Diskusi tentang Kanaah, Tawakkal dan Tamak

0 0

Read Time:3 Minute, 53 Second

Oleh Kang Masyhari

Terkadang tidak mudah mengaplikasikan sebuah teori ke dalam kehidupan nyata. Tulisan hitam di atas kertas putih sebuah idealitas jika dibicarakan dan diperbincangkan, baik dalam lisan maupun tulisan, bisa jadi lebih mudah dibandingkan penerapannya dalam tataran praktis.

Pemahaman seseorang (murid) terhadap sebuah teori yang ideal biasanya seiring dengan jam terbang pengalaman hidup yang panjang dan perenungan yang mendalam, yang tentunya dengan bimbingan dan arahan seorang guru (mursyid) yang arif dan bijaksana.

Sekadar contoh, sebut saja tentang pembahasan teori kanaah. Terma yang berasal dari bahasa Arab qana’ah (القناعة) ini secara bahasa Jawa biasa diterjemahkan dengan kata nerimo, neriman atau lebih diperjelas dengan nerimo ing pandum. Dalam bahasa Indonesia, kata kanaah diartikan dengan sikap menerima anugerah Tuhan dengan apa adanya, tanpa menuntut lebih. Sedikit atau banyak yang diperolehnya, seorang qani’ akan merasa cukup dan menerimanya secara lapang dada.

Sikap semacam itu kerap disebut dengan maqam tajrid. Seorang diciptakan di dunia ini sudah ada jatahnya masing-masing. Baik-buruknya nasib sudah digariskan oleh Tuhan. Jatah dibagikan sesuai dengan takdir yang telah dituliskan. Karena itu, seseorang berusaha semampunya, ia tidak akan bisa lepas dari takdirnya.

Cukuplah ia berbuat baik dan bekerja dengan masimal sesuai dengan yang menjadi tugas dan fungsimu. Niscaya, hasilnya akan baik. Dalam hal ini, Allah berfirman, “Katakanlah (duhai kekasih-Ku, Muhamad, kepada mereka), bekerjalah! Niscaya Allah akan melihat kinerja kalian, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.”

“Tidaklah ada semakhluk apa pun yang berada di bumi ini melainkan rizkinya sudah dijatah oleh Allah.” Dalam ayat lain juga dikatakan, “Bukanlah itu (hasil) lemparanmu (yang mengenai), akan tetapi Allah yang melemparkannya.”

Bahkan dikatakan juga dalam ayat lainnya, seandainya seseorang berusaha mempengaruhi orang lain dengan memberikan seluruh isi bumi kepadanya, niscaya tidak akan meluluhkan hatinya. Dalam hadis juga dikatakan, seandainya suatu kaum melakukan konspirasi untuk mencelakaimu, niscaya tidak akan bisa jika memang Allah belum tidak menakdirkan keburukan bagimu. Sebaliknya, seandainya mereka bekerjasama untuk membantu dan menolongmu, niscaya tidak akan dapat, jika memang takdirmu sudah buruk.

Hanya, terkadang sikap semacam ini kerap dikesankan negatif, dengan cap sebagai sikap berpangku tangan, kurang usaha dan hanya pasrah terhadap garis takdir dengan upaya minimal. Sebab, dikatakan dalam salah satu firman Tuhan dalam al-Quran bahwa jatah atau nasib seseorang dalam kehidupan ini erat kaitannya dengan upaya yang dilakukannya.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi atau nasib seseorang, hingga seorang tersebut mengubahnya dengan usaha yang dilakukannya.” Mungkin inilah yang dimaksud dengan maqam kasab. Besarnya hasil yang diperoleh sesuai dengan besarnya usaha yang dilakukan. Atau dengan istilah lain, hasil tidak mengkhianati usaha.

Akan tetapi, dalam satu kata bijak, Syekh Ibnu Athaillah Assakandari mengingatkan agar kita tidak boleh mengandalkan usaha. Sebab, jika usaha yang dilakukan tidak membuahkan hasil, seseorang akan cenderung putus asa. “Di antara tanda seseorang terlalu mengandalkan amal usahanya yaitu minimnya harapan saat ia terjatuh di tengah perjalanan.”

Orang-orang yang punya mimpi dan angan-angan tinggi, sekuat tenaga ia bekerja untuk meraih kekayaan dan menumpuknya sepanjang harinya, dengan segala cara dan merasa bahwa itu adalah hasil dari upayanya, inilah yang disebut dengan tamak atau serakah. Orang semacam ini kerap sombong dan congkak. Ia mungkin memang kaya dengan harta yang melimpah, tapi ia cenderung tidak merasa cukup. Bahkan, ia merasa kaya dan merasa bisa berbuat apa saja dengan kekayaannya itu. “Bagiku, beli mobil mewah itu hal kecil. Bahkan gedung tinggi pun bisa aku beli hari ini juga kalau mau,” katanya.

Tawakkal dan Teologi Aswaja

Adalah ahlussunah wal jamaah (Aawaja) yang punya keyakinan yang moderat (jalan tengah) antara ekstrim kanan (jabariyah) yang terlalu pasrah terhadap takdir dan ekstrim kiri (qadariyah) yang menganggap bahwa amal usaha adalah segalanya.

Aswaja memberikan solusi yang moderat, yaitu dengan sikap tawakkal. Berupaya dan berusahalah dalam beramal sekuat tenaga yang bisa dilakukan, disertai dengan doa. Setelah itu dipasrahkan kepada Tuhan, bagaimana hasil akhirnya. Manusia dituntut untuk menjalani proses dengan berusaha. Namun hasil akhirnya bukan wewenang manusia.

Hal ini karena baik-buruknya takdir manusia yang Tuhan gariskan tidaklah diketahui oleh manusia. Sehingga, manusia harus berusaha menjalani proses dengan sekuat tenaga dengan harapan akan memperoleh takdir yang bagus dan cemerlang pada masa depan. Jika yang terjadi tidak sesuai dengan ekspektasi, ia cukup bersabar, menerima dan mengevaluasi diri. Jika yang terjadi sesuai dengan usaha dan harapan, ia bersyukur dan merasa bahwa itu semata-mata atas karunia dan kebaikan Tuhan. Usaha yang dilakukan hanyalah sebatas media dan proses yang harus dijalani sebagai bentuk syukur atas nikmat sehat dan waktu luang yang diterimanya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Kita simak sebuah sabda Nabi saw yang amat indah, “Menakjubkan sekali seorang mukmin itu, seluruh hidupnya diliputi dengan kebaikan. Jika ia ditimpa keburukan ia bersabar. Maka itu baik baginya. Jika ia peroleh kebaikan, ia bersyukur. Maka itu baik baginya.”

Wallahu a’lam.

Griya Baca Alima, 16 November 2022

About Post Author

Masyhari

Founder rumahbaca.id, pembina UKM Sahabat Literasi IAI Cirebon

Happy

Happy

0 0 %

Sad

Sad

0 0 %

Excited

Excited

0 0 %

Sleepy

Sleepy

0 0 %

Angry

Angry

0 0 %

Surprise

Surprise

0 0 %