Read Time:5 Minute, 15 Second
Oleh: Ahmad Rusdiana
Momentum peringatan Hari Pahlawan pada 10 November setiap tahun bukan hanya sekedar hari di mana kita hanya mengingat jasa pahlawan yang telah mengorbankan segalanya untuk bangsa ini. Namun, keteladanan para pahlawan ini bisa dijadikan sesosok figur bagi generasi penerus bangsa ini. Hal tersebut menjadi sangat penting dalam konteks untuk membangkitkan spirit kebangsaaan yang luntur, maka sesosok figur pahlawan tadi, dapat dijadikan rujukan untuk terus membangun bangsa ini.
Kepahlawanan dan kerelawanan memiliki relasi yang sangat dekat. Pasalnya, seorang pahlawan tentu memiliki, mental, spirit, atau jiwa kerelawanan, merelakan segalanya baik harta, pikiran, jiwa, untuk kepentingan bangsa, negara, serta agama. Pahlawan adalah orang yang memiliki posisi spirit untuk mendedikasikan dirinya bagi kepentingan yang lebih besar, dalam konteks apa saja, baik itu bangsa, negara, atau agama. Sehingga, jasa dari kiprahnya itu melahirkan kewarisan yang memberikan manfaat besar bagi generasi-generasi berikutnya.
Pada era Reformasi, refleksi hari pahlawan seakan hanya selesai pada kegiatan seremonial mengibarkan bendera disertai mengheningkan cipta, substansi menghargai perjuangan para pahlawan semakin hilang, berbagai ekspresi dan sikap bernegara semakin tak mencerminkan makna hari pahlawan.
Arus westernisasi memang tak pernah lepas dari berbagai sikap kita bernegara, ditambah sikap koruptif, arogansi, dan sentimental semakin memperburuk kondisi kita sebagai bangsa yang merdeka.
Kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan semakin selesai dalam kemerdekaan seremonial, tapi tak pernah selesai dalam fakta bahwa kita dijajah secara mental.
Sementara pahlawan sekarang, di era yang sudah merdeka dari cengkeraman bangsa-bangsa penjajah secara teritorial itu, basis perjuangan sekarang akan sangat jauh berbeda dengan yang dahulu. Sekarang, perjuangannya tidak ada perang dalam bentuk menggunakan senjata bambu, atau bahkan senjata modern untuk melawan penjajah seperti Belanda dan Jepang, tetapi pahlawan dalam konteks sekarang adalah pahlawan yang dibangun dengan basis persoalan global.
Salah satunya adalah pahlawan-pahlawan yang berjuang untuk mencerdaskan bangsa ini. Pahlawan yang secara sadar terpanggil untuk berjuang membangun dan mengajak masyarakat bangsa untuk menjadi bangsa yang cerdas dengan menggerakan kembali bangsa untuk membaca, membangun budaya literasi. Saat ini kita membutuhkan banyak pahlawan literasi untuk mengatasi masalah atau penyakit bangsa kita, bangsa Indonesia di tengah percaturan dan persaingan global ini.
Barangkali, kita boleh bangga dan berbesar hati, karena negeri ini sudah merdeka lebih dari 77 tahun. Idealnya, dengan masa seperti itu, bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa yang sangat cerdas, memiliki budaya belajar yang tinggi, memiliki kekayaan inteletual yang banyak, serta memiliki bangsa yang berbudaya baca dan budaya literasi yang tinggi. Ternyata tidak. Bangsa kita, Indonesia ternayata masih banyak yang terlena dan terbawa mimpi, sehingga tertingal dalam hal budaya literasi.
Literasi memiliki pengertian kemampuan untuk membaca dan memahami sebuah tulisan hingga bisa membuat sebuah tulisan. Literasi yang dimaksud dalam konteks khusus membaca dan menulis. Secara fundamental, literasi menjadi hak setiap individu karena pada hakikatnya manusia merupakan makhluk yang berakal budi yang membutuhkan didikan dan pemahaman secara kontinyu sehingga literasi menjadi sebuah fondasi pendidikan manusia. Oleh karena itu ada beberapa hal yang dapat menumbuhkan semangat literasi, di antaranya yaitu:
Pertama: Literasi Dimulai dengan Gaya Hidup Membaca
Mungkin kita pernah mendengar pernyataan yang mengatakan bahwa “buku adalah jendela dunia” dan “membaca buku adalah membaca kehidupan”. Jika digabungkan kedua pernyataan tersebut maka “buku merupakan sebuah jendela untuk melihat dan belajar dari kehidupan orang lain yang ada di dunia ini”. Dengan membaca kita belajar banyak pengalaman dan hal-hal penting dan menarik dari kehidupan orang lain. Sebagai contoh saya membaca buku biografi dari tokoh-tokoh terkenal dan hebat baik itu tokoh-tokoh bangsa sendiri seperti Soekarno, Soeharto, R. A Kartini dll. Dengan membaca buku kita bisa belajar berbagai hal berharga dari orang lain dan memiliki pengetahuan yang luas.
Membaca sudah tentu memiliki banyak dampak positif dan manfaat, apalagi bagi seorang penulis. Seorang pembaca belum tentu penulis, tetapi seorang penulis sudah tentu seorang pembaca. Oleh karena itu, baik seorang penulis atau tidak harus membiasakan diri untuk selalu membaca. Dengan semakin berkembangnya zaman, penyajian informasi dan ilmu tidak hanya disediakan dalam bentuk buku secara fisik. Penyajiannya juga banyak melalui media online, salah satu contohnya adalah melalui media “Rumah Baca” yang sangat bermanfaat bagi para pembaca di media online.
Kedua: Memahami Apa Yang Dibaca
Salah satu hal yang penting dalam literasi adalah kemampuan memahami informasi atau apapun yang dibaca. Pengetahuan akan semakin bertambah apabila apa yang dibaca bisa dipahami dengan baik, seperti yang dikatakan oleh wakil presiden pertama RI, Bung Hatta, “Membaca tanpa merenungkannya ibarat makan tanpa dicerna.”
Bahkan punya tantangan terbesar ketika membaca informasi yang berhamburan di media online/media sosial. Sangat diperlukan ketelitian, kecermatan dan kebijaksaan dalam membaca dan menyebarkan informasi yang otentik atau bebas dari hoax.
Ketiga: Menuangkan Segala Ide dan Gagasan melalui Tulisan
Setiap bentuk tulisan yang dibaca dalam bentuk apapun merupakan manifestasi dari ide, gagasan, pengalaman, pengamatan dan hasil pembelajaran/penelitian dari seseorang. Bahkan seorang yang banyak membaca akan memiliki ide dan gagasan baru tertentu yang dapat manifestasikan dalam tulisan agar dibaca oleh orang lain.
Pentingnya membangun semangat literasi bagi kehidupan setiap individu maupun kelompok tertentu maka perlu direnungkan kembali apakah sebagai manusia yang diciptakan berilmu dan berakal telah menjadikan literasi sebagai suatu budaya atau gaya hidup dan kebutuhan primer yang mendasar. Dimulai dari diri kita sendiri untuk menciptakan budaya literasi dan semangat dalam berliterasi sehingga kita menjadi penerus pahlawan-pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan bangsa, dengan demikian kita harus menjadikan bangsa ini bangsa yang cerdas dan berwawasan serta berdaya saing global.
Wallahu A’lam Bishowab
Penulis:
Ahmad Rusdiana, Guru Besar Manajemen Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Peneliti Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) sejak tahun 2010 sampai sekarang. Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana Pendidikan Al-Misbah Cipadung-Bandung yang mengembangkan pendidikan Diniah, RA, MI, dan MTs, sejak tahun 1984, serta garapan khusus Bina Desa, melalui Yayasan Pengembangan Swadaya Masyarakat Tresna Bhakti, yang didirikannya sejak tahun 1994 dan sekaligus sebagai Pendiri Yayasan, kegiatannya pembinaan dan pengembangan asrama mahasiswa pada setiap tahunnya tidak kurang dari 50 mahasiswa di Asrama Tresna Bhakti Cibiru Bandung. Membina dan mengembangkan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) TK-TPA-Paket A-B-C. Pegiat Rumah Baca Masyarakat Tresna Bhakti sejak tahun 2007 di Desa Cinyasag Kecamatan. Panawangan Kabupaten. Ciamis Jawa Barat.
Karya Lengkap sd. Tahun 2022 dapat di akses melalui:
(1)http://digilib.uinsgd.ac.id/view/creators.2)https://www.google.com/search?q=buku+a.rusdiana+shopee&source(3)https://play.google.com/store/books/author?id=Prof.+DR.+H.+A.+Rusdiana,+M.M.