“Dunia akan menjadi tempat berbahaya, bukan karena maraknya kejahatan, tetapi karena takutnya para pemimpin menegakkan kebenaran dan keadilan, serta tidak adanya keberanian untuk menghukum orang yang layak mendapat hukuman!” (Hafis Azhari, penulis buku Pikiran Orang Indonesia)
Sering kita mendengar “keles menengah muslim” yang pola pikirnya sangat dipengaruhi media, sampai kemudian mereka memengaruhi lanskap sosial-kultural dari sistem perpolitikan kita. Pada awalnya, mereka mengambil manfaat dari liberalisasi dan deregulasi akibat melesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di era 1980-an.
Sumber utamanya adalah ibukota Jakarta sebagai sentrum, yang dalam waktu singkat menentukan corak dan gaya hidup masyarakat desa hingga kampung pedalaman. Dalam novel Perasaan Orang Banten, kita menyaksikan budaya dan peradaban masyarakat kampung Jombang yang mengadopsi gaya hidup modern tanpa sikap kritis, seakan mereka memakan dan mengunyah mentah-mentah segala hal yang datang dari Barat, dalam hal ini kebudayaan Eropa dan Amerika Serikat. Pada gilirannya, standar Jakarta menjadi ukuran keberhasilan bagi standar kota-kota lain, yang sama-sama ingin diakui dalam kancah pergaulan global.
Dalam laporan Bank Dunia, jumlah kelas menengah Indonesia telah dilansir sekitar 50 juta orang (per-2021). Penilaian ini didasarkan pada penduduk yang berpenghasilan mulai dari Rp 1,2 juta hingga Rp 6 juta per bulannya. Salah satu produk andalan yang dikonsumsi kelas menengah adalah media televisi.
Pemilik televisi dari 10 persen di tahun 1997, tiba-tiba melesat naik menjadi 90 persen di tahun 2000-an, bersamaan dengan media-media turunannya, seperti koran, majalah, tabloid dan lain-lain. TVRI yang didirikan 1962 pada masa pemerintahan Soekarno, yang semula dicanangkan untuk menyatukan bangsa yang heterogen dalam satu semangat pasca-kolonial. TVRI secara efektif dimanfaatkan Presiden untuk menyosialisasikan segala simbol dan lambang demi kemerdekaan bangsa, kedaulatan republik, dan persatuan nasional.
Memasuki era penggulingan Presiden Soekarno, yang langsung dimanfaatkan Orde Baru untuk menyiarkan segala pergerakannya melalui siaran TVRI, disusul pula dengan kepentingan modernisasi dengan menggelorakan ideologi pembangunan dan manusia seutuhnya. Selanjutnya, TVRI didorong untuk menyuarakan Pancasila dan doktrin anti SARA (suku, agama, aas, antar golongan), hingga memasuki akhir tahun 1980-an.
Lalu, memasuki era 1990-an, Orde Baru semakin berkiblat pada ekonomi liberal yang melahirkan regulasi baru dengan maraknya antena-antena parabola, TV kabel, hingga rental-rental video di tengah masyarakat. Konsumen dan penikmat dari kebijakan itu tak lain adalah kelompok kelas menengah, dari generasi anak, remaja, hingga para orang tua mereka.
Setelah terpapar program televisi asing, permintaan pemirsa dalam negeri akan program yang berkualitas semakin meningkat. Dengan desakan atas kebutuhan ini, Soeharto berkompromi untuk memprivatisasi izin siar yang tadinya dimonopoli TVRI, meskipun kemudian hanya dibagikan kepada kroni-kroni terdekatnya. Di tahun-tahun itu, berdirilah lima stasiun televisi swasta di Indonesia: RCTI (1987), SCTV (1989), TPI (1990), ANTV (1993), dan Indosiar (1995).
Kejatuhan Presiden Soeharto (1998), membuat seluruh media makin leluasa bergerak. Para pelaku industri televisi menangkap peluang besar, yang sebenarnya telah menjadi incaran sejak dulu, namun pada saat ini mereka berkampanye secara masif untuk menjaring mayoritas pemirsa dari kalangan menengah muslim.
Di masa presiden ketiga B.J. Habibie (2000-2002), pemerintah secara serentak memberikan izin berdirinya lima stasiun televisi komersial baru: Metro TV, Trans TV, Global TV, TV 7, dan LaTivi. Kini, jumlah televisi swasta di Indonesia menjadi sepuluh, meski televisi swasta yang berdiri belakangan tak ada kaitan lagi dengan pengusaha-pengusaha kroni Soeharto.
Demikian seterusnya, media terus berkembang melahirkan raksasa-raksasa media baru, seperti MNC Group, Jawa Pos, Kompas Gramedia Group, Trans Corp, dan Mahaka Media Group.
Setelah masuknya era kebebasan pers dan media, seorang produser film dan sinetron berdarah India, Raam Punjabi, dengan cermat menyasar mayoritas muslim menengah sebagai pangsa pasar yang menggiurkan. Hal ini diterobos oleh para pekerja dan karyawannya sejak era kejatuhan Soeharto (1998). Dia langsung memproduksi puluhan drama televisi bernafaskan Islam, yang gerakannya makin disemarakkan di sepanjang bulan Ramadan dalam setiap tahunnya.
Produser-produser lain sontak merasa iri dan ngiler menyaksikan keberhasilan gebrakan Punjabi dalam memanfaatkan peluang emas itu. Sampai kemudian muncullah segmentasi-segmentasi pasar bagi kaum muslim menengah. Konten-konten Islami kemudian tak lagi terpaku hanya sebatas di bulan Ramadan, melainkan menjadi setiap hari dan pada jam-jam utama.
Selanjutnya, mereka saling berlomba-lomba memproduksi konten selain sinetron, seperti kompetisi dakwah, ceramah-ceramah, tahfidzul qur’an, hingga pengobatan-pengobatan secara islami.
Dalam drama-drama supernatural, yang sering manampilkan karomah dan keajaiban, selalu saja yang disasar produser adalah kelas menengah yang lebih rentan dan mudah terbius oleh kepercayaan pada takhayul. Kaum muslim marjinal yang memiliki keterbatasan ekonomi akibat ketimpangan sosial, adalah sasaran empuk yang mudah dieksploitasi oleh mereka. Sinetron dan drama-drama mistik yang disuguhkan perihal kisah-kisah kaum miskin yang penderitaannya menjadi ringan oleh karena menyaksikan adegan-adegan supranatural yang menghibur.
Dalam melodrama islami, tokoh yang ditampilkan biasanya penduduk urban yang menguasai berbagai keterampilan sosial dan modern, sehingga mereka lebih berdaya dan produktif. Namun kemudian (persis seperti yang tergambar dalam novel Perasaan Orang Banten) para tokohnya terpapar satu persatu pada gaya hidup hedonisme yang mencemari kesalehan individu.
Pada episode berikutnya akan mudah ditebak, bahwa mereka mengalami kesadaran dan pertobatan karena adanya wejangan dari tokoh masyarakat yang memberi ceramah-ceramah agama yang mumpuni. Setelah bertobat, ia disarankan menjalankan perintah-perintah agama yang cenderung bersifat privat dan eksklusif.
Tayangan-tayangan iklan di sepanjang sinetron maupun komedi-komedi islami, sangat menguntungkan golongan kaum urban tersebut, hingga kelas menengah “dipaksa” untuk mendorong dan menaikkan status sosial mereka. Dalam hal ini, sekolah, kampus hingga pekerjaan kaum muslim menengah perlu berpartisipasi dalam rangka menaikkan pamor yang makin menguntungkan hasil-hasil produksi mereka.
Masjid, tempat pengajian dan majlis ta’lim, menjadi ruang yang menyatukan urusan publik yang dianggap sebagai etika islami, karena di sinilah perbincangan soal bisnis dan ibadah dapat diselaraskan.
Pada prinsipnya, televisi-televisi swasta dengan konten-konten islaminya – disadari atau tidak – bukan semata-mata mencari keuntungan iklan maupun dakwah Islam moderat yang inkulusif, melainkan tak lepas dari agenda dan kepentingan penguasa lama (Orde Baru) dan para kroninya. Jadi, meskipun ia menyuarakan kepentingan persatuan dan kesatuan nasional, namun titik kelemahannya adalah upaya-upaya penegasian akan adanya penjajahan lokal yang sebenarnya masih terus berlangsung.
Dalam sejarahnya, dulu kita mengenal Aceh yang pernah “menjajah” daerah pesisir Minangkabau, raja-raja Bugis pernah memperbudak orang-orang pedalaman Toraja, para bangsawan Jawa berusaha menaklukkan dataran tinggi Sunda, termasuk raja-raja Bali yang pernah menguasai pulau suku Sasak.
Hal ini, tak beda jauh dengan peran Soeharto dalam rekayasa budaya development ala Orde Baru, yang hanya merangkul identitas etnis dan agama mayoritas, hingga kalangan minoritas serba termarjinalkan.
Secara diam-diam Soeharto, anak-cucu dan para kroninya membiarkan kencangnya arus budaya modernitas, dengan dalih demi menjaga persatuan dan kesatuan. Namun dalam perjalanannya, Orde Baru terus menyisihkan kelompok sosial tradisional, rural, dan indigen sebagai kelompok kaum primitif. Posisi kultural muslim Jawa dan Jakarta, yang dianggap sudah mapan, lalu dijadikan patokan dan tolok ukur bagi semua agama, etnis, dan kepercayaan-kepercayaan di daerah-daerah lainnya. Tak ayal, sampai dia lengser dan wafat sekalipun, tetap saja para pendukungnya ngotot menempelkan stiker-stiker dan spanduk iseng di bokong-bokong truk: “Piye, enak jamanku, toh?”
Terkait dengan sikap Soeharto dan para kroninya, kita teringat pada petuah Hafis Azhari dalam narasi bukunya, Pikiran Orang Indonesia: “Dunia ini akan menjadi tempat berbahaya, bukan karena maraknya kejahatan, tetapi karena takutnya para pemimpin untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta tidak adanya keberanian untuk menghukum orang yang layak mendapat hukuman!”
Jadi, penyiaran dan penayangan ratusan dan ribuan sinetron selama beberapa dekade mengenai Islam (sejak Orde Baru), seakan tak ada urusannya dengan penyampaian misi Islam yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Seakan juga tak ada urusan dengan politik Islam moderat yang membawa kesejukan bagi jiwa dan batin umat manusia (rahmatan lil alamin).
Penayangan sinetron itu semata-mata hanya ingin memenuhi selera pasar bagi kaum muslim marjinal, melalui iming-iming produk impian dari para sutradara (produser) yang tak memahami kualitas dan misi ajaran Islam yang plural dan universal. Namun, mereka hanya berperan dalam propaganda kepahlawanan kosong belaka.
Media televisi yang sanggup menjangkau 90 persen populasi Indonesia seakan hanya memengaruhi selera masyarakat pada produk-produk pesanan para penguasa, cukong dan pengusaha yang menjadi kroni-kroninya. Untuk itu, jika televisi mampu memengaruhi arus pemikiran kelas menengah kaum muslim Indonesia, maka fenomena saat ini telah bergesar pada keampuhan media internet yang harus kita antisipasi bersama, agar tidak lagi menjadi alat pembodohan dan pendangkalan pemikiran manusia Indonesia. ***
https://alif.id/read/alw/riwayat-pertelevisian-indonesia-b246133p/