Gus Dur dan Kakeknya (Bagian 1)

Gus Dur atau Kiai Abdurrahman Wahid punya dua kakek; Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari dan Kiai Bisri Syansuri. Nama pertama dari jalur ayahnya, Kiai Abdul Wahid Hasyim. Nama kedua dari jalur ibunya, Nyai Solichah Munawaroh.

Mbah Hasyim, demikian orang Jawa menyebut Kiai Hasyim Asy’ari, wafat tahun 1947, di usia 76 tahun. Waktu itu, Gus Dur baru berusia 7 tahun. Jadi maklum ketika Gus Dur ditanya tentang sosok KH Muhammad Hasyim Asy’ari, menjawab tidak banyak tahu dan tidak ingat, karena masih kecil.

Pengalaman yang berbeda dirasakan oleh Gus Dur bersama kakeknya, dari jalur ibu, yaitu Kiai Bisri Syansuri atau Mbah Bisri, yang jadi pokok tulisan kali ini.

Sepeninggal ayahnya tahun 1953, Gus Dur dalam “pantauan” kakeknya, Mbah Bisri. Gus Dur mengalami persentuhan dengan beliau sampai dewasa, sudah penjadi pengajar di pesantren, aktif di NU, jadi penulis, dan sudah berkeluarga bahkan punya anak. Bahkan, Gus Dur pernah jadi semacam sekretarisnya Mbah Bisri. Mbah Bisri sedo tahun 1980, di usia 93 tahun. Jadi maklum, Gus Dur dapat bercerita panjang dan menuliskannya dalam buku berjudul “Khazanah Kiai Bisri Syansuri: Pencinta Fiqh Sepanjang Hayat”. Ini karya Gus Dur yang dicetak kembali oleh Pensil 324, Jakarta, 2010.

Baca juga:  Siti Badilah Zubair, Feminis Awal di Muhammadiyah

Sebelum terbitan tersebut, sahabat saya Yusuf Suharto—alumni dan pengajar di Pesantren Denanyar— menunjukkan foto sampul buku edisi awal: Tulisan huruf kapital “KIAI BISRI SYANSURI”, lalu di bawahnya foto beliau yang hitam putih, di bawahnya lagi judul kecil “Pencinta Fiqh Sepanjang Hayat”. Garis kotak warna hijau menjadi “frame” buku tersebut. Penerbitnya Majalah AMANAH, Januari tahun 1989. Pemimpin Redaksinya, Drs. H. Kafrawi Ridwan, M.A. menulis pengantar singkat (Jakarta, 28 Januari 1989):

Bismillahirrahmannirrahim

Buku K.H. BISRI SYANSURI, Pencinta Fiqh Sepanjang Hayat yang ditulis K.H. Abdurrahmah Wahid ini diterbitkan atas kerja sama antara keluarga besar K.H. Bisri Syansuri dengan majalah AMANAH. Penerbitan buku ini diselenggarakan dalam rangka peringatan wafat almarhum Kiai Bisri Syansuri. Maka keluarga besar Majalah AMANAH dengan tulus hati ikut berdoa bagi kesejahteraan arwah almarhum di sisi Allah Subhanahu Wata’ala, serta berharap kiranya ilmu yang diwasiatkan oleh almarhum senantiasa dipelihara dan dikembangkan bagi kemaslahatan umat.

Tetapi, kata Yusuf Suharto, buku terbitan Majalah AMANAH juga juga sebenarnya bukan paling awal. “Yang lebih awal ada lagi, buku stensilan. Ini ditulis tak lama setelah Mbah Bisri wafat.

Menariknya, Majalah AMANAH itu bukan milik orang NU. Senior saya, Hairus Salim HS, yang banyak meneliti “majalah Islam” mengatakan, “Majalah AMANAH ini punya Lukman Umar, alumni IAIN Jogja, orang Padang, yang juga pemilik Majalah Kartini. Di AMANAH banyak orang NU yang jadi penulis, seperti Ahmad Tohari, Arman Arroisi, Gus Mus, dll.”

Baca juga:  Haul Nurcholish Madjid (6): Soe Hok Gie, Ahmad Wahib, dan Cak Nur

Bahkan, Ahmad Tohari pernah bercerita kepada saya pernah jadi wartawan di sana. Kata Martin Aleida—mantan wartawan Tempo dan sastrawan— Ibu Shinta Nuriayah, istri Gus Dur, juga pernah jadi redaktur di majalah Kartini, satu pemilik dengan AMANAH. Jangan-jangan, Lukman Umar yang disebut Hairus Salim sebagai alumni IAIN dan pemilik majalah, temannya Ibu Shinta Nuriyah di IAIN. Bisa jadi. Jadi panjang ini cerita tentang buku Mbah Bisri—ada satu yang belum disebutkan, buku yang saya cerita di atas itu diterbitkan juga oleh PKB. Mari kita kembali ke tema pokok, Mbah Bisri.

Mbah Bisri (jangan keliru dengan Kiai Bisri Mustofa Rembang, ayahanda Gus Mus), di tahun-tahun pertama sepeninggal Kiai Wahid, hanya “memantau” Gus Dur dari jauh. Sebab, setahun setelah ayahnya wafat, Gus Dur sekolah di Jogja, lalu Tegalrejo Magelang.

Biasanya, jika anak ditinggal ayahnya dan kakeknya masih ada, maka sang kakek akan “mengambil alih”. Ini tidak, Gus Dur tidak diasuh oleh kakeknya, melainkan dipesantrenkan, disekolahkan, di Jogja. Tahun itu, saya kira belum lumrah anak baru mau tumbuh remaja, baru balig, atau malah belum balig, tinggal jauh dari keluarga inti, jauh dari rumah.

Ini membuat saya bertanya-tanya, “Kenapa ya Gus Dur tidak ‘ditarik’ oleh kakeknya, tinggal rumah, di kompleks Pesantren Denanyar, ngaji di sana, dan bergaul bersama sepupunya yang tinggal di sana juga? Bukankah jika Gus Dur di sana akan lebih terjamin, Kiai Bisri ulama terpandang? Jika ingin makan ayam goreng tinggal memotongnya? Kok malah di Jogja?” (Bersambung)

Baca juga:  Kisah KH. Muhammad Chalid Mengislamkan Masyarakat Pedalaman Kalimantan

13 Desember

Tambun-Bekasi

https://alif.id/read/hamzah-sahal/gus-dur-dan-kakeknya-bagian-1-b246547p/