raja Besar. Para Ulama segera memerintahkan untuk segera merakit Tumpeng sebagai sarana pelaksanaan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, telah memberikan kepercayaan besar kepada keturunan Kyai Ageng Pengging kelak, untuk menjadi Raja Tanah Jawa.
4.8 Panggilan Sultan Demak Bintoro yang Ketiga
Sultan Demak Bintoro I pada suatu ketika berkenan mengumpulkan para ulama, perdana menteri, patih, dan Sunan Kudus, beserta Kyai Ageng Wanapala. Sultan Demak Bintoro Berkata kepada “Kakang Wanalapa, anda saya tugaskan untuk menemui Kyai Ageng Pengging. Tugas yang anda jalankan menanyakan kepadanya mana yang akan dipilih dari dua pertanyaan yang kuajukan. Pilih salah satu, Kyai Ageng Pengging “milih siji ing jaba lan jeronira” (memilih yang di dalam, atau memilih yang di luar)”. Kyai Wanalapa bersedia diutus sebagai Duta Sultan ke Pengging, dan melapor, “Sultan, segala perintah telah kami terima. Sebagai Duta, tak ada lain tugas kami hanya menjalankan perintah atas nama Sultan”. “Baik kakang Wanalapa, kerjakan dengan segera dan berangkatlah”, seru Sultan Demak Bintoro kepada Kyai Ageng Wanalapa. Berpamitanlah Kyai Ageng Wanalapa di hadapan Sultan dan Sunan Kudus, lalu berangkat menuju ke Pengging.
Kyai Ageng Wanalapa menyamar sebagai seorang santri, berangkat menuju Pengging. Sampailah sudah Kyai Ageng Wanalapa di kapenggingan, pada yang bertugas menyampaikan pesan ingin bertemu dengan Kyai Ageng Pengging, Pamongan santri Pengging melapor kepada beliau, bahwasanya ada utusan Demak seorang santri bernama Kyai Ageng Wanalapa. Kepada santri pamongan diperintahkan untuk segera mempersilakan Kyai Ageng Wanalapa menuju ke sanggar palanggatan (tempat menjalankan ibadah). Masuklah Kyai Ageng Wanalapa ke sanggar Kyai Ageng Pengging yang telah menanti di ambang pintu segera diucapkan salam. Kyai Ageng Pengging membalas mengucapkan salam kepada Kyai Ageng Wanalapa, keduanya duduk dengan tenangnya di sanggar sambil berjabatan tangan.”Kyai Ageng Wanalapa kuucapkan selamat atas kedatangan Kyai di Pengging ini”, seru Kyai Ageng Pengging kepada Kyai Ageng Wanalapa. “Kyai Ageng Pengging, saya mengucapkan terima kasih. Dan teriring salam sejahtera pada Kyai Ageng dan seluruh warga Pengging semuanya”, demikian balas Kyai Ageng Wanalapa. “Dinda Kyai Ageng Wanalapa, tugas apa yang dibebankan pada dinda untuk datang menemui kadang Pengging ini?” Kyai Ageng Wanalapa menerangkannya, “Sultan Demak mengutus dinda untuk menyampaikan kepada kanda Kyai Ageng Pengging, memilih salah satu dari dua pertanyaannya.
Permohonannya, sudilah kanda Kyai Ageng Pengging memilihnya dengan tegas dan nyata .”Kelewat (lebih) ada dari ada, dan yang kosong kelewat (lebih) kosong.” “Tidur sekali, namun berjaga sepanjang masa.” (Tidur tiap malam, dan berjaga tiap harinya.) “Sekali makan kenyang selamanya hayat dikandung badan, atau makan tiap sore namun masih juga merasa lapar tiap harinya.”Silakan kanda Kyai Ageng Pengging memilihnya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Sultan Demak Bintoro itu. Dinda ketahuilah, jika dinda milih “yang ada” dan menghendaki makan setiap harinya ambillah Negara Demak selagi Sultan Bintara masih memegang kekuasaannya”, Kyai Ageng Pengging menanggapinya, “Dinda Kyai Ageng Wanalapa, apa pula yang dikhawatirkan Sultan Demak Bintoro I itu. Coba lihat dinda, di Pengging ini ada apanya? Terheran-heran kanda dibuatnya akan pertanyaan itu, mengapa pula segala pertanyaan tadi agaknya bermuka dua. Setidaknya penuh dengan kecurigaan terhadap Pengging, Kyai menurut hematku bukankah seorang ratu itu menjadi kalifah Tuhan. Bukan kah seorang ratu itu, manusia yang paling sempurna? Dinda bagiku tak ada pilihan, dan aku tidak memilih. Kalaupun aku memilih salah satu di antaranya, tiada guna bagiku. Adi Kyai Ageng Wanalapa, baiklah tolong sampaikan pada Sultán Demak Bintoro, bahwasanya aku tidak memilih”.Kyai Ageng Wanalapa menjawab, “Kanda, jawaban kanda tidak meyakinkan bagiku. Nyatanya tidak memilih salah satu, atau mau menerima keduanya. Kalau demikian gagallah tugas dinda, tiada gunanya diutus menjadi Duta Demak. Bagaimana nanti jadinya,” Kyai Ageng Wanalapa segera minta pamit dan menyalami Kyai Ageng Pengging. “Adi kyai Ageng Wanalapa, pesanku padamu tolong sampaikan pada Sultan Demak Bintoro. Bahwa pertanyaan dari Sultan Demak tadi kepadaku, aku tak ada pilihan keduanya. Terserah kepada Sultan Demak Bintoro I yang akan menanggapi jawabanku itu, sebab keduanya pun aku mau. Bagiku memilih itu suatu pantangan, tiada guna bagiku hidup sebagai manusia di dunia ini kalaupun aku sampai memilih satu di antaranya. Sebab manusia itu tak berhak memilih, ataupun menolak”, demikian Kyai Ageng Wanalapa menerima pesan akhir dari Kyai Ageng Pengging segera laju kembali menuju ke Demak.
Sampailah sudah Kyai Ageng Wanalapa di kasultanan Demak, dan segera melapor pada Sultan Demak Bintoro I. Waktu itu di keraton Demak lengkap yang hadir, para Waliagung para nayaka, pandita. Tak ketinggalan para satria Demak turut menghadap di paseban waktu itu. Kanjeng Sultan duduk di dampar (singgasana) yang beralaskan karpet yang sangat indah, belakang raja para ampilan yang membawa alat-alat kebesaran Kasultanan Demak. Banyak, Dalang, Ardawalika, Kacumas berjajar rapi dibawa oleh para parekan Demak, suatu pemandangan yang lebih mempesona kelihatannya. Sunan Kudus berkata bahwa utusan ke Pengging Kyai Ageng Wanalapa telah datang untuk melapor. Segera Kyai Ageng Wanalapa maju ke depan, dan di hadapan Sultan Demak Bintoro I menghaturkan sembah untuk kemudian melapor perihal hasil dari diutus ke Pengging.
“Perkenankanlah saya melapor ke hadapan Sultan Demak Bintoro I, tugas saya sebagai utusan Sultan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan “gagal” tidak berhasil. Tidak ada salah satu yang dipilih, namun tidak menolak pula keduanya. Kyai Ageng Pengging tak punya keinginan apa-apa, keinginannya hanya satu ingin berdiam diri di Pengging saja. Untuk itu, semoga Sultan Demak Bintoro menerimanya, dan kami mohon maaf sebesar-besarnya atas gagalnya keinginan Sultan”.
Kepada Sunan Kudus Sultan Demak Bintoro berkata, ” Sunan Kudus, pergilah sekarang juga ke Pengging. Bawalah Wadya andalan sebanyak yang diperlukan, tugas kanda hanya satu. Jika terbukti kanda Kyai Ageng Pengging mempunyai maksud tertentu, paling tidak ada tanda-tanda akan berbuat merongrong kewibawaan Kasultanan Demak Bintoro jangan ragu-ragu untuk memberikan aturan sesuai dengan hukum dalil dan hadis”, Sunan Kudus berkata sambil menghaturkan sembah bermohon diri untuk segera berangkat ke Pengging. Sang Prabu Demak kembali ke kedaton, para Waliagung, pandita, niyaka, pramea kembali ke tempatnya masing-masing
4.9 Perjalanan Sunan Kudus Menuju ke Pengging
Tujuh orang andalan Demak yang kesemuanya menyamar sebagai santri menerima perintah dari Sunan Kudus, beliau pun berbusana selayaknya seorang santri dusun. Tak lupa pusaka wasiat Kudus dibawanya, sebuah bende (semacam gong) bernama Kyai Macan konon istri Sunan Kudus yang membawanya. Sebuah pusaka wasiat yang berasal dari Adipati terung yang amat bertuah sarana untuk maju ke medan laga. Malam telah tiba, Sunan Kudus dengan ketujuh sahabatnya berhenti untuk bermalam di tepian kali di sebuah bulak (padang antara desa-desa). Beristirahatlah mereka di bawah pohon cemara, Kyai Macan segera diturunkan tali temalinya dilepas dan segera digantungkan di pohon Kapundung. Kala itu bulan bersinar dengan terangnya apalagi purnama. Pangeran Kudus segera memerintahkan kepada para sahabatnya untuk memukul bende Kyai Macan, suara melengking memenuhi segala penjuru desa. Bahkan ada yang mengira suara bende Kyai Macan tadi seperti raungan seekor Harimau. Mendengar suara raungan yang dikira harimau yang nyatanya bunyi dari suara Kyai Macan bende Sunan Kudus, gegerlah penduduk di desa-desa sekitarnya. Di susul bunyi bertalu-talunya gendong (kentongan bunyi tanda bahaya di desa) di desa, suatu pertanda bahaya mengancam penduduk desa. Berkumpulah orang orang di desa dan menuju ke satu tujuan, tempat asal suara raungan harimau tadi. Nyatanya mereka mengitari bende Kyai Macan yang tergantung di pohon Kepundung.Masih juga belum diketemukan asal suara harimau tadi, padang dijelajahi, pinggir-pinggir jurang, semak-semak tak luput periksa juga, namun Harimau tak diketemukan. Mereka heran juga, raungan Harimau yang begitu meyakinkan, tentu berasal tidak akan jauh dari desanya. Sampailah mereka dalam usaha mencari Harimau tadi dipinggir kali, sedikit naik ke atas kelihatan pohon Kepundung. Di bawahnya tampak duduk seseorang yang dihadap oleh tujuh orang lainnya, penduduk desa segera memutuskan untuk menemui mereka.
Penduduk yang berdatangan di tempat tadi, bertanya kepada mereka hampir bersamaan. Sehingga Sunan Kudus menjawab pertanyaannya.”Ki sanak, saya adalah seorang santri dari Kudus. Demikian ketujuh sahabatkü ini, mereka berasal dari daerah yang sama. Namaku Kyai Amad Sapanyana, kulihat kalian datang bergerombol. Adakah sesuatu kepentinganmu datang menemui kami di sini? Di samping itu maksud dan tujuan kami akan pergi ke Pengging adalah menemui saudara kami. Karena kemalaman, kami berdelapan singgah di daerah ini untuk beristirahat dan bermalam.”.Menjelang pagi hari, Sunan Kudus bersama para sahabatnya melanjutkan berangkat menuju Pengging. Sunan Kudus dan ketujuh sahabatnya sudah sampai mereka diperbatasan kota. Waktu itu Sunan Kudus dan para sahabatnya menuju ke rumah Mbok Wujil, bertempat di sebelah timur pagar bata, dan setelah memberikan salam Sunaan Kudus dan para sahabatnya ditanyai oleh Mbok Wujil. “Selamat datang kucapkan kepada kalian anak-anakku, dari mana saja kalian ini. Hendak kemana tujuan ananda ini”, Sunan Kudus menjawabnya “Mbok, saya dari Kudus. Amad Sapanyana namaku. kami akan menuju ke rumah Kyai Ageng Pengging. Apakah kiranya Kyai Ageng Pengging ada di rumah?” Mbok Wujil menjawabnya, “Kalau tidak salah dugaan saya, Kyai Ageng ada juga di dalem. Namun, agaknya sedang susah hatinya. Enggan makan dan tidur, seharian hanya bertafakur berdoa di dalem saja. Konon cerita yang tersebar, baru-baru saja ini kedatangan Duta Demak. Dan setelah itu Kyai Ageng Pengging kelihatan selalu mengunci diri dalam dalem . Berdoa tiada henti-hentinya, tak mau ditemui oleh siapa pun juga.”
Pangeran Kudus berkata kepada ketujuh sahabatnya, “Kalian menanti di sini saja, aku akan menemui Kyai Ageng Pengging sendiri. Kuingatkan padamu, jika kau dengan suara tangis dari dalam kalian harus waspada.”Sunan Kudus segera berucap pada mbok Wujil, “Bibi, kutitip kan ketujuh sahabatku ini, aku akan menemui Kyai Ageng Pengging sendiri”, mbok Wujil menyanggupinya dan Sunan Kudus lalu masuk sendirian. Sampailah di pintu gerbang , kepada si penjaga pintu gerbang Sunan Kudus bertanya.”Ki sanak, apakah Kyai Ageng Pengging kelihatan berada di dalam?” si penjaga pintu menjawabnya, “Ada, beliau sedang berada di dalem. Kyai Ageng Pengging sedang sakit, tidak mau makan dan tidur. Seharian hanya berdoa dan tafakur saja. Tak mau pula ditemui oleh siapa saja”, Pangeran Kudus berkata kepada si penjaga pintu pura.”Ki sanak, aku minta tolong padamu. Sampaikan kepada Kyai Ageng Pengging, bahwa duta Hyang Widi akan bertemu lagipula Jibril akan menyampaikan perintah kepadanya”. Penjaga gerbang segera pergi, masuklah ke dalam pura menemui parekan segala hal ihwal adanya tamu di luar sudah diceritakan kepadanya. Di dalem Kyai Ageng Pengging menerima berita adanya tamu dari Kudus dari laporan parekan, segera kepadanya diperintahkan untuk segera mempersilakan masuk tamu Kudus tadi.
Parekan dipesan Kyai Ageng Pengging, “Ceti, jemputlah tamu dari Kudus di luar itu, ajaklah ke dalem”, dua orang ceti laju menemui Sunan Kudus dan dipersilakan segera masuk ke dalem. Sesampai di dalem, Sunan memberikan salam kepada Kyai Ageng Pengging, demikian pula Kyai Ageng Pengging ganti memberi salam kepada Sunan Kudus.Kyai Ageng Pengging waktu itu terbaring di kantil (tempat tidur) dikarenakan sakit, Sunan Kudus seusai menyalami dan berjabat tangan dengan Kyai Ageng Pengging segera maju mendekati kantil. Kyai Ageng Pengging segera membuka kelambu, diajaknya Sunan Kudus duduk di dalam nya. Berkatalah Kyai Ageng Pengging,” Sunan Kudus, kuucapkan selamat datang di Pengging ini,” Sunan Kudus membalas menjawab, “Kakang Kyai Ageng Pengging, insya Allah kita selamat semuanya”. Kyai Ageng Pengging segera memerintahkan kepada rubiyahnya (istrinya) untuk menjamu pada Sunan Kudus, Nyai Ageng Pengging kembali ke dalam untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
4.10 Meninggalnya Kyai Ageng Pengging
Setelah duduk Sunan Kudus memulai Pembicaraan. “Kyai, atas perintah dari Sultan Demak Bintoro, kakangmas dimohon untuk datang di Demak sekarang juga bersama-sama dengan adinda”, Kyai Ageng Pengging menjawabnya, “Yayi Sunan Kudus, apa pula maksud Sultan Demak Bintoro I memanggilku. Hendaknya diketahui saya pun tak pernah di bawah perintah ratu, sebab bukankah asalku ini dari Gusti (Tuhan Yang Maha Kuasa). Dan terjadilah Tanya jawab tentang Ilmu Sejati. Sunan Kudus melempar pertanyaan dan Kyai Ageng Pengging menjawabnya. beberapa kali sempat membuat Sunan Kudus terperangah.
Pada suatu kesempatan, Sunan Kudus melemparkan pertanyaan simbolik sebagai berikut :
Kalamun Ingsun kapanggih kalawan kekasihingwang, Dadi Kawula pan mami,
Kalamun Ingsun kapisah kalawan kekasih mami,
Sun dadi Ratu,
Ratu Ratuning sabumi,
Ratu Angratoni Jagad.
(Manakala Ingsun ( Aku ) bertemu dengan kekasih-Ku,
Ingsun ( Aku ) menjadi Kawula ( Hamba ),
Manakala Ingsun ( Aku ) terpisah dengan kekasih-Ku,
Ingsun ( Aku ) menjadi Raja,
Raja Diraja seluruh bumi,
Raja Yang Merajai Jagad Raya. )
Siapakah Ingsun ( Aku ) dan siapakah kekasih-Ku ?
Ki Ageng Pengging tersenyum dan menjawab :
Ingsun ya Ingsun,
Datan ana roro telu
Kasebut Hyang Paramashiwah, Hyang Sadashiwah lan Hyang Atma
Telu-telune jatine Tunggal.
(Ingsun ( Aku ) adalah Ingsun ( Aku )
Tiada lagi yang kedua maupun ketiga
Disebut juga Hyang Paramashiva, Hyang Sadashiva dan Hyang Atma
Ketiga-tiganya sesungguhnya adalah Satu.)
Kasebut ugi Allah, Rasul lan Mukhammad,Telu-telune Tunggal uga.
(Disebut juga Allah, Rasul dan Mukhammad, Ketiga-tiganya sesungguhnya adalah Satu juga.)
Kang ingaranan kekasihingwang,
Ya jisim ya suksma,
Yen Ingsun kapanggih kalawan jisim lan suksma,
Ingsun dadya Kawula,
Yen Ingsun kapisah kalawan jisim lan suksma,
Ingsun Pan dadya Ratu,
Ratu Ratuning Jagad,
Ya Brahman Ya Allah,
Tan liyan saking punika.
(Yang disebut kekasih-Ku,
Adalah Jasad dan Suksma,
Manakala Ingsun ( Aku ) bertemu dengan Jasad dan Suksma,
Ingsun ( Aku ) menjadi Kawula ( Hamba ),
Manakala Ingsun ( Aku ) terpisah dengan Jasad dan Suksma,
Ingsun ( Aku ) menjadi Raja,
Raja Diraja Semesta,
Ya Brahman Ya Allah,
Tiada lain dari itu.)
Sunan Kudus tersenyum mendengar jawaban Kyai Ageng Pengging. Dan perdebatan semakin panas.
Sunan Kudus bertanya.
“Ana Curiga kalawan Warangka. Yen mung katon Warangka, aneng ngendi Curiganira?”
(Ada Keris dan Warangka. Manakala hanya terlihat Warangka, dimanakah Kerisnya ?)
Kyai Ageng Pengging menjawab,
“Amanjing Warangka. Manunggal anyawiji.”
(Masuk kedalam Warangka. Manunggal menjadi satu.)
Sunan Kudus tersenyum, lantas bertanya lagi.
“Yen mung katon Curiga, aneng ngendi Warangkaneki?”
(Manakala hanya terlihat Keris, dimanakah Warangkanya? )
Kyai Ageng Pengging menjawab.
“Amanjing Curiga. Manunggal anyawiji.”
(Masuk ke dalam Keris. Manunggal menjadi satu . )
Kemudian Sunan Kudus bertanya.
“Yen musna ilang lelorone, dumunung ing ngendi?”
(Manakala hilang musna keduanya, berada dimanakah?)
Kyai Ageng Pengging menjawab.
“Dumunung aneng Urip.”
(Berada didalam Hidup.)
Sunan Kudus tertawa. Lantas dia bertanya lagi..
“Ana ing ngendi dununging Urip?”
(Dimanakah tempat kediaman Hidup?)
Kyai Ageng pun menjawab.
“Ana Ing Galihing Kangkung
Ana Ing Gigiring Punglu
Ana Ing Susuhing Angin
Ana Ing Wekasaning Langit.
(Berada di inti tumbuhan Kangkung
Berada di sudut Pelor
Berada di Kediaman Angin
Berada di akhir Langit. )
Kembali Sunan Kudus tersenyum, dan Sunan Kudus belum puas. Kembali dia melempar pertanyaan.
“Yen ilang Alip, lebur marang Lam Awal lan Lam Akhir. Ilang Lam Awal lan Lam Akhir, lebur marang Ha’. Yen lebur Ha’ dumunung aneng ngendi?”
(Jika hilang huruf Alif, maka lebur kedalam Lam Awwal dan Lam Akhir. Jika hilang Lam Awwal dan Lam Akhir, lebur kedalam Ha’. Jika lebur Ha’, berada dimanakah ? )
Kyai Ageng menjawab.
“Urip.”
(Hidup.)
Sunan Kudus menyela.
“Alip Jisimingsun.”
(Alip Jasad-Ku. )
Kyai Ageng menyela juga.
“Ang Raganingsun.”
(Ang Raga-Ku. )
Sunan Kudus menyela lagi.
“Lam Awwal lan Lam Akhir Napsuningsun.”
(Lam Awwal dan Lam Akhir NafsuKu. )
Kyai Ageng menyela juga.
“Ung Suksmaningsun.”
(Ung Suksma-Ku . )
Sunan Kudus menimpali lagi.
“Hu Ruhingsun .”
(Hu Roh-Ku . )
Kyai Ageng menimpali juga.
“Mang Atmaningsun.”
(Mang Atma-Ku . )
Sunan Kudus.
“Allah Asmaningsun.”
(Allah Nama-Ku . )
Kyai Ageng Pengging.
“Hong Asmaningwang.”
(Hong Nama-Ku . )
Sunan Kudus.
“Alip, Lam Awwal, Lam Akhir, Hu…………Allah.”
Kyai Ageng Pengging.
“Ang, Ung, Mang………….Hong.”
Sunan Kudus diam. Lantas menantang secara halus.
“Yen tebu weruh legine, yen endhog weruh dadare.”
(Apabila Tebu nyata manisnya, apabila telur nyata isinya.”)
(Ungkapan ini adalah ungkapan khas Jawa, yang maksudnya meminta bukti nyata dari semua yang telah diucapkan)
Kyai Ageng tersenyum dan berkata : “ Sumangga ing karsa..” ( Silakan..)
Kyai Ageng Pengging lantas bersendekap dan meminta Sunan Kudus memperhatikan titik diantara kedua alis mata beliau. Lantas, Kyai Ageng memejamkan mata. Sunan Kudus awas, dia lekat memperhatikan titik diantara kedua alis mata Kyai Ageng Pengging. Suasana mendadak berubah, ruangan dimana Sunan Kudus berada, terasa hampa, senyap dan seolah tanpa suara sama sekali. Beberapa detik kemudian, Sunan Kudus mendadak tersentak manakala dia melihat cahaya terang nan lembut memancar dari titik diantara kedua mata Kyai Ageng Pengging.
Cahaya yang lembut itu menerobos kesadaran Sunan Kudus. Dan disana, ditengah hempasan cahaya tersebut, Sunan Kudus melihat dirinya berada disana. Sejenak kemudian berubah menjadi wujud Kyai Ageng Pengging, lantas berubah lagi menjadi wujudnya.
Sunan Kudus menutup mata, namun penampakan itu menembus kelopak matanya yang terpejam. Sunan Kudus lantas berkata.
“Aku percaya nakmas Pengging…Sudah cukup.”
Kyai Ageng Pengging tersenyum, dan cahaya lembut yang memancar dari titik ditengah kedua alis matanya tersebut, mendadak sirna tanpa bekas.Sunan Kudus membuka matanya dan menatap Kyai Ageng Pengging tajam, sembari berkata.
“Kabarnya, nakmas Pengging mampu Mati Sajeroning Urip. Urip Sajeroning Pati ?”
Kyai Ageng Pengging menjawab.
“Kanjeng Sunan, saya tahu, Kanjeng Sultan Demak menganggap saya sebagai ‘klilip’ (Penghalang) beliau. Tidak usah berbasa-basi lagi. Saya siap mati sekarang. Saya bisa mengakhiri kehidupanku saat ini juga. Tapi, kalau saya melakukannya, sama saja dengan bunuh diri. Bunuh diri dalam keyakinan Shiwa maupun Islam, adalah hal yang tercela. Untuk itu, jadilah perantara kematianku.”
Sunan Kudus terdiam.
“Cabutlah keris Kanjeng,” lanjut Kyai Ageng Pengging, “tusukkan siku kananku ini. Disaat ujung keris Kangjeng menancap disikuku ini, saat itulah, aku akan melepaskan suksma dan Atmaku dari jasadku. Silakan.” Sunan Kudus segera mencabut kerisnya. Sedangkan Kyai Ageng Pengging sejenak bersendekap memejamkan mata. Disusul, beliau angkat siku kanannya kedepan. Sunan Kudus menusukkan kerisnya kesikunya. Dan disaat itulah, Kyai Ageng Pengging melepaskan suksma dan Atmanya. Tubuhnya rebah ke kanan. Sunan Kudus memeriksa detak jantungnya, dan Sunan Kudus yakin, bahwa Kyai Ageng Pengging telah wafat. Sejenak beliau membenahi jasadnya, lantas keluar dari bilik Dalem Agung. Di saat Kyai Ageng Pengging wafat, suara terdengar memberikan salam kepada Sunan Kudus, dibalasnya “wa’alaikumsalam”.
Segera Sunan Kudus meninggalkan jenazah Kyai Ageng Pengging lalu keluar berkumpul dengan ketujuh sahabatnya yang berada di Wujilan (kediaman Ni randa Wujil). Sunan Kudus setelah berkumpul dengan ketujuh sahabatnya berkata, “Tugas sudah selesai, marilah kita meninggalkan daerah ini. Pesanku pada kalian, jika keluarga dari Kyai Ageng Pengging mengejar kita, jangan sekali-kali kalian melawannya. Teguhkan imanmu dan kuatkan hatimu”, ketujuh sahabat Sunan Kudus menyanggupinya dan mereka berjalan meninggalkan dukuh Wujilan.
Nyai Ageng telah selesai mempersiapkan jamuan makan minum untuk tamunya, Nyai Ageng segera melapor ke dalem ingin menemui Kyai Ageng Pengging. Di depan pintu kamar Nyai Ageng menanti panggilan dari suaminya. Lama dinanti tak ada suara panggilan, di perhatikannya tiada suara berisik di dalam kamar. Masuklah ke kamar peraduan Kyai Ageng, tampak tirai tertutup rapat. Nyai Ageng segera mendekat dan menyingkap tirai tadi, tak tampak olehnya tamu tadi namun Kyai Ageng Pengging tergolek di atasnya.Kecurigaan timbul dalam hatinya, segera dipegang tubuh Kyai Ageng Pengging dirabanya, namun tetap juga tergolek di atas papan kantilnya, tak bersuara ataupun tak berucap lagi. Beliau sudah muksa, kembali ke jaman kemulyaan sejati. Nyai Ageng menyadari bahwa suaminya telah meninggal, menjeritlah Nyai Ageng sekuat-kuatnya.
Geger seluruh pura kapenggingan, Kawula Santana berteriak-teriak mengatakan bahwa Pengging telah kemasukan mata-mata musuh. Berkumpullah segenap rakyat Pengging, satu tekad akan bela pati dengan Kyai Ageng Pengging. Para Wadyabala tidak berhasil mengejar musuh-musuhnya, merasa sedih terkecoh oleh perbuatan siasat musuhnya yang telah berhasil membunuh Kyai Ageng Pengging. Para Sentana laki perempuan sekalipun Nyai Ageng Pengging tak ada henti-hentinya mereka menangis, tak ada yang diingat kecuali terbayang bayang akan mendiang Kyai Ageng Pengging junjungannya.Mereka merasa begitu terharu, dikarenakan mangkatnya Kyai Ageng Pengging meninggalkan seorang putra yang masih bayi.
Nyai Ageng Pengging sepeninggal suaminya sangat susah hatinya, apalagi memikirkan putranya masih bayi sudah ditinggal ayahnya. Berhari-hari tidak makan malam pun tak tidur, sehingga badan Nyai Ageng kelihatan kurus dan sakit-sakitan. Berita tentang wafatnya Kyai Ageng Pengging, sampai juga pada keluarga Kyai Ageng Tingkir.Konon Nyai Ageng untuk pergi ke Pengging, setidak untuk melihat keadaannya sesudah Kyai Ageng Pengging wafat dan bagaimana pula dengan keponakannya yang masih bayi itu. Pergilah Nyai Ageng Tingkir ke Pengging, untuk menemui adiknya ialah Nyai Ageng Pengging. Sesampainya di Pengging, lalu Nyai Ageng Tingkir menjumpai adiknya Nyai Ageng Pengging. Rasa haru di antara kedua Nyai Ageng tadi sungguh membuat suasana di Pengging waktu itu lebih menambah beban bagi yang melihatnya, apalagi Nyai Ageng Pengging sedang sakit pula. Berkali-kali mereka berbincang-bincang, disela tangis mereka yang tidak henti-henti. Tak ada lain yang dipermasalahkan kecuali sepeninggal Kyai Ageng Pengging, Nyai Ageng sangat merana hatinya apalagi mempunyai momongan seorang putra lelaki Mas Karebet yang masih sangat muda.Berkatalah Nyai Ageng Tingkir, “Yayi, terimalah rasa bela sungkawaku atas wafatnya yayi Kyai Ageng Pengging.
Di samping itu, kedatanganku di Pengging kecuali akan melepas kerinduanku kepada yayi Pengging juga terdengar berita bahwasanya yayi Nyai Ageng gerah (sakit). Nyai, apa pula yang menjadi beban Nyai, kenapa pula yayi gerah?” Nyai Ageng menjawab , “Kangmbok (bakyu, kakak perempuan) bukan menjadi rahasia lagi setelah kangmas wafat, serasa hatiku kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Entah sesudah itu hatiku sangat merana, akibatnya enggan dinda untuk berbuat sesuatu, makan dan tidur pun sudah tak terpikirkan lagi. Maafkan yayi, bagaimanapun hatiku masih belum bisa pulih seperti sediakala. Apalagi, bukankah putramu Karebet ini masih kecil, namun sudah tidak berbapak lagi. Apa dayaku kangbok, sebagai seorang wanita yang ditinggal suami. Terpikir olehku kepada siapa nantinya aku akan berlindung, apalagi bagaimana pula akan nasib si Karebet nantinya. Bagiku tak ingin akan hidup lagi, keinginanku hanya akan menyusul kangmas.”
Serasa tersayat-sayat hati Nyai Ageng Tingkir mendengarkan keluh kesah Nyai Ageng Pengging, “Yayi adikku sayang, mengapa pula yayi menyalahkan keadaan saat ini? Itu berarti yayi tidak bisa mensyukuri akan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, bukankah dalam Islam telah tersurat bahwa bahagia, sengsara, dan mati pun manusia tidak punya kuasa . Bukankah kesemuanya itu Tuhan yang Maha Kuasa yang menentukan. Manusia yayi, harus bersyukur akan rahmat Tuhan, janganlah yayi selalu menyesali nasib diri sendiri.Yayi, menurut hematku jika kau menyetujuinya ingin kangbok akan membawa serta pulang ke Tingkir keponakanku, putramu si Mas Karebet. Biarlah kangbok yang merawatnya, sukur-sukur dapat membesarkannya di kelak kemudian hari”, Nyai Ageng menjawab, “Kangbok Nyai Ageng Tingkir, dengan tangan terbuka kuserahkan putraku Mas Karebet. Namun jangan sekarang dibawa ke Tingkir, biarlah menunggu dahulu sampai saya sembuh”.
Nyai Ageng Tingkir menuruti apa usulan Nyai Ageng Pengging, dan memesannya, “Yayi pesanku padamu, bersyukurlah atas nikmat Tuhan yang telah dilimpahkan kepadamu. Mulai sekarang yayi harus selalu lebih waspada terutama akan datang nya godaan dan rencana yang akan selalu mengganggu keselamatan yayi di Pengging ini. Sudahlah yayi, aku akan kembali ke Tingkir, namun sekali lagi pesanku padamu yayi jagalah Mas Karebet dengan baik, dan juga kepada putra Sentana Pengging. Yayi, dindalah yang menjadi panutan sesudah dimas Pengging wafat, dinda pula yang bertanggung jawab untuk lestarinya trah Pengging Pajang nanti. Jangan lupa, semua pesan ku dan selalu berhati-hati dan waspadalah”, Nyai Ageng Pengging segera merangkul Nyai Ageng Tingkir seraya berkata, “Kangbok, saya akan menuruti segala pesan kangbok. Pangestu kangbok saja siang malam hendaknya selalu akan memberkahiku”.
Sebulan setelah wafatnya Kyai Ageng Pengging, Nyai Ageng Pengging yang jatuh sakit dan akhirnya beliau wafat. Kembali Pengging berduka. Mendung menyelimuti daerah Pengging. Raden Mas Karebet, menjadi yatim piatu. Dan Nyai Ageng Tingkir, janda Kyai Ageng Tingkir, membawa Kyai Mas Karebet kecil ke Tingkir. Mas Karebet diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir. Yang kelak Raden Mas Karebet lebih dikenal dengan nama Jaka Tingkir.
5. Referensi
- Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
- Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
- Suroyo, A.M. Djuliati, dkk. 1995. Penelitian Lokasi Bekas Kraton Demak.Kerjasama Bappeda Tingkat I Jawa Tengah dengan Fakultas Sastra UNDIP Semarang.
- Serat Kandhaning Ringgit Purwa. Koleksi KGB. No 7.
- Sudibya, Z.H. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Babad Tanah Jawi
- Babad Tanah Jawi Demakan
- Babad Tuban
- Serat Kandha
- Cerita tutur masyarakat Jawa
- Babad Jaka Tingkir