Gerhana Bulan: antara Mitologi Jawa dan Spirit Religius

Mitologi Jawa mengatakan bahwa gerhana bulan itu disebabkan karena bulan dimakan raksasa. Hal ini terjadi karena pada saat itu masyarakat tidak mampu menjawab kenapa fenomena alam gerhana bulan itu terjadi. Sehingga ketika ada pertanyaan kenapa ada gerhana bulan, mereka tidak mau repot. Jawabnya singkat: Mbulane dipangan buto (rembulan dimakan raksasa).

Kemudian untuk menyelamatkan rembulan dari terkaman raksasa, masyarakat diperintahkan untuk membuat kebisingan. Oleh karena itu jamak dijumpai perawan perawan desa  “nutu” (Menumbuk lesung dengan alu atau antan) saat terjadi gerhana bulan. Setelah itu mereka disarankan untuk mandi keramas.

Tidak hanya itu, dalam mitologi Jawa, gerhana bulan dianggap sebagai peristiwa yang menakutkan sekaligus pertanda akan terjadi huru hara, keributan, chaos, malapetaka, bahkan bencana. Tafsir ini tidak hanya saat terjadi gerhana bulan, tapi juga ketika mereka melihatnya fenomena alam bintang berekor atau kerap disebut lintang kemukus.

Pandangan ini juga dialami oleh masyarakat Arab sebelum Islam. Mereka mengatakan bahwa gerhana merupakan sumber bencana dan malapetaka. Hal ini tampak saat putra Nabi Muhammad, Ibrahim wafat bersamaan dengan terjadinya gerhana matahari. Masyarakat saat itu mengatakan bahwa gerhana terjadi karena kepergian putra Nabi Muhammad. Setelah itu Nabi bersabda: Matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allah. Keduanya mengalami gerhana bukan karena atau sebab bagi kematian atau kelahiran seseorang.

Baca juga:  Teknologi untuk Masyarakat Berkebutuhan Khusus

Gerhana bulan harus dipandang dalam prespektif religius. Gerhana bukanlah momok yang menakutkan dan penyebab terjadinya malapetaka. Akan tetapi merupakan fenomena alam biasa; merupakan salah satu ayat yang tercipta bukti keagungan Allah SWT.

Gerhana bulan seyogianya dijadikan pandangan bagi orang yang melihat dan berpikir. Semoga gerhana bulan dapat membangkitkan kesadaran religius. Ini penting sekali agar pada saat yang bersamaan menyembul kesadaran sosial dan spirit kemanusiaan.

Fa izaa bariqal basar. Wa khasafal qamar. Wa jumi’ash shamusu wal qamar. Yaquulul insaanu yaw ma ‘izin aynal mafarr. Kallaa laa wazar. Ilaa rabbika yawma ‘izinil mustaqarr

“Maka apabila mata terbelalak karena ketakutan, dan bulan pun telah hilang cahayanya, lalu matahari dan bulan dikumpulkan, dan saat itulah kiamat terjadi. Pada hari itu manusia berkata, “Kemana tempat lari untuk menyelamatkan diri?” Tidak. Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Tuhanmu tempat kembali pada hari itu. (Q.S. Alqiyamah:7-12).

https://alif.id/read/pry/gerhana-bulan-antara-mitologi-jawa-dan-spirit-religius-b246092p/