Gerhana Bulan Total: Momentum Kebangkitan Pesantren Riset di Indonesia

Allah Akbar. Kesadaran akan keagungan Allah makin terukir kuat dalam sanubari ketika mencermati fenomena gerhana bulan total (super blood moon).

Acara “Muhasabah dan Observasi Gerhana Bulan” (26/05/2021) yang diselenggarakan oleh Ma’had Aly TBS Kudus, kerjasama dengan Pesantren Riset PRISMA Kudus, LFNU dan Lakpesdam NU Kudus, menyedot perhatian publik terutama dari santri milenial.

Karena, dalam situasi pandemi Covid19, acara digelar secara blended. Acara yang dipusatkan di Pesantren Riset PRISMA ini diawali sorenya kajian gerhana secara interdisipliner.

Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini

Perspektif Turats Klasik disampaikan oleh Dr. KH Ahmad Faiz, Mudir Ma’had Aly TBS. Ia menyampaikan perkembangan literasi klasik dalam diskursus gerhana, sejak zaman nabi, sahabat, dan ulama salaf.

Muaranya gerhana ditegaskan sebagai bagian dari sunnatullah, hukum alam sebagai wujud tanda keagungan Allah. Maka perlu dihayati bersama dengan banyak istigfar, salat gerhana, dan bersedekah.

Sementara K Azhar Lathif, dari LFNU Kudus menyampaikan sudut pandang astronomi Islam. Ia menjelaskan bahwa Gerhana adalah bagian dari fokus kajian Ilmu Falak selain awal bulan, penetapan arah kiblat, dan waktu salat.

Kajian gerhana menjadi tantangan sendiri karena itu bagian dari ayat-ayat kauniyah dengan jarak ratusan ribu bahkan jutaan kilometer, Allahu Akbar.

Kebesaran fenomena alam dalam gerhana itulah kemudaan melahirkan fenomena budaya di kalangan umat Islam.

Baca juga:  Idul Fitri, Islam, dan Sains (2): Kuntowijoyo dan Pengilmuan Islam

Dalam tinjauan antropologi budaya, perilaku umat Islam dalam menghadapi gerhana setidaknya dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama oleh budaya nenek moyang. Sehingga ekspresi masyarakat dalam menghadapi gerhana dulu juga beragam.

Ada yang membangunkan pepohonan atau binatang piaraan, juga ada yang mengepuk perut lembut rahim ibu yg sedang hamil. Itu wujud ekspresi simbolik atas kekuasaan supranatural.

Ketika wawasan Islam sudah masuk, tradisi itu telah “diislamisasi” sebagai wujud relasi ramah kepada lingkungan dengan sentuhan mengajak istigfar, salat, dan sedekah.

Kalau ada yang membuat ritual nasi liwet itu wujud sedekahan yang selaras dengan nilai Islam juga dalam bingkai meminjam istilah Gus Dur sebagai proses probumisasi Islam.

Kedua, perilaku umat Islam juga dipengaruhi oleh modernitas yang dicirikan dengan penekanan pada aspek rasionalitas, objektifitas, dan empiris. Hal ini termasuk perkembangan IPTEK yang mempengaruhi sikap dalam merespon gerhana.

Misalnya dengan webiner dalam kajian gerhana, lalu teknologi digital dalam observasinya, sehingga bisa menjelaskan bagaima fenomena gerhana bisa dijelaskan secara saintifik. Sehingga menggeser fase magis mitologis kepada fase empiris saintifik.

Ketiga, dipengaruhi oleh nilai-nilai agama sebagaimana terekam dalam turats Islam. Maka dalam anjuran Islam, ketika gerhana terjadi, ada majelis istigfar, dilanjutkan salat gerhana dan diiringi sedekahan. Proses itu menjadi ritual penting dalam budaya Islam dalam bingkai living Islam.

Baca juga:  Gerhana dalam Peradaban, Sains, dan Agama

Pesantren Riset: Tomorrow is Today

Kita patut bersyukur ada Ma’had Aly TBS yang berkonsentrasi pada ilmu Falak. Satu-satunya di Indonesia.

Fokus utama memang penentuan awal bulan, waktu sholat, penentuan arah qiblat dan fenomena gerhana. Namun dalam pengembangan keilmuannya ternyata mengalami tantangan yang kompleks terutama memasuki internet of everything (IoE). Maka di Ma’had Aly TBS ada juga mata kuliah khusus astrofotografi.

Juga, dibutuhkan inovasi dan kreasi gambar ruang angkasa, animasi, hingga platform digital yang mampu menarasikan ayat-ayat kauniyah secara audiovisual. Ini memburuhkan sinergi dengan ilmu-ilmu lain berbasis IoE.

Keterampilan santri dalam melakukan saintifikasi Islam yang kode-kode ilmiahnya bisa ditemukan dalam Al Qur’an dan Hadis akan mampu meneguhkan bahwa Islam itu benar-benar rahmatan lil’alamin.

Argumentasi bahwa Islam itu merahmati kepada semesta alam seisinya lintas suku dan lintas iman dibutuhkan penjelasan ganda. Doktriner normatif saja tudak cukup, tapi pendekatan ilmiah menjadi sebuah keniscayaan.

Inilah yang oleh Prof Dr Mukti Ali disebut sebagai pendekatan cum scientific-doktriner. Bahkan akhir-akhir dibutuhkan pendekatan baru yang dikenal dengan interdisipliner atau multidisipliner.

Maka ini menjadi tantangan bagi setiap pesantren di seluruh Indonesia agar setiap pesantren memiliki sekelompok santri yang mengembangkan pendekatan ilmiah berbasis riset.

Baca juga:  Idul Fitri, Islam, dan Sains (1): Teknologi, Kemanusiaan, dan Kebudayaan

Pendekatan bayani, burhani, irfani dan amaly merupakan satu kesatuan sebagai konseksensi epistemologi tauhidi yang non-dikotomik. Pesantran dengan pendekatan interdisipliner itu merupakan profil pesantren masa depan.

Namun ketika ketika berani menghadirkan sekarang itulah fenomena pesantren disruptif. Tomorrow is today.

Maka kita butuh saling belajar untuk mempersiapkannya secara sustainable, terus dan terus. Semoga kita memperoleh hidayah-Nya.

https://alif.id/read/nsd/super-blood-moon-momentum-kebangkitan-pesantren-riset-di-indonesia-b238086p/