1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga KH. Muhammad Nur
1.3 Wafat
2.1 Guru-guru KH. Muhammad Nur
3.1 Anak-anak KH. Muhammad Nur
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
KH. Muhammad Nur lahir sekitar awal abad 18, beliau berasal dari Tuban dan ibunda beliau bernama Nyai Sofiyah, putri Nyai Sanusi putri Kiai Muhammad Tuyuhan, seorang Alim Ulama yang berasal dari Tuyuhan. Sebuah desa yang terletak kurang lebih 5 kilometer sebelah selatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
1.2 Riwayat Keluarga KH. Muhammad Nur
Beliau dikaruniai 9 anak diantaranya yaitu :
- Abdul Manan
- KH. Ahmad Sholeh
- Ahmad Sholeh
- Imam Rozi
- Imam Puro
- Djojo Musthofa
- Djojo Murtadlo.
1.3 Wafat
KH. Muhammad Nur membangun dan membina Pondok Pesantren Langitan kurang lebih 18 tahun. beliau wafat pada hari Senin, 30 Jumadil Awal 1297 H/ Senin, 10 Mei 1880 M. Dan dimakamkan di kompleks Pesarean Sunan Bejagung Lor, kurang lebih satu kilometer sebelah selatan Kota Tuban.
2. Sanad dan Pendidikan KH. Muhammad Nur
2.1 Guru-guru KH. Muhammad Nur
- Syekh Ahmad Chatib Syambas
- Syekh Abdul Gani Bima
- Syekh Nahrawi
- Syekh Abdul Hamid
3. Penerus KH. Muhammad Nur
3.1 Anak-anak KH. Muhammad Nur
- Abdul Manan
- KH. Ahmad Sholeh
- Ahmad Sholeh
- Imam Rozi
- Imam Puro
- Djojo Musthofa
- Djojo Murtadlo
4. Perjalanan Hidup dan Dakwah KH. Muhammad Nur
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Langitan berawal dari seorang guru agama Islam bernama KH. Muhammad Nur. Ulama tersebut berasal dari Tuban dan diperkirakan tiba di daerah sekitar Kecamatan Widang pada pertengahan abad ke-19, seiring dengan masa terjadinya perpindahan penduduk daerah Pantai Utara Jawa, dari desa-desa Demak, Kudus, Pati dan lain sebagainya ke daerah timur sebagai akibat dari adanya disorganisasi sosial, tekanan ekonomi dan penindasan Pemerintah Hindia Belanda, sesudah Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830 M. dan karena adanya pelaksanaan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) oleh pemerintah Kolonial pada tahun 1830 M.
Ibunda beliau bernama Nyai Sofiyah, putri Nyai Sanusi putri Kiai Muhammad Tuyuhan, seorang Alim Ulama yang berasal dari Tuyuhan. Sebuah desa yang terletak kurang lebih 5 kilometer sebelah selatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Desa tersebut cukup masyhur dan dikenal oleh masyarakat, disebabkan banyak terdapat ulama terkemuka, penyiar agama Islam, yang lahir dari sana. Apabila ditelusuri lebih lanjut silsilah keturunan KH. Muhammad Nur tesebut akan sampai kepada Joko Tingkir atau Hadiwijoyo, Sultan dan pendiri Kerajaan Islam Pajang. Sebagaimana dapat diperiksa pada silsilah pendiri dan para pengasuh Pondok Pesantren Langitan.
Dalam tradisi pondok pesantren dahulu terdapat kecenderungan di kalangan para Ulama, jika mempunyai anak laki-laki lebih dari satu, maka putra lelaki tertua disiapkan untuk menjadi penggantinya, sedangkan putra lelakinya yang lain dilatih untuk mendirikan pesantren baru atau menggantikan kedudukan mertuanya yang juga menjadi pemimpin pesantren, maka silsilah keturunan KH. Muhammad Nur tersebut dapat diyakini kebenarannya, mengingat putra Sultan Pajang, Pangeran Benowo, setelah Sultan Hadiwijoyo wafat, beliau tidak tampil sebagai penggantinya akan tetapi muncul sebagai Alim Ulama, yang mengembangkan lembaga pendidikan Islam, pesantren. Bahkan keturunan beliau, juga mendirikan pesantren dan mengembangkannya di berbagai daerah di tanah Jawa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa cikal bakal dan pendiri Pondok Pesantren Langitan dan keturunannya, yang melestarikan kelangsungan hidup dan kepemimpinan pesantren, masih satu garis keturunan dengan pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng KH. Hasyim Asy’ari.
KH. Muhammad Nur memulai langkah merintis berdirinya Pondok Pesantren Langitan dengan mengadakan tabligh dari rumah ke rumah di sekitar daerah Widang, di samping membuka pengajian di rumahnya, di atas tanah ladang di tepi utara Bengawan Solo. Pengajian tersebut rutin dilaksanakan sesudah menunaikan shalat A’shar dan Maghrib. Dengan materi pengetahuan agama yang sangat mendasar atau bersifat elementer, seperti cara belajar membaca al-Qur’an, Tauhid, Fiqh dan lain sebagainya.
Pada mulanya murid-murid pengajian tersebut sangat terbatas. Selain putra-putra beliau, cucu-cucu beliau, juga berdatangan anak-anak desa dan orang dewasa dari lingkungan dekat tempat beliau tinggal, yang diperkirakan seluruhnya berjumlah 25 orang.
Namun, dengan adanya tabligh yang disampaikan KH. Muhammad Nur kepada masyarakat, maka terdoronglah minat orang tua untuk menitipkan dan mengirimkan putra-putranya, guna mengikuti pengajian yang diselenggarakan di rumahnya tersebut. Santrinya bertambah banyak dan mereka tidak lagi bisa ditampung di rumahnya dan rumah-rumah penduduk yang ada di dekatnya.
Menyadari hal itu, tergugahlah hati KH. Muhammad Nur untuk mendirikan Langgar atau Musholla, pondokan dan sarana pendukung lainnya. Bangunan-bangunan tersebut terbuat dari bahan yang sangat sederhana, terletak berhadapan dengan rumah KH. Muhammad Nur. Bangunan-bangunan tersebut didirikan secara gotong-royong, bersama-sama para santri dan putra-putranya seperti, Abdul Manan, Ahmad Sholeh, Imam Rozi, Imam Puro, Djojo Musthofa dan Djojo Murtadlo. Bangunan-bangunan tersebut diperkirakan berdiri pada tahun 1852 M.
Setelah berjalan lima tahun mengasuh Pondok Pesantren Langitan, sekitar tahun 1857 M., KH. Muhammad Nur pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sebagaimana kaum muslimin lainnya, beliau berangkat pada bulan Sya’ban. Ini berarti bahwa beliau mempunyai banyak waktu yang senggang. Sebagai seorang ulama, beliau memanfaatkan waktu senggangnya dengan mengikuti pengajian halaqah di Masjidil Haram, yang diberikan oleh para ulama terkenal seperti Syekh Ahmad Chatib Syambas, Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Nahrawi, Syekh Abdul Hamid dan lain sebagainya. Dengan demikian, beliau seangkatan dan sepengajian dengan KH. Tubagus Muhammad Falak, Pendiri Pondok Pesantren al-Falah di Pegentongan Bogor
Sekembalinya dari Mekkah, berbekal pengalaman yang diperolehnya selama mengikuti pengajian dan Taklim di Masjidil Haram, beliau menerapkannya di dalam membinaPondok Pesantren Langitan. Sekurang-kurangnya tingkah lakunya yang luhur, ilmunya yang dalam, kesederhanaan dan kewibawaannya dan lain-lainnya, telah membawa KH. Muhammad Nur pada tingkat seorang ulama yang disegani dan dihormati. Santrinya dari tahun ke tahun, menjadi semakin meningkat, hampir sekitar 200 orang santri.
Nama KH. Muhammad Nur semakin harum dikenal oleh masyarakat umum. Di samping banyak masyarakat yang datang kepadanya, ia juga dapat memberikan pengaruh penduduk setempat dan masyarakat daerah lainnya, yang kebanyakan terdiri dari para petani dan pedagang, berpendidikan rendah atau bahkan sama sekali buta huruf. Mengetahui akan kemasyhuran namanya itu, lalu pemerintah Hindia Belanda menaruh minat mengambil manfaat untuk pengaruh beliau. Untuk itu, Bupati (Regent) Tuban Raden Adhipati Tjitrosomo VIII, dengan persetujuan Asistent Resident Tuban H.C. Humme,24 diperkirakan pada tahun 1870 M. telah mengangkat KH. Muhammad Nur sebagai Naibul Qadli (Naib Penghulu) di Kecamatan Widang, yang terletak di daerah Rembes, Kabupaten Tuban.
Penghulu adalah satu struktur kepegawaian yang telah ada sejak abad ke-16, zaman Sultan Agung, Raja Kerajaan Mataram dahulu. Tugasnya adalah sebagai kepala penyelenggara urusan agama tingkat kabupaten. Sedangkan Naibul Qodli bertugas sebagai kepala penyelenggara urusan agama tingkat kecamatan, baik dalam urusan ibadah dan mu’amalat maupun dalam urusan munakahat seperti, talaq dan ruju’. Sedangkan dalam urusan jinayat ditangani oleh Penghulu Ageng dan Penghulu Kabupaten.
Berdasarkan pada kenyataan di atas, maka penempatan KH. Muhammad Nur tersebut dimaksudkan untuk mengambil pengaruhnya dalam rangka menunjang pemerintahannya, di samping untuk mengadakan pendekatan antara Bupati dan pemerintah Hindia Belanda dengan tokoh ulama dan rakyat pada umumnya, yang selama ini dikenal sebagai pewaris Nabi, anti kolonialis dan kaum penjajah, sebagaimana dapat diperhatikan dari timbulnya berbagai pemberontakan di berbagai daerah di Pulau Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya.
KH. Muhammad Nur sesudah beberapa tahun memangku jabatan tersebut, beliau lalu mengundurkan diri. Sedangkan faktor yang menjadi penyebabnya, di samping supaya adanya kebebasan pribadi, juga dikarenakan oleh kedudukannya sebagai seorang ulama. Sebab seperti telah disebutkan di muka, bahwa ulama itu menjadi pewaris Nabi, mewarisi ajarannya (ilmunya), mewarisi tingkah lakunya (amalnya), mewarisi akhlaknya dan mewarisi perjuangannya. Oleh karena itu, meskipun tidak secara langsung menangani segala sesuatu yang terkait dengan urusan pondok, karena telah diserahkan sepenuhnya kepada putranya, selama beliau hijrah dari pondok, namun, pengaruh dan kewibawaan KH. Muhammad Nur masih cukup tangguh di dalam menghidupkan dan mengembangkan kehidupan pesantren sebagai pusat ilmu dan pencerahan intelektual ummat, di samping pusat penyiaran dan penyebaran agama Islam.
KH. Muhammad Nur membangun dan membina Pondok Pesantren Langitan kurang lebih 18 tahun. beliau wafat pada tahun 1870 M. Dan dimakamkan di kompleks Pesarean Sunan Bejagung Lor, kurang lebih satu kilometer sebelah selatan Kota Tuban. Ia digantikan oleh putranya, bernama KH. Ahmad Sholeh.
5. Keteladanan KH. Muhammad Nur
KH. Muhammad Nur memulai langkah merintis berdirinya Pondok Pesantren Langitan dengan mengadakan tabligh dari rumah ke rumah di sekitar daerah Widang, di samping membuka pengajian di rumahnya, di atas tanah ladang di tepi utara Bengawan Solo. Pengajian tersebut rutin dilaksanakan sesudah menunaikan shalat A’shar dan Maghrib. Dengan materi pengetahuan agama yang sangat mendasar atau bersifat elementer, seperti cara belajar membaca al-Qur’an, Tauhid, Fiqh dan lain sebagainya.
Pada mulanya murid-murid pengajian tersebut sangat terbatas. Selain putra-putra beliau, cucu-cucu beliau, juga berdatangan anak-anak desa dan orang dewasa dari lingkungan dekat tempat beliau tinggal, yang diperkirakan seluruhnya berjumlah 25 orang.
Namun, dengan adanya tabligh yang disampaikan KH. Muhammad Nur kepada masyarakat, maka terdoronglah minat orang tua untuk menitipkan dan mengirimkan putra-putranya, guna mengikuti pengajian yang diselenggarakan di rumahnya tersebut. Santrinya bertambah banyak dan mereka tidak lagi bisa ditampung di rumahnya dan rumah-rumah penduduk yang ada di dekatnya.
KH. Muhammad Nur adalah sosok inspiratif yang penuh dengan kesabaran dan ketelatenan memberikan bimbingan mulai tingkat dasar sampai lanjut di bidang agama secara Istiqomah. Beliau tak segan-segan mendatangi rumah per rumah untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Semoga kita semua dapat meniru apa yang telah dilakukan oleh KH. Muhammad Nur dalam menyebarkan ajaran Agama Islam.
6. Referensi
- langitan.net
- Siddiq, KH. Ahmad, Khittah Nahdliyah, Surabaya: Balai Buku, 1979.
- Abbas, KH. Siradjudin, Ulama Syafi’i Dan Kitab-Kitabnya Dari Abad Ke Abad, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1975.
- Buku Daftar Pondok Pesantren Di Jawa Timur 1980, Dinas Pendidikan Pondok Pesantren Departemen Agama Wilayah Jawa Timur
- Kabupaten Daerah Tingkat II Tuban, Tuban Hari Ini Dan Hari Esok, Tuban: Pemda Kabupaten Tuban, 1980.