LADUNI.ID, Jakarta – Kehadiran Syaikh Usamah ke PBNU dalam rangka bersilaturahmi sekaligus merawat dan memperkuat mata rantai sanad keilmuan antara NU dan Al Azhar. Antara NU di Indonesia dan Al-Azhar di Mesir banyak dipertemukan bukan hanya oleh kesamaan manhaj berislam yang “tawassuth, tawazun, tasmuh dan i’tidal”, kesamaan ideologi Aswaja yang dalam akidah menginduk kepada Imam al-Asy’ari dan al-Maturidi, dalam fikih kepada Madzhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali), dalam tasawuf kepada Imam Ghazzali dan ulama sufi agung lainnya.
Hubungan sanad keilmuan antara NU dan al-Azhar Mesir ini bahkan sejatinya sudah terjalin jauh sebelum Indonesia merdeka.
Menurut A. Ginanjar Sya’ban, kandidat doktor Filologi FIB Universitas Padjadjaran Bandung peraih Santri Awards 2021 dalam Bidang Agama. Salah satu pendiri NU pada 31 Januari 1926 adalah seorang ulama al-Azhar Mesir yang bermukim di Surabaya, yaitu Syaikh Ahmad Ghanayim al-Amir al-Mishri. Nama beliau juga tercatat sebagai mustasyar HBNO (Hoof Bestuur Nahdlatoel Oelama atau Pengurus Besar NU) sepanjang tahun 1926 sampai 1928.
Ulama al-Azhar Mesir lainnya yang memiliki pertalian hubungan dengan NU adalah Syaikh Muhammad Sulaiman Hasbullah al-Mishri, yang terkenal sebagai salah satu pemuka ulama madzhab Syafi’i di Makkah. Beliau adalah guru langsung dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama pendiri NU lainnya (semisal KH. Maksum Lasem, KH. Asnawi Kudus dan lain-lain) ketika masa pemukiman mereka di Makkah pada peralihan abad 19 M dan 20 M.
Salah satu guru utama tasawuf Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di Makkah adalah Syaikh Abdul Syakur Surabaya. Beliau adalah menantu dari Syaikh Muhammad Syatha al-Dimyathi, seorang ulama al-Azhar Mesir yang kemudian bermukim di Makkah, sekaigus ayah dari Syaikh Abu Bakar Syatha al-Dimyathi (w. 1890) sang pengarang kitab “Hasyiah I’anah al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in”. Sosok Syaikh Abu Bakar Syatha al-Dimyathi ini juga adalah guru dari KH. Maksum Lasem, seorang pendiri NU lainnya.
Jauh ditarik ke belakang, Syaikh Nawawi Banten (w. 1897) yang menjadi guru dari para pendiri dan kiyai-kiyai NU adalah murid dekat Grand Syaikh al-Azhar ke-19, yaitu Syaikh Ibrahim al-Baijuri (w. 1860). Keduanya sama-sama mengarang “hasyiah” atas kitab “Fath al-Qarib”. Syaikh Ibrahim al-Baijuri menulis “Hasyiah al-Baijuri”, sementara Syaikh Nawawi Banten menulis “Tausyikh ‘ala Fath al-Qarib”.
Lebih jauh ke masa sebelumnya lagi, Grand Syaikh al-Azhar ke-12, yaitu Syaikh Abdullah al-Syarqawi adalah guru utama dari Syaikh Abdul Shamad Palembang, Syaikh Arsyad Banjar, dan ulama Nusantara lainnya yang hidup di abad ke-18 M. Syaikh Abdullah al-Syarqawi menulis “Hasyiah al-Syaqawi ‘ala Syarh (al-Hudhudi ‘ala) Umm al-Barahin”, sementara Syaikh Nawawi Banten menulis “Dzari’ah al-Yaqin fi Syarh Umm al-Barahin”.
Hingga saat ini, kitab-kitab karangan ulama al-Azhar Mesir masih dipelajari dan diajarkan di pesantren-pesantren NU di Nusantara. Pun demikian halnya, beberapa kitab karya ulama NU hingga saat ini juga dikaji di al-Azhar, semisal kitab “Siraj al-Thalibin ‘ala Minhaj al-‘Abidin” karya KH. Ihsan Dahlan Jampes Kediri (kakak dari KH. Marzuqi Dahlan Lirboyo Kediri), kitab “Faidh al-Barakat fi Sab’i al-Qira’at” karya KH. Arwani Amin Kudus.
Belakangan, seorang ulama al-Azhar yang masih hidup, yaitu Syaikh Musthafa Ridha al-Azhari, menulis sebuah syarah atas kitab karya Syaikh Nawawi Banten. Syarah tersebut berjudul “Kasyf al-Ghuyum fi Syarh Mabadi al-‘Ulum”. Mantan Ketua Umum PBNU Prof. KH. Said Aqil Siradj (2010-2021) sendiri masih tercatat sebagai murid dari Prof. Dr. Hamdi Zaqzouq; ulama al-Azhar, guru besar filsafat, sekaligus mantan menteri wakaf Mesir.
Syaikh Ahmad Ghanayim al-Amir al-Mishri juga menjadi delegasi Komite Hijaz NU pada tahun 1928 bersama-sama KH. Abdul Wahhab Hasbullah pergi ke Makkah dan bertemu dengan Raja Abdu Aziz Saudi. Dalam pertemuan itu, delegasi Komite Hijaz NU berhasil mendesak Raja Abdul Aziz Saudi untuk mempertahankan diberlakukannya ajaran dan praktik madzhab empat fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) di Makkah, selain mendesak agar wakaf-wakaf bangunan bersejarah Islam di Haramayn (Makkah dan Madinah) tidak dirusak atau dihancurkan.
Berikut catatan penting dari pertemuan Syaikh Usamah Sayyid al-Azhari dan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Yahya Cholil Staquf.
Pada hari Kamis, 17 September 2022, Penasihat Presiden Mesir Syaikh Usamah Sayyid al-Azhari di Kantor PBNU. Kunjungan ini diterima langsung oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Yahya Cholil Staquf didampingi Ketua PBNU H. Amin Said Husni, Alissa Wahid , dan Ketua LAZISNU Habib Ali Hasan Al Bahar, dengan penuh kehangatan dan keakraban.
Selain berniat untuk silaturahmi beliau juga bertujuan untuk memperkuat hubungan sanad antara NU dan Al Azhar, salah satunya dengan memuat biografi KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dalam ensiklopedia yang tengah beliau rancang.”
Dan Ensiklopedia itu, terang Gus Yahya, memiliki 10 jilid dan di setiap jilidnya memuat biografi beberapa tokoh yang pernah mengenyam pendidikan di Al Azhar Kairo, Mesir. “Jadi, tokoh-tokoh yang ditulis di ensiklopedia itu adalah mereka yang dulunya berstudi di Al-Azhar Mesir, salah satunya Gus Dur.”
Selanjutnya, kepada Syaikh Usamah Sayyid al-Azhari beliau bercerita bahwa pamannya, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus juga merupakan Azhariyyin, alumnus Universitas Al Azhar Mesir, satu angkatan dengan Gus Dur dan Profesor Muhammad Quraish Shihab.
Hal itu sontak membuat ulama yang juga menjadi penasihat Maktab Risalah Al Azhar ini pun antusias untuk mengunjungi Gus Mus. “Beliau sangat antusias dan mengatakan ingin bertemu dengan Gus Mus, dan ingin banyak menggali infomasi terutama di masa-masa Gus Mus dan Gus Dur ketika belajar di Mesir, “
Ketertarikan Syaikh Usamah Sayyid al-Azhari , menurutnya, tak lain karena pada masa Gus Mus dan Gus Dur studi di Al-Azhar merupakan masa-masa yang begitu sulit, terutama dalam segi perjalanan. “Itu yang membuat beliau tertarik, dan mungkin itu akan menjadi materi tambahan untuk ensiklopedianya,” jelas tokoh yang pernah menjabat sebagai juru bicara (jubir) Gus Dur itu. “Insya Allah secepatnya kita akan adakan pertemuan di Rembang,” tandas Gus Yahya. Sementara itu, Syaikh Usamah Sayyid al-Azhari sangat tersanjung mendapat sambutan baik dan hangat dari Gus Yahya.
Beliau mengucapkan terima kasih dan berbahagia karena diberikan kesempatan untuk dapat bertemu Gus Mus dan berbincang banyak soal pengalamannya ketika menimba ilmu di Al-Azhar. “Saya merasa terhormat dan tersanjung atas sambutannya. Terima kasih atas tawaran untuk bisa bertemu KH. Mustofa Bisri (nanti) di Rembang,” ucap beliau. Seperti diketahui, Syaikh Usamah Azhari sudah sejak lama melakukan safari mendatangi ulama-ulama nusantara, dalam rangka mengkaitkan sanad keilmuan, khususnya di bidang hadits antar para ulama dunia Islam.
Beliau mengunjungi para ulama nusantara yang bersanad seperti Syaikh Al Musnid Muhammad Husni Tamrin Al Banjari. Syaikh Husni Tamrin sendiri merupakan murid dari Syaikh Yasin Al Fadani, yang dikenal sebagai “Musnid Ad-dunya” di zamannya. Sebelumnya dalam safari Syaikh Usamah Sayyid al-Azhari di Nusantara, beliau juga sempat mengunjungi Profesor Dr Naquib Al-Attas, pakar ilmu kalam asal Indonesia yang saat ini tinggal di Malaysia, KH. Maimoen Zubair Rembang (alm), Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan, KH. Ali Mas’adi Mojokerto (beliau menjadi sekretaris pribadi Syaikh Yasin Padang Makkah selama kurang lebih 13 tahun). Dan ulama lainnya guna menyambung sanad keilmuan dan meminta ijazah ilmiyah,
Semoga Allah SWT senantiasa menjaga NU dan al-Azhar, serta terus memberikannya berkah kemanfaatan untuk semesta alam. Aamiin…
________
Sumber : 1. Buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU karya Choirul Anam
2. Sumber pendukung lainnya