Ada satu kisah teladan dari Gus Dur. Suatu waktu beliau butuh uang untuk modal usaha. Gus Dur berpikir untuk menjual mobil. Beliau kemudian meminta seorang teman untuk menjualkan mobilnya. Ketika mobil tersebut laku, temannya kemudian datang ke rumah Gus Dur yang kebetulan sedang menerima tamu. Dia memberikan uang hasil menjual mobil tersebut kepada Gus Dur. Belum sempat Gus Dur menghitung, uang tersebut langsung beliau berikan kepada tamu.
Kisah teladan tersebut diceritakan oleh KH. Nasihin Hasan (sahabat Gus Dur) pada saat Haul Gus Dur ke-10 di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kisah tersebut saya dengarkan dari sebuah postingan di You Tube.
Kisah itu membekas di benak saya sampai ketika pada satu tahun lalu saya menjumpai seorang perempuan tua penjual wayang kulit pada suatu sore yang cerah di Kampung Dero, Condongcatur, Sleman. Ketika itu saya membersihkan kursi-kursi, bersiap membuka kedai kopi. Perempuan itu berjalan menawarkan wayang ke setiap orang.
Saya mengamatinya, tak ada orang yang memanggilnya menanyakan berapa harga wayang itu untuk dibeli. Sebenarnya tak cocok menjual wayang di kampung yang kebanyakan berhuni orang-orang sibuk kerja, mahasiswa, dan pendatang. Kampung Dero mirip perkampungan kota. Di sini juga ada perumahan dan asrama mahasiswa Papua.
Perempuan itu berjalan sampai di depan kedai Kopi Welasan, kedai kopi kecil milik saya dan beberapa teman. Perempuan yang tampak berusia 50-an tahun itu saya panggil lalu menyilakannya duduk. Dia mengiyakan begitu saja, sepertinya memang lelah dan butuh istirahat. Tubuhnya kurus. Dia berkerudung dan wajah penuh keringat. Kakinya samar-samar saya lihat, hitam dan penuh debu. Saya hanya bisa mengira, dia telah berjalan berkilo-kilo meter. Saya bisa mengira kalau perempuan ini adalah perempuan hebat yang menjadi tumpuan keluarga.
Saya menawarinya minuman dan makanan, tetapi dia menolak. Saya kemudian masuk ke ruang barista untuk mengambil segelas minum dan meminta seorang teman untuk menyiapkan makanan. Sampai ketika saya memberikan minuman kepada perempuan itu, dia menolak. Padahal, segelas minuman sudah ada di depannya.
Saya kemudian mengajaknya mengobrol. Menanyakan beberapa hal, basa-basi, dan menceritakan kalau kedai kopi ini adalah usah saya. Dia warga Gunung Kidul. Memiliki anak lelaki masih kelas empat SD. Dia berjualan wayang kulit dari terminal lalu berjalan kaki menyusuri desa-desa. Seperti itu dia lakukan setiap hari dari pagi hingga sore menjelang Maghrib. Wayang-wayang yang dijualnya asli dari kulit, seharga Rp40-Rp60 ribu.
“Bu, mohon maaf ini, bukannya wayang jarang peminat?” Tanya saya dengan perasaan berat.
“Memang, Mas! Tapi tidak ada yang bisa saya kerjakan kecuali bikin wayang dan menjualnya. Sehari kalau muter begini, bisa menjual tiga hingga lima wayang. Hari ini saya mampu menjual empat.”
Saya mangguk-mangguk, memikirkan kehidupan yang benar-benar sulit. Saya memikirkan suatu kota yang ramai dan sesak ini, ternyata menyimpan banyak kesenjangan.
Saya sekali lagi memintanya meminum air, tetapi dia malah menyambutnya dengan pertanyaan, “Kalau ke terminal Condongcatur, dari sini masih berapa kilo, Mas?” Saya menjawab, “Masih jauh, Bu. Saya tidak tahu pasti, tetapi mungkin 4 kilometer.” Dia menyambung, “Ya sudah saya mau pamit dulu, Mas, terima kasih sudah menawari minuman. Sampean orang yang baik”
Saya tidak ingin perempuan itu segera pergi. Saya ingin membeli salah satu wayang yang dia jual meskipun tak tahu untuk apa. Tetapi uangku sisa sedikit, sedikittt sekali. Saya gelagapan dan bimbang. Seperti ada yang menahanku untuk tidak membiarkan perempuan ini pergi begitu saja. Ada sesuatu yang berat yang entah dari mana asalnya. Saya meyakinkan diri untuk membeli wayang dari perempuan ini.
“Tunggu dulu, Bu, wayang yang ini berapa?” Saya menunjuk salah satu tokoh pandawa.
“Mas mau beli?”
“Iya, Bu.”
Dia kemudian mengambil salah satu wayang dan berkata, “Ambil yang ini saja, karakternya mirip sampean, Mas. Bayar 35 ribu saja.” Dia mengambil wayang di pangkuannya dan menatap mata saya cukup dalam.
Tatapan yang demikian itu, memunculkan kegelisahan dalam benak saya. Bagaimana perempuan itu bisa menebak karakter saya? Apakah dari segelas air yang tidak dia minum? Apakah dari kebaikan tersebut?
“Ibu nggak rugi kan?”
“Nggak, Mas, nggak!” Jawabnya cepat dan tegas.
Saya kemudian menawari perempuan itu tumpangan karena dia berniat ke terminal Condongcatur untuk kemudian pulang ke Gunung Kidul.
“Kalau saya antar ke terminal Condongcatur, apakah Ibu mau?”
Setengah tertawa dia menjawab, “Lha kalau sampean mengantar saya pakai motor, lalu bagaimana saya menjual wayang-wayang yang masih banyak ini, Mas?”
Saya tertawa memikirkan tawaran konyol tersebut. Ibu ini masih perlu jualan untuk menghabiskan barang dagangannya. Dia kemudian pamit, saya menyalaminya, dan memberi tahu ke mana dia harus berjalan ke arah terminal Condongcatur.
Wayang semakin menepi dari pentas kesenian. Dan di sekeliling kita, ternyata ada orang yang menjualnya berjalan kaki sambil berteriak penuh harap, “Wayang wayang! Wayang kulit asli bikinan sendiri.” Dari desa ke desa, di tengah hiruk pikuk kota.
Ramadan kemarin saya secara tak sengaja menemukan buku Islam Berkebudayaan, milik seorang teman yang dia berikan kepada saya. Buku karangan M. Jadul Maula, seorang budayawan dan pendiri Pondok Pesantren Kaliopak Yogyakarta. Saya menemukan bahasan tentang salah satu tokoh wayang yang dipilihkan perempuan itu dan sadar bahwa memang mirip dengan karakter saya.
Teman-teman tak perlu tahu tokoh wayang apa yang mirip dengan karakter saya. Tetapi, saya perlu mengutip ungkapan menarik dari M. Jadul Maula, “Wayang adalah bayangan diri sendiri. Persis seperti cermin.
Mengingat wayang adalah mengingat perempuan itu. Mengingat wayang adalah juga mengingat teladan Gus Dur yang membekas di benak saya. Mengingat perempuan itu adalah mengingat kemanusiaan.