Read Time:4 Minute, 48 Second
Oleh Masyhari*)
Perseteruan cabang teologis antara kalangan Asya’irah dan para pendaku pengikut mazhab salaf semisal Ibnu Taimiyah -termasuk kalangan Wahabi- merupakan kisah pilu masa lalu. Perdebatan semacam ini cenderung kontraproduktif dan seringkali menyisakan luka yang menyayat perih di dalam tubuh umat Islam.
Dalam masalah kalam teologi, sejarah telah merekam konflik hebat antara penganut Ahlussunah dan Muktazilah pada era Dinasti Abbasiyah. Konflik ini menyisakan peristiwa tragis, di mana Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu ta’ala dihukum oleh al Makmun yang beraliran akidah Muktazilah.
Hal ini dipicu oleh perdebatan terkait khalqul Qur’an: apakah al-Qur’an itu Kalam Allah ataukah makhluk? Perdebatan teologis antara Ahlussunnah versi Ibnu Taimiyah dan Asya’irah menyebabkan Ibnu Taimiyah masuk bui.
***
Sejatinya, mereka umat Islam (Salafi, Aswaja dan Muktazilah), bahkan bisa jadi umat Nasrani sekalipun, satu pandangan terkait ketuhanan, yaitu Allah Yang Maha Esa. Bedanya adalah dalam memahami sifat Allah. Ini sebagaimana satu syair Arab yang artinya kurang lebih bahwa semua mendaku sampai pada Laila dengan cintanya. Mereka mengaku paling paham tentangnya. Sayangnya, Laila tidak mengakuinya.
Perbedaan dalam masalah ini disebabkan oleh paling tidak oleh dua faktor:
Pertama: Sama-sama belum pernah bertemu langsung dengan Allah. Sehingga masing-masing menafsirkan dzat dan sifat Tuhan hanya berdasarkan dalil teksual yang bersifat normatif dengan pemahaman mereka sebagai manusia yang terbatas. Mereka belum memiliki bukti empiris tentang Tuhan, karena mereka belum pernah bertemu dengan Tuhan, secara langsung.
Kedua, perbedaan paham dalam memahami Kalam Allah, khususnya terkait dengan ayat mutasyabihät. Ayat mutasyabihat yaitu ayat-ayat yang masih samar maknanya, sehingga dilalah-nya bersifat zhanniy atau ambigu.
Sehingga, perbedaan pendapat dalam masalah ini sebenarnya soal furu’ (cabang) akidah. Hanya saja, karena semuanya merasa paling benar atas tafsir terhadap Kalam Tuhan, sifat dan “gambaran” tentang Tuhan, akhirnya mereka saling klaim terhadap kebenaran. Ini sekali lagi seperti yang saya bilang tadi, tak ubahnya mirip dengan para pecinta Laila. Ia mengaku paling paham sifat Laila dan paling mencintainya.
Kita tahu, di dalam khazanah Islam ada ilmu tafsir Al-Quran dikenal ada 3 model ayat, yaitu 1) bisa dengan mudah dipahami maknanya oleh orang yang hanya bermodal bahasa Arab, 2) Tidak dipahami kecuali oleh para ulama atau pakar, dan 3) tiada yang pahami kecuali Allah.
Pada kategori kedua biasanya jadi titik beda antara orang awam. Nah, pada bagian ke-3 ini sering jadi perdebatan antara para pakar sekalipun. Ini semisal makna ayat-ayat mutasyabihat.
Kalau kita merujuk perspektif Ushul Fikih, kita mengenal pembagian dalil tekstual dalam 4 kategori, yaitu:
Pertama, Dalil Qath’iyyul Wurud Wa Ad-Dilälah
Ini adalah jenis dalil yang paling tinggi derajatnya. Karena secara kekuatan (tsubut) sudah qath’i, disepakati validitasnya, misalnya al-Quran dan hadis-hadis mutawatir. Selain itu, muatan maknanya juga tunggal, tidak memuat makna ganda, tidak multitafsir. Terkait dalil semacam ini, para ulama sepakat dan tidak terbelah.
Misal yang simpel dalam hal ini yaitu ayat al-Quran: وأقيموا الصلوة وآتوا الزكوة “Dirikanlah salat dan tunaikan zakat”.
Terkait ayat tersebut, para ulama sepakat, bahwa salat itu wajib, dan yang dimaksud salat dalam ayat tersebut yaitu salat lima waktu. Begitu pula dengan zakat, hukumnya juga wajib berdasarkan ayat tersebut. Hal itu, karena makna perintah (amr) yaitu kewajiban.
Hanya saja, apakah setiap perintah bermakna faur (langsung) ataukah taräkhi (bisa ditunda)? Apakah waktunya mudhayyaq (sempit) ataukah muwassa’ ( luas)? Para ulama berbeda pendapat.
Kedua, Dalil Qath’iyyul wurud Zhanniyud Dilälah
Validitas dalil memang kuat dan diakui. Hanya saja, ia mengandung makna lebih dari satu makna, sehingga maknanya multitafsir. Akhirnya, terjadi perbedaan pandangan terkait makna yang benar. Semisal ayat mutasyabihat dan musytafak lafzhi.
Dalam ayat wudhu (fikih) banyak sekali yang zhanniyud dilälah ini. Makna “Lämastum” misalnya, makna “Ila“, harakat “Arjulakum ataukah Arjulikum?”, begitu juga makna “quru‘, apakah bermakna suci ataukah haid? Dan lain sebagainya.
Dalam masalah akidah pun ada ayat mutasyäbihät, yaitu ayat yang maknanya samar-samar. Bagi sebagian ulama, ayat ini ditafsir A, bagi yang lain ditafsir B. Contohnya ayat-ayat terkait dengan misalnya “yadullah“, “a’yunullah“, “wajhullah“, “istiwa“, “‘uluww“, dan lain sebagainya.
Makanya tidak heran, sejak dahulu hingga sekarang, masalah ini menjadi titik silang pendapat yang tidak berkesudahan, dan tak jarang timbulkan sengketa dunia persilatan.
Maka, menurut hemat saya, silakan masing-masing mengaku paling benar dengan tafsir dan keyakinannya masing-masing. Terkait siapa yang paling mendekati kebenaran, kita serahkan kepada Allah.
Saya kira, perbedaan soal ini tidak terkait langsung dengan kesalihan, praktik ibadah fiqih ataupun akhlak. Masih banyak PR yang harus dikerjakan. Lakukan pendekatan kepada Allah dengan cara dan pemahaman masing-masing.
Varian dalil ketiga dan keempat saya singgung secara singkat saja, sebagai berikut:
Ketiga, Zhanniy al-wurud wa Qath’iyy ad-Dilälah. Dalam bagian ini juga sering jadi titik perbedaan sengit. Karena validitasnya diperselisihkan, terkait satu hadis, misalnya, yang satu bilang ini shahih, yang lain bilang ini dha’if, dan lain sebagainya. Ya, meskipun maknanya tidak multitafsir.
Keempat, dan ini tingkatan dalil yang paling buncit, zhanniy al-Wurud wa ad-Dilälah. Sudah tentu, para ulama terbelah pendapatnya disebabkan dalil yang model ini. Ini dalil yang paling tidak diutamakan untuk dipakai. Ya, meski kadang juga bisa dipertimbangkan untuk dipakai bila ada maslahat menurut ijtihad maqashidiy.
Sebelum menutup tulisan singkat ini, penting saya kutipkan satu kaidah yang cukup masyhur yaitu: “Lä inkära fi al-muktalaf fiih“, tidak harus ada pengingkaran terhadap yang masih debatable.
Artinya, semestinya dalam permasalah yang masih debatable antara para ulama, dan multitafsir, yang diakibatkan di antaranya oleh dalil tekstual yang zhanniy ini (termasuk ayat mutasyäbihät), maka perlu kita kedepankan sikap toleransi dan saling menghargai pendapat satu sama lain, tanpa saling hujat-menghujat. Sebab masing-masing adalah benar dengan pendapatnya minimal menurut keyakinan masing-mading sesuai pencapaian nalar dan pemahamannya.
Terakhir, saya kutipkan satu quote indah yang dinisbatkan kepada Imam Asy-Syafi’i yaitu:
قولي صواب يحتمل الخطأ، وقول غيري خطأ يحتمل الصواب.
Pendapatku benar tapi berpotensi salah. Sedangkan pendapat orang lain salah tapi berpotensi benar. Wallähu a’lam. Maka, perlukah perseteruan ini dilanjut? Mari kita renungkan.
Tabik,
*) Dosen Institut Agama Islam Cirebon