Read Time:7 Minute, 2 Second
Oleh Ahmad Ruhyat Hasby (Kang Uyan), Alumni Pondok Pesantren Cipasung (1995)
RUMAHBACA.ID – Minggu tanggal 25 Januari tahun 1988 saya mulai mondok di Pondok Pesantren Cipasung, salah satu Pesantren terbesar di Priangan Timur Jawa Barat. Di Cipasung ini sekitar tahun 1950-an, Uwa (kakak dari ayah) saya, KH Bunyamin Syafe’i pernah mondok. Di Cipasung ini ayah saya, KH Hasan Bisri Syafe’i tahun 1961 sampai dengan 1969 juga menjadi santri.
Setelah itu, kakak sepupu saya, KH Nanang Baedarus Murtadla sekitar tahun 1980-an juga nyantri di sana. Kiai Nanang keluar, dilanjutkan oleh adiknya H Enyang Baedarus Mustofa. Bersama Kang H Enyang inilah saya tinggal di asrama masjid. Masjid Cipasung yang baru dua lantai, terpaksa difungsikan juga sebagai asrama santri putra, karena asrama pesantren saat itu masih terbatas. Hanya sebulan berada di asrama Mesjid itu, saya dan kakak sepupu saya pindah ke kamar 2 di bawah asrama.
Jadi, bagi keluarga saya mondok di Cipasung adalah tradisi turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, termasuk adik kandung saya H Ahmad Zamakhsyari (Kang Jimmy Reborn ) yang pernah menjadi wakil bupati Karawang, juga jebolan Cipasung. Yang terakhir dua bulan sebelum Kiai Abun wafat, anak saya diwisuda sebagai Sarjana S-1 IAI Cipasung oleh beliau.
Di sekolah, saya masuk kelas dua SMP Islam Cipasung, sebagai siswa mutasi dari SMP Negeri Telagasari di Karawang. Di pengajian saya masuk kelas 1 yang diajari langsung oleh Kiai Abun, Kiai Oban dan Kiai-Kiai lainnya.
Ketika pertama kali ngaji Jurumiyah yang diajar oleh Kiai Abun, saya duduk di paling depan, sebelum beliau mulai ngajar, beliau melihat saya, karena baru melihat saya beliau nanya kepada kakak sepupu saya yang duduk bersebelahan dengan saya:
“Ari ieu saha, Baedarus?”
“Santri enggal, Pak. Namina Ahmad Ruhyat, putrana Mang Hasan,” Kang H Enyang menjawab.
“Oh, anak Kang Hasan?” Kata Kiai Abun. Beliau memang kenal dengan ayah saya, karena dulu pernah ngaji Jurumiyah bareng kepada Kiai Ilyas Ruhiat.
Waktu pertama kali datang ke Cipasung memang ayah saya tidak sempat menemui Kiai Abun, hanya bertemu Kiai Ilyas saja, karena maklum kami ke Cipasung waktu itu ikut menumpang kendaraan saudara ayah saya. Jadi ayah saya tidak bisa berlama-lama di Cipasung.
Tapi yang membuat saya kagum, Kiai Abun tidak merasa tersinggung dengan hal itu. Beliau tetap memperhatikan saya seperti santrinya yang sudah lama mondok. Malah sering kali saya diminta beliau untuk membaca ulang kitab Ta’limul Muta’allim setelah beliau mengajari kami. Atau beliau meminta saya untuk menjawab pertanyaan yang beliau sampaikan di tengah-tengah ngaji Jurumiah.
Tentu saja saya merasa tersanjung dengan sikap beliau yang sedikit memperlakukan saya secara khusus seperti itu. Tapi belakangan saya baru tahu alasannya, ternyata beliau sangat menghormati alumni Cipasung, yaitu ayah saya yang mau memondokkan putranya di Cipasung kembali.
Ketika pertama kali kenal, Kiai Abun memanggil saya dengan panggilan Ahmad. Tapi karena teman-teman saya memanggil Uyan, akhirnya beliau pun ikut memanggil saya Uyan.
“Bapak ge rek manggil Uyan wehnya, moal Ahmad, komo Ruhiat mah, bisi belengong ka Abah,” kata beliau sambil tersenyum.
Suatu hari saya dipanggil Kiai Abun melalui salah seorang santri yang biasa menjadi khadim beliau.
“Kang, saur Bapak ka bumi Bapak ayeuna, bari mawa kitab Ta’lim.“
Saya pun menghadap beliau di rumahnya dengan penuh tanda tanya, ada salah apa saya, kok guru saya sampai manggil secara khusus, pake harus bawa kitab Ta’lim lagi.
Tapi rasa khawatir itu sirna ketika sampai di ruang tamu rumah Kiai Abun dan beliau dawuh, “Yan, itu kitab Ta’lim na loba nu kosong, pang ngajarkeun nya ku Uyan!”
Masya Allah betapa kaget, campur senang, juga tentu saja sungkan, sekelas saya harus ngajarin ibu Nyai ngelogat Ta’limul Muta’allim. Tapi karena ini perintah guru, saya pun menjalankannya dengan tetap penuh rasa sungkan. Setelah selesai, saya diberikan satu buah mushaf Al Qur’an dan sebuah sorban oleh Kiai Abun. Sungguh sebuah kenangan yang tidak akan pernah terlupakan dalam hidup saya.
Selama 8 tahun saya ngaji beberapa kitab Nahwu, Sharaf dan Ushul Fiqih, mulai dari Jurumiah, Mutammimah, Alfiah Ibnu Malik, Waraqat, Alluma’ dan Lathaiful Isyarah langsung kepada Al Magfurlah KH Bunyamin Ruhiat. Beliau menyampaikan pengajaran dengan sangat cerdas, menggunakan bahasa yang lugas dengan disertai contoh, sehingga para santri pada umumnya paham dan mengerti betul apa yang beliau sampaikan.
“Ribut neangan contoh ameh tereh ngarti,” beliau sering mengingatkan kami ketika sedang mengaji.
Jadi, walaupun materi yang beliau ajarkan adalah kitab-kitab yang terkenal sulit dalam bidang Nahwu Sharaf dan ushul fiqih, tapi dengan metode penjelasan yang gamblang khas Kiai Abun, maka kami pun pada umumnya bisa memahami materi-materi itu.
Ketika kami menjadi santri Cipasung, Kiai Abun masih sangat muda dan energik. Beliau Kiai yang sangat telaten dan istikamah, jarang sekali beliau absen mengajar, baik di sekolah, di kampus maupun di pesantren, kecuali ketika sakit atau ada keperluan mendesak saja.
Pada saat pesantren dipimpin oleh kakaknya, al Magfurlah KH Ilyas Ruhiat yang waktu itu sering kali keluar pesantren, karena dipercaya menjadi Rais Am PBNU, maka Kiai Abun bersama kakaknya yang lain yaitu al Magfurlah KH Dudung Abdul Halim dan saudara-saudara beliau lainnya yang lebih sering berada di pesantren dalam membina para santri.
Sebagai sekretaris Pondok Pesantren pada saat itu Kiai Abun juga menjalankan tugasnya dengan baik. Beliau mampu menjadi mesin organisasi pesantren untuk dapat bersaing dengan sistem pendidikan moderen. Beliau menata asrama-asrama yang berada di lingkungan pesantren dengan membentuk kepengurusan asrama, Tim Penggerak Kegiatan Santri (TPKS), dan juga mendirikan tim khusus keamanan (timsus) pesantren.
Semua alumni Cipasung juga mengakui bahwa Kiai Abun adalah Bapak Pembangunan Cipasung. Beliau bukan hanya kiai yang ahli ngaji, tapi juga arsitek ulung pembangunan sarana prasarana yang ada di Cipasung. Mulai dari pembangunan fisik asrama, gedung-gedung sekolah yang berada di bawah naungan yayasan, hingga hal-hal lain yang berhubungan dengan sarana pesantren. Semuanya dibangun berkat keuletan Kiai Abun.
Perhelatan Muktamar NU ke-29 di Cipasung, yang fenomenal dan bersejarah itu, tak lepas dari tangan terampil Kiai Abun. Bisa dibayangkan, pada waktu itu para kiai pesantren masih sangat sulit untuk menembus tirani orde baru. Tapi dengan kecerdasan Kiai Abun, semua bisa diatasi. Sehingga Muktamar NU pun sukses digelar di pesantren yang didirikan oleh al Magfurlah KH Ruhiat ini.
Di antara puluhan ribu santri Cipasung, saya adalah santri yang paling merasa berdosa kepada Cipasung, khususnya kepada Al Magfurlah Kiai Abun. Saya pernah melakukan sebuah kesalahan fatal yang -mohon maaf- tidak bisa saya sebutkan di sini.
Sebagai seorang santri, saya tetap menaruh rasa takzim kepada masyayikh dan almamater saya. Saya pun datang untuk meminta maaf kepada seluruh masyayikh Cipasung, terutama kepada al Magfurlah Kiai Abun. Dengan penuh kearifan sebagai seorang guru, Kiai Abun menjawab permohonan maaf saya, “Nya anu tos kaliwat mah tong dipikiran, ku Bapak dihampura, Bapak ngado’akeun Uyan sing manfaat elmu.“
Sambil berurai air mata saya bersimpuh di pangkuan beliau. Saya bersaksi Kiai Abun benar-benar seorang Kiai pemaaf dan bijak. Saya seorang santri yang suul adab dan penuh dengan dosa. Beliau memaafkan dengan sepenuh hati. Salah satu buktinya, pada tahun 2000 ketika saya menikah, beliau dan keluarga berkenan hadir ke Sukabumi tempat resepsi pernikahan kami. Bayangkan jarak Tasikmalaya-Sukabumi itu cukup jauh dan melelahkan, tapi beliau bisa menyempatkan hadir di hari pernikahan saya, santrinya yang pernah menyakiti hati beliau.
Bukti berikutnya bahwa beliau seorang yang pemaaf dan bijak adalah ketika menunjuk saya sebagai ketua umum Majelis Pengurus Pusat Keluarga Alumni Cipasung (MPP KAC) menggantikan Bapak Dr H Ajat Sudrajat MH. Karena saya merasa tak pantas untuk menjadi ketua umum di organisasi alumni sebuah pesantren besar di Jawa Barat ini, saya memberanikan diri untuk bertanya tentang alasan beliau menunjuk saya. Kiai Abun menjawab tegas, “Bapak mah hayang boga ketua alumni teh anu gampang dihubungi, jeung boga pasantren.“
Seorang santri yang pernah melakukan sebuah kekhilafan besar, saya dipercaya untuk memimpin organisasi alumni, tentu berkat ketulusan serta jiwa pemaaf Kiai Abun.
Al Magfurlah Kiai Abun juga seorang sangat perhatian dan menjaga silaturahmi dengan para alumni Cipasung, di hari ketiga wafatnya ayah saya, beliau menyempatkan diri untuk datang takziyah dan berziarah ke makam ayah saya. Beliau sempat bercerita waktu itu bahwa beliau pernah bareng ngaji kitab Asmawi salah satu syarah Jurumiah kepada kakaknya yaitu Kiai Ilyas Ruhiat bersama ayah saya.
Sabtu 19 November 2022 ketika mendengar kabar Kiai Abun wafat, melalui telepon WA dari teman saya Ackie Udin, saya tak bisa menahan kesedihan. Air mata pun jatuh berurai. Begitu sakit hati ini ditinggalkan seseorang yang berjasa besar dalam hidup saya, mengajar ngaji, mendidik, membimbing dan mengarahkan hidup saya menjadi lumayan seperti sekarang ini.
Terima kasih, Bapak. Terima kasih atas segala yang pernah engkau ajarkan kepada kami, santri-santrimu. Allah pasti menempatkanmu di dalam rahmat-Nya.[]