Suksesnya penyelenggaraan acara Religion of Twenty (R20) di Nusa Dua, Bali, pada 2–3 November 2022 yang lalu, membawa NU–sebagai inisiator acara–pada satu pencapaian baru: sebuah forum dialog antar agama dengan skala internasional, dengan 338 partisipan dari 32 negara. (Kompas, 06/11/2022).
Citra NU sebagai organisasi masyarakat (ormas) muslim tradisional, dengan anggota dan pengikut berbasis masyarakat pedesaan, menjadikannya kerap dipandang remeh, apalagi jika dibandingkan dengan ormas muslim lain yang bercorak modern, dengan anggota dan pengikut berbasis masyarakat perkotaan yang secara sosio-ekonomi dianggap lebih baik daripada masyarakat pedesaan.
Sejak kebangkitan kelas menengah Indonesia pada tahun 2010-an, terjadi pergeseran atas persebaran demografis anggota dan pengikut NU. Survei pada tahun 2014 yang dilakukan oleh Alvara Research Center memberikan informasi bahwa sekitar 58,8% penduduk muslim dari 10 kota besar di Indonesia mengakui dirinya sebagai Nahdliyyin (anggota atau pengikut NU).
Artinya, NU mendapatkan tambahan peluang untuk berdampak lebih kepada bangsa. Akibat pertumbuhan kelas menengah, basis NU meluas sampai ke perkotaan. Hal ini juga dapat berarti semakin banyak anggota atau pengikut NU yang memperoleh kesempatan yang lebih baik atas akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Selain sejarah, warisan budaya, dan pengaruhnya dalam masyarakat, Sumber Daya Manusia (SDM) NU menjadi aset terpenting untuk menghadapi babak pertarungan yang menentukan dari wacana Agama vs Negara atau Islam vs Pancasila yang telah ada sejak negara-bangsa ini berdiri.
Kombinasi dari masa panen intelektual NU dan meningkatnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan, membuat generasi muda NU sekarang memiliki posisi pijak yang lebih kuat dalam kontestasi ideologi tersebut.
Dobrakan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 1980-an, yang mengenalkan pendekatan keislaman dengan lebih terbuka telah memicu gerakan pencerahan kaum muda NU saat itu, di mana NU mulai memanen hasilnya pada tahun 1990-an ketika menjadi oposan bagi rezim otoritarian Orde Baru, dilanjutkan pada tahun 2000-an saat menjadi lawan dialektika bagi gerakan Islam fundamentalis dan radikal.
Gagasan penerimaan Pancasila dan demokrasi sebagai dasar dan sistem bernegara didorong ke publik, bukannya Islam dalam pengertian ideologi politik kelompok Islamis. Perbedaan pandangan kenegaraan NU dengan sejumlah organisasi dan kelompok keislaman lainnya dapat terjadi karena dalam sejarahnya, pada muktamar tahun 1984 di Situbondo, dalam situasi rencana penerapan Pancasila sebagai asas tunggal oleh Orde Baru, NU sudah memutuskan untuk menyudahi polemik dasar negara dan menerima Pancasila.
Pasca-reformasi, NU memandang demokrasi dapat mengatur hubungan antara negara dan rakyat berdasarkan nilai-nilai universal, seperti persamaan, kebebasan, dan pluralisme. Pemerintahan harus dijalankan dengan prinsip dasar musyawarah, keadilan, kesetaraan, dan kebebasan, namun harus tetap berdasarkan pokok-pokok ajaran Islam. (Abidin, M. Zainal, 2018: Perspektif NU Tentang Negara Demokrasi di Indonesia)
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah menetapkan, bahwa kita tidak dapat mengharapkan jalan keluar dari krisis kepada rezim otoriter seperti Orde Baru. Maka pada tahun 1998, rakyat Indonesia menyongsong reformasi dengan harapan dapat hidup lebih adil dan bebas.
Sayangnya, perombakan tidak tuntas saat proses transisi mengakibatkan masalah besar yang membebani proses demokratisasi kita, seperti korupsi, pemusatan ekonomi di golongan tertentu, dan feodalisme.
Hal ini mengakibatkan bagian besar dari masyarakat masih harus menghadapi problematika kesejahteraan, carut marut politik, dan pelayanan publik yang kurang baik.
Padahal, jika dilihat dari The Legatum Prosperity Index tahun 2021 dan Democracy Index 2021: The China Challenge, indeks kemakmuran suatu negara berkorelasi dengan tingkat demokrasi negara tersebut. Peringkat 10 teratas negara-negara makmur di dunia dalam indeks adalah negara-negara dengan tingkat demokrasi penuh. Sebaliknya, ranking 10 terbawah dalam indeks kemakmuran adalah negara-negara dengan rezim otoriter.
Prof. Ahmet T. Kuru, penulis buku Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan (KPG, 2020) adalah salah satu panelis dalam kegiatan R20. Dia menyimpulkan bahwa penyebab ketertinggalan dunia Islam dari peradaban Barat adalah aliansi ulama-negara, yang memiliki akibat turunan berupa hilangnya borjuasi muslim dan dipinggirkannya kaum intelektual.
Dampak kuasa otoritas ulama-negara adalah peran militer jadi menguat, ekonomi produktif digantikan dengan rente ekonomi, kreasi intelektual ditutup oleh doktrin agama yang melindungi keuntungan otoritas, dan pada akhirnya menumbuhkembangkan otoritarianisme, kekerasan, dan ketertinggalan.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Kuru memberikan rekomendasi untuk membangkitkan kembali dan mendorong perkembangan kelas pengusaha atau industrialis muslim yang produktif dan kelas pemikir atau ilmuwan muslim yang kreatif, dalam sistem yang meritokratis dan kompetitif.
NU berpeluang besar mengaplikasikan solusi dari Kuru tersebut, karena memiliki potensi yang tepat dan komitmen yang mantap pada demokrasi. Sebagai ormas muslim terbesar di Indonesia, dengan kekuatan dan jaringan organisasi dan kulturalnya yang ada di pedesaan dan perkotaan, NU dapat berfokus pada usaha pemberdayaan Nahdliyyin yang sudah dan ingin berprofesi menjadi pengusaha. Jangan berhenti hanya menjadi pengusaha bisnis mikro dan kecil saja. Dorong mereka menjadi pengusaha menengah yang mapan. Dayagunakan Lembaga Perekonomian NU untuk memfasilitasi keuangan, coaching bisnis, dan mengenalkan mereka pada jaringan bisnis yang lebih luas.
Secara organisasi NU sudah memiliki Lakpesdam dan LPTNU, yang dapat digunakan untuk mendorong kebijakan pendidikan dan pelatihan yang menghasilkan intelektual-intelektual kreatif, bukan hanya intelektual keagamaan, namun juga intelektual lintas bidang keilmuan yang mampu menyediakan jawaban aplikatif pada persoalan negara dan masyarakat. NU juga dapat melestarikan ekosistem intelektual publiknya, para pemikir bebas yang secara tradisional terafiliasi dengan NU, untuk melanjutkan karya kritis mereka.
Untuk memastikan tersedia ekosistem yang kondusif bagi bersemainya borjuasi muslim produktif dan intelektual muslim kreatif yang independen dari otoritas, NU harus memastikan agar pemahaman dan penerimaannya atas demokrasi, sebagai suatu sistem pemerintahan yang mampu memberdayakan ide dan aspirasi tentang meritokrasi dan kompetisi, dapat dipahami dan diterima oleh segenap Nahdliyyin dan generasi penerusnya, serta kepada publik. NU juga harus melindungi gagasan dan praktik demokrasi dari tendensi-tendensi aktor-aktor politik yang korup dan kelompok intoleran yang ingin mereduksinya.
https://alif.id/read/ypn/nu-demokrasi-dan-kemajuan-b246310p/