“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.” (QS.
al-Baqarah/2:183)
ARRAHMAH.CO.ID – Agama hadir membawa
pesan moral dan senantiasa mengawal gerak laju manusia dalam menjalani
kehidupan sosialnya. Sebab, agama melalui berbagai ajarannya membimbing manusia
agar tidak keluar dari garis-garis besar kemaslahatan. Puasa Ramadhan
sebagai salah satu kewajiban agama adalah sebuah
fase yang menyimpan berbagai nilai dalam segenap aktivitas ritual peribadatan. Puasa adalah kewajiban yang telah
ditetapkan terhadap umat-umat yang lalu. Begitulah salah satu penegasan dari
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183 yang telah dikutip di bagian awal tulisan ini.
Prof. Quraish
Shihab menjelaskan tafsir atas ayat tersebut bahwa ayat di atas menyebut
kewajiban berpuasa tanpa menyebut siapa yang mewajibkannya. Hal ini untuk
mengisyaratkan bahwa seandainya bukan Allah SWT yang mewajibkannya, manusia
sendiri akan melaksanakannya setelah tahu besarnya manfaat puasa. Puasa yang
diajarkan al-Qur’an dapat membuahkan kesucian jiwa, keikhlasan, dan ketulusan.
Puasa juga menjadi alat pengawasan diri dan sekaligus perwujudan ketakwaan
kepada Allah SWT.
Pada hakikatnya, bulan
puasa Ramadan adalah bulan kemanusiaan. Kewajiban
puasa Ramadan tidak hanya menuntut peningkatan hubungan vertikal manusia dengan
Tuhannya, tetapi juga dengan sesama manusia dan alam raya pada umumnya Di balik
ibadah-ibadah yang disyariatkan, terdapat pesan-pesan agar kita lebih peka
terhadap persoalan kemanusiaan. Dalam ibadah puasa, diri kita dilatih untuk
mempunyai solidaritas kemanusiaan.
Secara
pemaknaan, puasa bisa dipahami dalam dua pengertian, yakni teosentris dan antroposentris. Puasa bukan
hanya ibadah mahdhah (ibadah murni) yang hanya berorientasi
vertikal (teosentris) tetapi juga horizontal (antroposentris). Namun demikian,
pengaruh nalar teologis-bayani begitu kuat dalam pemaknaan agama (religion meaning), yakni
pemusatan segala aktivitas dan persoalan apapun kepada Tuhan, sedangkan problem
kemanusiaan cenderung terabaikan. Cara manusia memahami agama senantiasa akan mengalami
hambatan jika ia tidak mampu menangkap pesan-pesan yang tersirat dalam setiap
sendi ajaran agama.
Dalam pemaknaan seperti
ini, puasa
akan semakin jauh dari nilai fungsionalnya untuk menjadikan manusia bertaqwa `la`allakum
tattaquun` (QS. Al-Baqarah: 183).
Spirit
Kemanusiaan
Pada bulan Ramadan tahun ini, spirit dan aksi
kemanusiaan harus lebih ditingkatkan,
mengingat kita sedang bersama-sama
diuji oleh Allah SWT dengan virus COVID-19. COVID-19 menguji solidaritas
kemanusiaan kita, apakah hanya sebatas slogan atau diwujudkan dalam aksi nyata.
Ramadan kali ini banyak yang terdampak COVID-19 baik kesehatannya maupun
perekonomiannya. Mereka adalah sasaran aksi kemanusiaan yang harus lebih
diintensifkan selama Ramadan. Oleh sebab itu,
mentransformasikan nilai peribadatan keagamaan menjadi seperangkat nilai sosial
kemanusiaan merupakan sebuah upaya yang perlu terus menerus dilakukan.
Nilai-nilai kemanusiaan yang dikandung
dalam ibadah puasa tidak cukup hanya dipahami, tetapi harus diwujudkan dalam
tindakan nyata. Maka, salah satu jalan untuk memeriksa diri dan menghidupkan
rasa kemanusiaan adalah dengan berpuasa, karena ibadah ini mengandung dua aspek
sekaligus: kesalehan individual dan kesalehan sosial; kombinasi keduanya mampu melahirkan
efek yang besar dalam pola interaksi sosial. Dengan berlapar-lapar, haus dan
menahan hasrat-nafsu, kita bisa belajar menerapkan empati kepada orang lain dan
menahan diri untuk tidak berlaku negatif dan merugikan orang lain.
Dengan puasa, manusia diajarkan untuk lebih mengerti empati dan menerapkannya
dalam lingkungan sosial. Pada titik inilah terjadi transformasi nilai dari
kesadaran individual menuju kesadaran sosial. Rasa empati antar-sesama manusia
yang diajarkan oleh puasa Ramadhan kemudian berproses menjadi sebuah refleksi
etis.
Puasa
mengandung pesan esoteris, “Aku sudah berjanji kepada Allah Yang Mahakasih untuk
melakukan shaum.” (QS. Al-Baqarah:
26).
Pada surah
Maryam itu Allah menggunakan redaksi “shaum” untuk memberitakan puasanya Siti
Maryam, seorang perempuan suci yang dari rahimnya lahir Nabi Isa AS. Di
mana Siti
Maryam menjalankan puasa fisik dan non-fisik, yang hidupnya berharap keridlaan-Nya
semata. Di sini Siti Maryam berpuasa untuk mengendalikan diri
dari kondisi dan situasi masyarakat sekitarnya. Inilah bentuk puasa yang
bisa membangkitkan lagi jiwa kemanusiaa manusia. Puasa syariat sekaligus
hakikat. Puasa fisik sekaligus nonfisik. Puasa yang bergerak jauh ke atas
menuju keridhaan Allah. Menahan berbicara kecuali yang penting saja dan sesuai
ajaran Allah. Mendengar hanya yang menjadi kewajiban kita untuk mendengarnya.
Melihat hanya yang menjadi haknya.
Sekali
lagi, puasa tidak hanya memberikan pesan spiritual, tetapi juga mengandung pesan sosial.
Ibadah menjadi tidak ada artinya jika pesan sosialnya tak diindahkan. “Maka, celakah orang-orang yang shalat; yang lalai dalam shalatnya yang
hanya pamer; yang tidak memberi pertolongan.” (QS al-Ma’un: 5-7). Semoga melalui
puasa Ramadhan, kita belajar memanusiakan manusia.
[]
Oleh: Ust. Edi Sutrisno,
Ketua I bidang Ibadah dan Dakwah, Masjid
Jami’ Bintaro Jaya Jakarta.
https://www.arrahmah.co.id/2021/05/spirit-kemanusiaan-ibadah-puasa.html