Jarang-jarang ada tulisan nang* menelusur ihwal akar filosofis dua tradisi linguistik Arab. Saya menemukan paparan ini (lagi-lagi) dalam buku Henry Corbin tentang filsafat Islam (History of Islamic Philosophy, edisi Inggris 1993). Filsuf Perancis tersebut mendedahkan akar-akar dan perkembangan tradisi linguistik Arab nan tampak orisinil dan mengesankan.
Sebelum era Hijriyah, artinya zaman lahirnya Peradaban Islam, orang-orang Suriah dan Persia sudah lebih dulu mengkaji hermeneutika Aristoteles (peri hermeneias) yang direvisi oleh para penganut Stoik dan Neo-Platonis. Berkat persahabatan Ibn al-Muqaffa’, seorang muallaf terkenal dari tradisi Mazdaisme, dengan Khalil ibn Ahmed (w.791 M), maka yang belakangan ini mendapatkan akses terhadap bahasa Pahlavi (Iranian Tengah) nan berhubungan dengan tata bahasa dan logika. Bila tak kenal Khalil ibn Ahmed, patutlah disebutkan bahwa dia merupakan guru dari Imam Sibuyah nan divokalkan orang Arab menjadi Imam Sibawaih (w.169 H/786 M).
Terkait dengan filsafat, struktur bahasa Semitik sendirinya menyediakan renungan falsafati dengan tema-tema nan baru dan tak habis-habis. Namun demikian, bagaimanapun tradisi Arab menisbatkan ilmu tatabahasanya (nahwu) pada Imam Syi’ah Pertama atau Khalifah Keempat dalam Sunni, ‘Ali bin Abi Thalib. Tetapi, sejatinya karya Imam Sibawaih-lah nan menyediakan sistem gramatikal yang menyeluruh dan komplit sebanding dengan al-Qanun Ibn Sina dalam kedokteran. Perlu diingat bahwa Sibawaih adalah seorang Iran, dan menjadi catatan penting bahwa melalui perannya karya monumental tata bahasa Arab ini bisa tercipta.
Perkembangan awalnya sesungguhnya agak kabur. Tetapi, hal mustahak nan terkait dengan sejarah filsafat adalah mengetahui bagaimana karya aliran Basrah dan Kufah berkembang karena adanya karakter saling berlawanan dari keduanya yang berlangsung di seluruh abad ketiga/kesembilan. Pertentangan antara dua aliran ini sejatinya berpijak pada dua filosofi, dua pandangan dunia, nan beroposisi sengit satu sama lain.
Aliran Basrah memandang bahwa bahasa merupakan cermin nang dipercaya menggambarkan fenomena, obyek dan konsep. Hukum bahasa ini dipandang berlaku sama terkait dengan pikiran, alam, dan kehidupan. Karena itulah setiap suara, setiap kata dan setiap frase, wajib memiliki dasar atau akar kokoh ternisbah dengan pelbagai bentuk dan posisi nan dia duduki. Tugas pokok dan paling sukar ahli tata bahasa Basrah adalah menunjukkan hubungan timbal-balik antara bahasa dan akal.
Dia harus membikin seluruh bahasa menyesuaikan diri pada kategori rasional dan logis, menjabarkan aturan-aturannya, dan membuktikan bahwa seluruh titik berangkat dan jedanya kelihatan jelas dan punya motif rasional. Tanpa memisahkan morfologi (tasrif) dari sintaks (struktur), ahli tata bahasa Arab menundukkan seluruh bahasa, juga alam, logika dan masyarakat, pada hukum-hukum nan valid secara universal. Dalam semua hal, hukum-hukum bahasa nang sama inilah nan diberlakukan. Tak pelak, bahasa Arab nang dipakai dan dituturkan secara lisan bersama pelbagai keragamannya, dianggap melawan teleologi universal ini dan didakwa bersalah atas perbedaan yang terjadi. Karena alasan inilah, rekonstruksi skema gramatikal merupakan tugas besar nan rumit. Dia harus mempertimbangkan ketidakberaturan aneka hal-ihwal.
Oleh karena itu, ahli tata bahasa Basrah, pertama dan utama harus membedakan bentuk-bentuk asasi (paradigma, skema, asl). Ahli tata bahasa Basrah menganggap dirinya berhak mengukuhkan bentuk-bentuk ini dan menolak semua bentuk nan tak bisa dijustifikasi penjelasan rasional. Bahkan pun jika ada orang bikin satu kekecualian dalam kasus bentuk-bentuk tertentu, orang itu tak punya hak menciptakan bentuk-bentuk lain dengan analogi berdasarkan deviasi-deviasi terisolasi ini.
Pada titik inilah, aliran Kufah berada di kutub lain. Aliran Kufah menolak ketatnya pendekatan yang dijalankan Basrah. Aliran Kufah mengembangkan ilmu bahasa yang menyesuaikan dengan tipe ilmu Syi’ah nan menunjukkan hasrat khusus pada rangkaian ‘anomalistik’. Anomalistik apakah yang dimaksud di sini? Jawabannya, menurut Corbin, ada pada fakta hadirnya Hermetisisme dalam Syi’ah.
Hermes, nan dianggap pendiri Hermetisisme, bagi kaum Sabian (di dalam al-Quran kaum ini disebut tiga kali dan dianggap ahlul kitab) di Harran, Iran, merupakan leluhur mereka. Sabian adalah kelompok keagamaan yang mengembangkan kultus astronomis Semitik nan di-Helenisasi. Tsabit ibn Qurrah (w.288/901), merupakan guru terkenal kaum Sabian ini. Dia adalah matematikawan, fisikawan, astronom, dan penerjemah berkebangsaan Arab Mesopotamia (Irak Modern) yang hidup di Baghdad pada paruh kedua abad kesembilan masehi di masa dinasti Abbasiyah. Dia dikenal dekat dengan khalifah al-Mu’tadid (853/4-902).
Tsabit menulis dalam bahasa Suryani ihwal ‘lembaga-lembaga Hermes’ dan menerjemahkannya sendiri ke dalam bahasa Arab. Menariknya, bukan hanya bagi kaum Sabian, bagi kaum Manichean, Hermes adalah salah satu dari lima nabi besar yang mendahului nabi Mani. Sosok Hermes melintas dari ilmu-nubuwat (prophetology) Manichean ke dalam ilmu-nubuwat Islami nan mengidentifikasi figur tersebut sebagai Idris dan Enoch (Ukhnukh).
Kaum Syi’ah adalah kaum muslim awal yang menganut Hermetisisme. Penjelasannya, di satu pihak, ilmu-nubuwat Syi’ah dalam dirinya sudah mengelompokkan Hermes ke dalam kategori kenabian. Kenabian Hermes tidaklah terkait dengan penetapan hukum atau kenabian legislatif yang dibebani membawa syariah pada umat manusia. Hierohistori profetik (sejarah menanjak kenabian) Syi’ah menempatkannya sebagai nabi yang dikirim untuk mengelola kehidupan kota-berpenduduk pertama dan mengajarkan ilmu-ilmu teknik pada manusia. Di lain pihak, gnosiologi (ilmu-makrifat) Syi’ah mengelompokkan di dalam dirinya moda pengetahuan yang umum pada nabi-nabi biasa pra-Islam (seperti Hermes), pada para Imam, dan pada para wali secara umum selama siklus walayah yang meneruskan siklus kenabian legislatif. Itu sebabnya filsafat Hermetik menyebut dirinya hikmah laduniyyah, hikmah yang diinspirasi ilahi, artinya kurang lebih filsafat kenabian.
Memang, Kufah pada saat itu merupakan tempat puncak pengaruh Syi’ah. Bagi aliran Kufah, tradisi adalah segalanya. Tradisi dengan segenap kekayaan dan keragamannya nan jamak merupakan sumber tata bahasa pertama dan utama. Aliran ini juga menerima hukum analogi dengan syarat tidak mengorbankan bentuk-bentuk yang ditetapkan tradisi. Atas dasar ini, dikatakan bahwa dibandingkan dengan sistem Basrah nan rigid, ahli tatabahasa Kufah tak punya suatu sistem apa pun. Yang mereka miliki cuma sekumpulan keputusan khusus yang diambil terkait dengan kasus khusus, karena setiap kasus bersifat spesifik.
Di saat yang sama, mereka dilanda ketakutan pada hukum-hukum umum dan motivasi nan seragam, dan cenderung ke arah keragaman nan mengakui bentuk individual, pengecualian, dan unik. Namun, karena peduli juga pada upaya mendirikan paradigma-paradigma dan skema-skema primer kebahasaan, mereka lantas melipatgandakan paradigma dan skema ini, nan jadinya berkembang tanpa batas.
Bila para ahli tatabahasa Basrah menolak semua bentuk-bentuk kebahasaan yang penyimpangannya tidak tunduk pada justifikasi rasional, maka ahli-ahli tatabahasa Kufah tak punya kebutuhan membuat pilihan macam itu di dalam tradisi yang mereka hayati sebagai sumber tatabahasa. Semua bentuk yang dijumpai dalam bahasa Arab pra-Islam kuna dan dalam kesusastraan, melalui fakta sederhana bahwa mereka membuktikan eksistensinya sendiri, bisa dianggap sebagai sahih dan memiliki nilai normatif. Setiap kekecualian menjadi asali.
Mengenai konflik dua aliran linguistik Arab ini, Corbin kemudian mengutip pendapat Gotthold Weil (1882-1960), seorang Orientalis dan Pustakawan berkebangsaan Jerman-Israel, yang membandingkan oposisi antara aliran Alexandria dengan Pergamon dalam sejarah bahasa Yunani klasik sebagai konflik antara penganut ‘analogis’ dengan penganut ‘anomalis’. Namun, kesejajaran ini, menurut Corbin, perlu diakui hanya bisa diterapkan pada sikap nalar karena bahan-bahan linguistik secara mendasar berlainan dalam setiap kasus. Lagian, konflik antara para ahli tatabahasa Yunani ini persoalannya hanya jadi perhatian para sarjana.
Dalam Islam, situasinya berbeda. Ada sesuatu yang jauh lebih serius nan dipertaruhkan dalam pertikaian ini, karena bukan hanya ia mempengaruhi keputusan hukum dan kanonik, tapi juga padanya bergantung interpretasi ayat-ayat al-Quran atau sebuah tradisi religius. Fakta bahwa semangat aliran Basrah-lah nan akhirnya unggul dan berjaya menunjuk pada adanya gejala sesuatu nang jauh melampaui medan sederhana filsafat linguistik semata. [ ]
* lema ‘nang’ sama dengan ‘yang’ dan ‘nan’, lihat https://kbbi.kata.web.id/?s=nang
https://alif.id/read/riza-bahtiar/meneroka-filosofi-dua-tradisi-linguistik-arab-b246016p/