Gus Dur dan Kakeknya (Bagian 2)

Mengapa Gus Dur tidak menulis ibunya, Nyai Solichah binti Kiai Bisri Syansuri, seperti Daoed Yoesoef menulis ibunya dengan judul Emak? Untuk mendapat jawaban yang benar, tentu pertanya tersebut harus dilontarkan kepada Gus Dur langsung. Ah, mengada-ada saja, Gus Dur sudah tidak ada. Tetapi saya punya jawaban, berdasarkan angan-angan. Apa?

Gus Dur sepertinya menghindari sesuatu yang sentimental, yang menyentuh perasaan terhalus dalam diri manusia. Bayangkan andai Gus Dur menulis ibunya, pasti mengharu-biru, air mata, cinta, perjuangan, menjadi satu. Single parent bernama Solichah Munawaroh ini sesuatu yang sukar dibayangkan: suami wafat saat dengan 5 anak masih bocah dan satu lagi masih di dalam kandung.

Dalam menulis sosok—sebagaima kita baca saat menulis kiai-kiai—Gus Dur ada nada guyon, ada unsur humornya. Sementara sang ibu, sebagai bentuk takzim, rasanya tidak mungkin Gus Dur menuliskannya misalnya seperti menulis Kiai Muchit Muzadi, yang diawali dengan candaan. Ini alasan pertama.

Alasan kedua, Gus Dur selalu menulis sesuatu yang bersifat publik. Gus Dur menulis seorang kiai yang mencintai sebuah kitab, itu akan dikaitkan dengan kehidupan masyarakat, politik. Gus Dur menulis tentang laku seorang sufi, maka akan ditarik dalam kehidupan sosial. Apa ibu Gus Dur bukan tokoh publik atau menarik diri dari kehidupan sosial?

Jangan salah, Ibu Nyai Solichah itu jagoan. Beliau sudah pejuang di era revolusi kemerdekaan, politisi pasca kemerdekaan, mubaligah, dan tentu saja perjuangannya membesarkan 6 putra-putrinya tidak boleh semata-mata dikotakkan sebagai pekerjaan rumah. Tetapi itu tadi, jika menulis Ibunya, Gus Dur pasti hanyut dalam suasana sentimental. Namun saya curiga, sepertinya, saat Gus Dur mengatakan bercita-cita ingin menulis sebuah novel, jangan-jangan, tokoh utama di dalam novel yang tidak pernah ditulisnya itu ibunya. Wallahu a’lam.

Baca juga:  Saya Tak Mau Jadi Guru seperti Bapakku

Tetapi Gus Dur “menebus”nya dengan menulis kakeknya, Mbah Bisri. Seperti saya singgung di atas, Gus Dur selalu menulis sesuatu yang bersifat publik. Dalam menulis kakeknya pun begitu. Gus Dur menulis Mbah Bisri dan situasi sosialnya, guru-gurunya, kitab kuningnya, tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Dalam buku yang penerbitannya sudah saya singgung di catatanpertama, kita tidak akan membaca kisah personal Gus Dur dan kakeknya. Tidak ada kalimat Gus Dur yang menceritakan adegan Mbah Bisri memberi buah mangga kepada dirinya. Di buku ini, kita tidak akan membaca tangan Gus Dur digandeng kakeknya saat pemakaman Kiai Wahid di Tebuireng. Minus human interest, buku ini memang agak kering. Tetapi sebagai sebuah buku tentang kiai, sangat menarik.

Fikih adalah kata kunci karya Gus Dur tentang sosok Kiai Bisri. Semua judul, berisi 13 judul, menyebut kata fikih dengan berbagai konteksnya. Eh, ada satu judul yang tidak menyebut fikih, yaitu judul pertama, “Masa Kecil Bisri Syansuri”. Judul kedua, “Mulai Belajar Alquran”, Gus Dur menulis, “Gurunya adalah Kiai Abdul Salam yang hafal Alquran dan terkenal dengan penguasaan mendalam atas fiqh.” Ada fikihnya di situ.

Judul ketiga, Gus Dur menulis kata fikih lebih kerap lagi dan mulai berat, salah satunya ada dalam kalimat ini, “Dialog tersebut menghasilkan sebuah tradisi keilmuan yang baru, yaitu penegasan kembali otoritas fiqh atas aspek-aspek lain dari kehidupan beragama Islam. Kata Fikih juga disebut di bab keempat, “Pindah Ke Tebuireng.”

Bab kelima bahkan menyebut kata fikih untuk judul, “Barisan Peminat Fiqh”. Gus Dur menyebut fikih dalam bab ini secara intens, sering, dan terasa aksentuasinya. Istilah fikih disebut Gus Dur dalam berbagai konteksnya. Yang disebut “barisan peminat fikih” dalam judul ini adalah teman-teman Bisri muda, yaitu para murid Mbah Hasyim di Tebuireng, yang kelak menjadi “soko guru” di pesantrennya masing-masing.

Baca juga:  Sahabat Suhail bin Amr, Sang Orator dan Negosiator

Gus Dur menuliskan nama-nama mereka tanpa embel-embel “KH”: Abdul Manaf dari Kediri, As’ad dari Situbondo, Ahmad Baidhawi dari Banyumas Abdul Karim dari Sedayu (Gresik), Nahrawi dari Malang, Abbas dari Jember, Ma’shum Ali dari Masukmambang Gresik, dll.

Di Tebuireng, Bisri muda diberi ijazah (izin) untuk mengajarkan kitab Zubad. Gus Dur menyebut bahwa kitab fikih ini adalah kitab kegemaran Kiai Bisri. Di bab ini pula Gus Dur menyebut bahwa keahlian fikihlah yang membuat Kiai Bisri terkenal. Bersamaan dengan itu, Gus Dur memberi “catatan sangat halus”:

“Pada waktu itu, sudah terlihat jelas corak penguasaan ilmu-ilmu agama yang diikuti pemuda Bisri Syansuri dan akan membuatnya sangat terkenal dikemudian hari: Pendalaman pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh tanpa terlalu banyak variasi tambahan pengetahuan bermacam-macam,” tulis Gus Dur.

Yang saya maksud “catatan sangat halus” dari Gus Dur atas Kiai Bisri ada pada kalimat akhir, “….tanpa terlalu banyak variasi…” Di sini pula Gus Dur membandingkan Kiai Bisri dengan teman dan sekaligus kakak iparnya, Kiai Abdul Wahab Hasbullah.

Sejak di pesantren, kata Gus Dur, Kiai Bisri cenderung diam dan menenggelamkan diri dalam rutinitas. Sementara santri bernama Wahab lebih dinamis, punya banyak aktivitas sampingan, bahkan bikin masalah dengan gurunya. Perilaku Wahab muda ini yang sepertinya ditiru Gus Dur, bukan meniru kakeknya sendri..hahaha…

Baca juga:  Fadhilah Khan, Raja Cirebon Pasca Sunan Gunung Jati

Salah satu poin dari penjelasan panjang lebar tulisan Gus Dur tentang Kiai Bisri adalah fikih, dengan segala macam dinamikanya. Fikih secara konsep atau ilmu, fikih di pesantren, fikih sebagai cara berpikir, fikih sebagai panduan hidup, fikih sebagai alat perjungan politik, ada pada Kiai Bisri. Di Bab terakhir buku ini, Gus Dur menyebut Kiai Bisri secara pribadi tunduk, patuh, pada hukum fikih:

“Begitu tuntas arti fiqh pada diri Kiai Bisri Syansuri sehingga sikapnya kepada orang lain termasuk cucunya sendiri, sepenuhnya dilaksanakan pada ketentuan-ketentuan fiqh.”

Tetapi sebagai pemimpin, persisnya setelah Kiai Wahab wafat, Kiai Bisri melakukan perubahan. Saya kutipkan lagi kalimat Gus Dur, agar saya tidak salah:

“Kiai Bisri Syansuri lalu menjadi orang yang bersedia melihat persoalan dari berbagai sudut pandang, sebelum diambil keputusan. Sikap yang mau mencari sumber pengambilan keputusan literatur fiqh saja ditinggalkannya, karena sudah tidak sesuai lagi dengan peran yang dijalaninya.”

Dalam buku berjudul “Khazanah Kiai Bisri Syansuri, Pencinta Fiqh Sepanjang Hayat” ini, Gus Dur, menurut saya, ingin mengatakan bahwa jika mau memahami fikih, pelajarilah Kiai Bisri Syansuri. Lengkap, komplit hal-ihwal fikih, dari A sampai Z ada dalam sosok Kiai Bisri. Pesan lain yang saya tangkap dari karya ini adalah, Gus Dur ingin menujukkan kompleksitas dunia fikih di pesantren/kiai. Kita tahu, zaman-zaman itu, para kiai, NU, disebut (secara simplistis dan banal) oportunis, dan fikih dijadikan kambing hitamnya.

Mengakhiri catatan “Gus Dur dan Kakeknya” ini, saya ingin bertanya pada sampean-sampean, “Adakah seorang cucu di Indonesia yang menulis kakeknya dengan sedemikian rupa?”

https://alif.id/read/hamzah-sahal/gus-dur-dan-kakeknya-bagian-2-b246581p/