Filosofi Nama (al-Ism) dari Nahwu ke Filsafat

Apalah arti sebuah nama? Ungkapan ini sering kita dengar atau diperbincangkan. Nama A, B, C, dan sebagainya hanya sebuah label bagi diri atau dzat tertentu. Nama yang dilekatkan hanya untuk membedakan pula dirinya yang bernama A dengan yang lainnya yang bernama B. Ungkapan ini mungkin benar dilihat dari labelling dengan tetap melazimkan apa pun namanya, ia adalah manusia yang sama dengan yang lainnya.

Namun, apalah jadinya jika setiap apa yang di dunia tidak ada namanya. Mungkin, kita tidak bisa membedakan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini selaras dengan filosofi bahwa Adam as pernah diajarkan oleh Allah Swt tentang nama-nama bahkan seluruhnya. QS. Al-Baqarah: 31” Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya. Tidak ada nama satu pun yang tertinggal karena Al-Qur’an menggunakan kata kullaha yang bermakna li istigraq (menyeluruh tanpa ada yang tertinggal).

Apa yang diucapkan dan diperbincangkan manusia tidak lepas dari nama (al-ism). Tak terbayang jika setiap hal tidak punya nama. Sehingga, nama (al-ism) menjadi elan vital dalam komunikasi manusia sebagai makhluk sosial. Mungkin, inilah yang dikuatkan oleh ilmu nahwu tentang posisi kata benda  (al-ism) atau noun dalam ruang pernyataan yang diujarkan oleh manusia (al-kalimat wa al-kalam).

Melirik Kembali Arti al-Ism

Al-Ism dalam bahasa Arab secara bahasa adalah sesuatu yang menunjukkan pada apa yang dinamainya (ma dalla ‘ala musammahu). Ini adalah arti secara bahasa. Contohnya, ketika batu (hajar) dinamai batu, hakikatnya lafal ini menunjukkan bahwa ia batu. Begitu pun yang lainnya. Nama tersebut kemudian masuk dalam ruang pembicaraan dan pernyataan. Nama tersebut ketika diucapkan menjadi kata yang melekat pada yang dinamainya.

Baca juga:  Mengidentifikasi Orang Berdasarkan Gaya Duduknya

Hakikat dari apa yang dinamai mewujud menjadi kata. Hakikat diwakili oleh kata yang meliputinya. Batu hakikatnya batu menjadi terwakili ketika diucapkan batu. Ini menjadi buah dari idrak yang ditampilkan oleh kemampuan lisan. Keadaan apa yang dinamai menetap tidak diliputi oleh perjalanan waktu lampau, sekarang, dan yang akan datang. Batu disebut batu tetap ia adalah batu baik kemarin, sekarang, maupun besok.

Mungkin, dari sini ulama nahwu memberikan definisi al-ism sebagai kata yang menunjukkan makna pada objeknya dan tidak dibarengi oleh waktu (kalimah dallat ‘ala ma’na fi nafsiha wa lam tuqtaran bi zaman wadh’). Al-Asymawi pernah menuturkan hal ini dalam kitab Hasyiyah al-‘Asymawi ‘ala Matn al-Ajurumiyyah fi ‘Ilm al-Lugah al-‘Arabiyyah.  Sesuatu yang dinamai ia akan menetap maknanya.

Bahkan, al-Asymawi menuturkan bahwa setiap nama itu terkategorikan. Layaknya dalam kehidupan, setiap sesuatu punya kategori. Setiap benda punya jenis dan satuan namanya. Atau disebut pula al-jins dan al-syakhsh atau al-‘alam. Ahmad adalah nama yang ditujukan pada laki-laki yang dinamai Ahmad. Ia menjadi al-‘alam atau al-syakhsh. Ahmad berada dalam kumpulan manusia (basyar atau nas). Dua kata yang meliputi Ahmad menunjukkan makna jenis. Ahmad adalah jenis manusia. Apapun nama yang diberikan, ia akan masuk pada jenis tertentu.

Baca juga:  Kisah Nasi Goreng, dari Ki Hadjar Dewantara hingga Gordon Ramsey  

Dalam ilmu nahwu, tidak hanya dibahas dua hal ini. Ketika al-ism diwujudkan dalam pelafalan, ia memiliki ciri tertentu dalam teks yang ditampilkan. Kata al-hajar yang diartikan batu ia dapat disebut al-ism apabila ia memiliki ciri-cirinya, salah satunya adalah alif lam. Karena dalam teksnya ia dibubuhi oleh alif lam. Secara teoritik dapat dipahami, apabila teks dibubuhi alif lam, tak diragukan bahwa ia adalah al-ism.

Tak hanya itu, dunia teks Arab menyuguhkan teks yang bisa berubah (mu’rab) dan tetap (mabni). Teks al-ism menjadi mu’rab apabila ada peubah atau fungsi (al-‘amil) yang mengharuskan ia dibaca tertentu. Begitu pun, teks al-ism tetap tidak berubah dalam bunyi atau harkat, meskipun ada peubah atau fungsi kalimat yang mengitarinya. Ia tetap menjadi mabni.  Lebih lanjut, klasifikasi kata al-ism dan keragamannya dapat ditelaah dalam kitab tentang ilmu nahwu.

Dalam nalar manusia, pernyataan tentang al-ism ini cukup penting. Nalar memeroses, lisan mengucapkan, dan melahirkan kata tertentu sehingga menimbulkan kesan bahwa apa yang dipikirkan dan tampak dari pandangan manusia pasti berhubungan dengan nama-nama tertentu.

Hakikat al-Ism

Sumber kita mengenal nama kebanyakan berawal dari proses penginderaan. Kita tahu bahwa itu al-hajar karena kita mendengar orang menyatakan itu atau kita melihatnya. Apa pun nama setiap apa yang dapat diindera, ia akan menjelma menjadi teks atau lafal setelah proses mengetahui dalam nalar. Sehingga, apabila indera tidak digunakan, kebanyakan yang akan terjadi adalah seseorang tidak akan mengetahui bahwa batu itu adalah al-hajar.

Dalam filsafat, proses ini populer dinamai empiris. Pengetahuan berasal dari pengalaman, seperti yang pernah dikemukakan oleh para filosof. Secara historis, pemahaman seperti ini nisbahkan pada Aristoteles khususnya berhubungan dengan alur berpikir mantik.

Baca juga:  Danarto dan Seni “ Jalan Pulang”

Logis, kiranya, al-ism itu menunjukkan makna pada objek yang dinamainya sebab ia berasal dari idrak al-hissi (empirical perception). Jalinan makna pada alur ini mengarahkan sebuah konsepsi bahwa nama tidak akan muncul tanpa ada proses empiris. Seseorang menyatakan zaid qa’im (zaid berdiri) sebagai sebuah kalimat yang dilontarkan oleh mutakallim muncul setelah ia melihat atau tahu dengan cara apapun bahwa Zaid berdiri. Ia tahu bahwa Zaid yang berdiri, bukan yang lainnya.

Zaid ketika diucapkan oleh seseorang ia akan menetap menjadi Zaid tanpa pengaruh waktu. Kita pun ingat bahwa waktu yang terbagi menjadi lampau, sekarang, dan yang akan datang, tak lepas dari lingkup empiris. Objek yang dibicarakan pada ketiga waktu itu diketahui, karena mutakallim mengetahui bahwa objeknya tersebut berada pada ruang waktu tertentu.

https://alif.id/read/ras/filosofi-nama-al-ism-dari-nahwu-ke-filsafat-b246061p/