Sastra dan Gugatan Kaum Wanita

Kemenangan Annie Ernaux yang meraih penghargaan nobel di bidang kesusastraan (2022) seakan menyentakkan kita, sehubungan dengan kebekuan dan kejumudan sastra Indonesia. Hal ini mengingatkan sekaligus menegur kita, mengapa selama ini kita merasa kesulitan menjelajahi dunia baru yang penuh perubahan dan kejutan. Bagaimana mungkin sastra kita mampu berkontribusi menyemarakkan pembaharuan, jika tak punya keberanian untuk belajar melihat dari berbagai perspektif?

Oleh sebagian sastrawan Prancis yang selama ini bernaung dalam kemapanan sistem, kehadiran Annie Ernaux sangat mengusik dan mengganggu stabilitas kenyamanan mereka. Tetapi, ia menjawab tegas, “Bagaimanapun, sastra dunia harus konsisten mempertahankan ilmu tentang manusia!”

Pernyataan tersebut berkali-kali diucapkan saat menghadapi wawancara perihal kesuksesannya meraih award tahun ini. Ia secara lugas menyatakan dirinya “menolak” sastra yang dianggap baku dan sistemik. Dalam novelnya, “Memori Seorang Gadis” (2016), Ernaux menuturkan secara naratif tentang identitas kewanitaan secara global, bahwa dalam sistem korup yang menimbulkan maraknya kaum marjinal, selalu saja wanita berada di garda depan dalam menanggung penderitaan.

Novel yang ditulis secara autobiografis itu bicara langsung perihal identitas wanita secara antropologis, sosiologis dan psikologis. Ia menolak konsep kesusastraan yang mapan, seakan-akan wanita itu menjadi obyek yang diperalat kaum seniman dan sastrawan, pada soal estetika dan kemolekan tubuh semata. Sebagai penulis wanita, ia langsung melibatkan diri di dalamnya, bahwa ada aspek spiritual yang agung dan tersembunyi pada sosok wanita yang selama ini banyak dilupakan para seniman dunia.

Inilah yang disebut “evolusi baru” dalam kesusastraan Prancis, yang sekaligus mewakili corak kesusastraan dunia. Ernaux, yang lahir di lingkungan masyarakat menengah Prancis (Lillebonne), dibesarkan di lingkungan kedai karena orang tuanya memiliki kedai kopi sederhana, tempat ia berbincang-bincang dan bersenda-gurau dengan para pelanggannya. Hal ini mengingatkan kita pada sentrum warung kopi milik Pak Salim, yang menjadi ilham bagi penulis novel Indonesia (Perasaan Orang Banten). Di sekitar warung kopi itulah wara-wiri masyarakat diwartakan, berikut segala konflik, pertikaian dan perseteruan, yang akhirnya memaksa proses pendewasaan bagi spiritualitas masyarakat kampung Jombang, Banten dan Indonesia.

Baca juga:  Masih Adakah Bintang di Langit Jakarta?

Novel Ernaux yang tak kalah menarik, “Melihat Pelita Cintaku” (2014). Lagi-lagi ia bertutur secara autobiografis sebagaimana novel terbarunya “Le Jeune Homme” (Pria Muda) yang terbit pada awal 2022 ini. Tak pelak lagi, novel yang terakhir ini mengajak kita asemua agar bercermin diri dan bermuhasabah melihat kedalaman diri kita. Siapa kita ini yang sebenarnya?

Mengapa makhluk yang bernama “manusia” ini begitu lemah dan rapuh ketika dihadapkan oleh persoalan kesehatan tubuh yang sebenarnya bagian dari organ-organ yang melingkupi diri kita sendiri? Apa yang kita bahas dan persoalkan selama ini? Kenapa kita seringkali sibuk pada urusan jauh yang berada di luar diri kita?

Secara implisit, Annie Ernaux menyoal perihal penghamburan energi dan sumber daya, mengapa yang telah kita korbankan selama ini justru menciptakan kerusakan tatanan kosmik, bukan malah memperbaharui dan melengkapinya?

Saat ini, kita semua harus menyadari, ketika satu elemen berubah, semua kebiasaan, struktur, budaya kerja dan cara pengambilan keputusan ikut berubah dengan sendirinya. Pengetahuan dan cara pandang tentang sastra, dikira sudah final dan mentok. Ternyata, muncul karya-karya baru gubahan orang-orang cerdas dan jenius, lalu menawarkan gagasan dan paradigma kesusastraan, bahkan tentang religiositas baru.

Generasi sastra baru ini seakan tak mau meributkan dan menggerutu soal kemacetan di tengah jalan, tetapi pintar memutar haluan untuk mencari alternatif jalan baru. Sementara, generasi yang mapan (status quo) terperangkap dalam kenyamanan, takut kesasar dan tersesat di jalan buntu. Dari sejak zaman Orde Baru, mereka senangnya mengutuk jalan buntu karena mereka seringkali kadung tersesat di sana. Tak terkecuali para akademisi dan pakar bahasa, bila kurang up to date sering melakukan hal yang begitu-begitu juga.

Baca juga:  Anjing dalam Alquran

Yang tak kalah menarik pada karya-karya Ernaux, ia sangat cakap mewartakan kehidupan kaum proletar Prancis dari sudut pandang “Saya”, seakan-akan saya adalah bagian dari mereka. Dan mereka adalah bagian dari warga dunia. Ia melihat ancaman adanya perubahan radikal mengenai kelas-kelas dan kasta-kasta baru, yang sebenarnya tak beda jauh dengan zaman primitif, namun dikemas secara mentereng dengan label “era digital”.

Mental keterancaman itu disematkan pula pada generasi orang tua Prancis yang cenderung mengisolasi diri. Mereka seakan tak percaya adanya generasi baru dunia, bahkan enggan memahaminya dari beragam perspektif. Dalam ilmu neurologi, kita mengenal adanya sirkuit yang tetap dalam struktur otak manusia. Sehingga, program diri seringkali dikuasai oleh “sang master” (autopilot). Akibatnya, tanpa kemampuan berpikir pun manusia bisa sampai ke tempat tujuan yang sama dengan yang kemarin ditempuh. Dan ketika seseorang ingin keluar dari jalan buntu, ada semacam inersia yang menarik kembali pada jalur yang sudah ditetapkan oleh kekuatan “sang master” tadi.

Dalam kaitannya dengan sastra kita, tanpa adanya pemikiran mengenai apresiasi sastra sekalipun, kesusastraan Indonesia tetap akan sampai di depan pintu gerbang perubahan dan peradaban baru. Hanya masalahnya, kita mau jadi drivers atau sekadar passangers? Kita mau jadi pelaku atau kreator perubahan, ataukah hanya obyek saja dari perjalanan sejarah bangsa?

John Steinbeck, sastrawan Amerika Latin pernah menyatakan bahwa keajaiban jarang terjadi pada mereka yang jiwanya terbelenggu dan terjajahKeajaiban itu hanya ada di luar zona nyaman yang kita sebut sebagai zona berbahaya (danger zone). Dalam zona berbahaya, tentu akan dijumpai adanya zona ketakutan (panic zone) seperti dalam pandemi Covid-19 ini. Tetapi, untuk menghindari ketakutan dan kepanikan itu, para eksplorator telah menunjukkan adanya “zona antara”, yakni zona mempelajari, memahami, mendalami (challenge zone), sampai pada akhirnya ditemukan jalan keluar yang menentramkan, serta kaya akan ilmu dan wawasan.

Baca juga:  Integrasi Kalam Asy’ariyah dan Maturidiyah pada Manhaj Teologis Nahdlatul Ulama

Karya-karya Ernaux yang kebanyakan diilhami dari hasil riset berdasarkan historical memory memberikan garis besar, bahwa sekolah pada lembaga formal (baik sastra maupun jurnalistik) akan menyesatkan apabila beranggapan, setelah memperoleh ijasah dan gelar, lalu pelajaran sudah tamat dan final. Para budayawan dan sastrawan kita semestinya berkaca diri agar semakin mahir dalam melihat perspektif. Manusia yang terbelenggu dalam mental keterjajahan (inlander) memang sulit menggeser pandangan-pandangan lamanya. Ia menjadi amat resisten, egois, angkuh, yang seringkali generasi milenial menjulukinya sebagai generasi “sastra pendendam”.

Sedangkan sastrawan yang bijak, ia tak ragu mengakui dirinya sebagai manusia pembelajar atau penuntut ilmu tiada batas. Sastrawati sekaliber Annie Ernaux memang cukup terlatih menghadapi sang waktu, melewati ujian demi ujian. Boleh jadi, ia pun berhadapan dengan guru-guru sastra yang baik dan pandai, tetapi tidak menutup kemungkinan ia juga menemukan guru sastra yang menjengkelkan dan menyebalkan. Tetapi, sebagai seorang pencari ilmu, kedua jenis manusia itu dianggap sebagai “ladang ilmu” yang semakin memperkaya wawasan demi melangkah ke masadepan.

Pada gilirannya, ia akan melahirkan karya sastra yang baik dan cemerlang, bukan sastra pendengki yang hanya ditujukan pada satu-dua orang, tetapi bagi kemajuan budaya dan peradaban Lillebonne, Prancis, hingga peradaban dunia. (*)

https://alif.id/read/chs/sastra-dan-gugatan-kaum-wanita-b246046p/