Pesta Pernikahan di Solo

Solo, kota (terlalu) sibuk. Solo sering dipilih untuk pelbagai acara akbar: kongres, muktamar, dan festival. Puluhan acara menjadikan Solo ramai. Publik mungkin bergirang mengetahui Solo selalu kedatangan ribuan atau jutaan orang. Sekian pihak justru bingung dengan maksud-maksud menggelar acara akbar di Solo. Konon, acara-acara itu berpamrih politik, pendidikan, dakwah, seni, ekonomi, olahraga, kuliner, busana, dan lain-lain. Solo “dipaksa” makin sibuk, hari demi hari.

Solo makin sibuk dengan pesta pernikahan. Hajatan ngundhuh mantu diselenggarakan tokoh terpenting di Indonesia. Solo menjadi pusat perhatian: mengartikan jalinan asmara atau pernikahan meski disusul misi-misi besar. Orang-orang menduga acara pernikahan mudah mendapat tafsir-tafsir politis meski mula-mula mengharuskan pemaknaan religi-sosial-kultural.

Sejarah pernikahan akbar di Solo dijelaskan Kuntowijoyo dalam buku berjudul Raja, Priyayi, dan Kawula (2004). Pada 1915, Paku Buwono X mengadakan pernikahan dalam situasi Solo sedang berada di “zaman bergerak”. Pernikahan raja menimbulkan kesibukan dan memicu impian-impian besar. Semua pihak “bergerak” demi kemegahan dan keindahan pernikahan.

Bersumber berita-berita di surat kabar dan dokumen-dokumen, Kuntowijoyo mengajak pembaca menikmati pernikahan menentukan sejarah. Suasana dan pemandangan demi pernikahan awal abad XX: “Paseban dihias dengan lampu-lampu listrik, gamelan dibunyikan, tarian diselenggarakan, tandak disediakan, dan wayang orang dimainkan. Lantai ditutupi dengan tikar dan karpet. Takhta (dampar) dihias dengan listrik berisi pujian untuk Sunan Paku Buwono X. Di Sana Sumawa, ada ratusan dapur untuk makan dan minum para pejabat disediakan. Jalan-jalan dihias umbul-umbul, rontek, bendera-bendera kecil, dan bendera tiap kabupaten. Bendera merah putih dari Sarekat Islam dengan izin pemerintah tampak menghiasi kota.”

Baca juga:  Jokha Alharthi, Perbudakan, dan Penghargaan Man Booker

Solo masa lalu belum seramai sekarang. Solo telah berubah. Jalan-jalan sering ramai. Di pinggir jalan, bangunan-bangunan megah berdiri memberi pesan zaman. Konon, Solo ingin menjadi tempat piknik paling mengesankan. Solo pun sibuk dengan agenda-agenda politik. Seni terus bertumbuh.

Ingatan pernikahan awal abad XX itu mungkin membuat cemburu saat kita menjadi “penonton” pernikahan-pernikahan akbar para artis abad XXI. Pernikahan para anak penguasa atau pejabat dipastikan meriah. Pernikahan bukan melulu berpesan asmara. Kita beruntung mendapat penjelasan sejarah untuk membuktikan bahwa Solo itu besar dan bersejarah gara-gara pernikahan. Pada akhir 2022, sejarah berlanjut dengan tokoh dan pesan-pesan berbeda.

Di buku-buku sejarah, orang terbiasa membaca hubungan pernikahan dan kekuasaan. Kita mengangguk saja, berharap mendapat penjelasan-penjelasan hikmah pernikahan. Dulu, para penguasa menjadikan pernikahan untuk pembesaran kekuasaan, meredam pemberontakan, atau menggerakkan peradaban. Pada abad XXI, kita masih mungkin berpikiran dampak-dampak pernikahan mempengaruhi kekuasaan: dekat atau jauh.

Pesta pernikahan di Solo akhir 2022 itu seru mengacu pengantin lelaki. Sosok terus moncer dalam bisnis dan olahraga. Sosok memikat mendapat pengaruh-pengaruh dari bapak selaku Presiden Republik Indonesia. Berita-berita dan album gosip makin membesar. Publik lekas diajak memikirkan sosok mendampingi Kaesang Pangarep. Perempuan itu bernama Erina Sofia Gudono.

Kita sejenak memberi perhatian untuk perempuan melalui Jurnal Perempuan 22 (2002) bertajuk “Memikirkan Perkawinan”. Eko Bambang Subiantoro mengungkapkan: “Persoalan maha penting tentang perempuan dalam perkawinan di masyarakat patriarki adalah terjadinya sublimasi identitas dan eksistensi diri perempuan pada laki-laki.” Kita mungkin tak terlalu jauh berpikiran pernikahan dan feminisme saat berita-berita di koran dan televisi justru mengarah hal-hal berbeda: busana, makanan, hiburan, dan tamu.

Baca juga:  “Njawani” yang Salah Kaprah

Penjelasan diberikan Ayu Ratih agak membuat kita paham tentang pesta pernikahan akbar di Solo akhir 2022: “Perkawinan mungkin salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang upaya perumusan dari pelbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Kegiatan yang dibayangkan, bahkan dipercayai, sebagai perwujudan ideal hubungan cinta antara dua individu belaka telah menjadi urusan banyak orang atau institusi, mulai dari orang tua, keluarga besar, institusi agama sampai negara.” Di Solo, publik mendapat persembahan acara berpijak asmara, adat, agama, dan negara sebelum sibuk dalam jeratan-jeratan politik menuju 2024.

Kita kembali mengingat Solo dan pesta pernikahan. Kita berlanjut memasuki novel digubah oleh pengarang berasal dari Mangkunegaran. Novel berjudul Widyawati (1949) gubahan Arti Purbani (BRA Partini Djajadiningrat). Dulu, ia turut menjadi saksi kesibukan Kongres Kebudayaan Jawa di Solo, 1918. Acara bersejarah itu mengesankan ditambahi perjumpaan dan jalinan asmara dengan Hoesein Djajadiningrat. Mereka menikah pada 1921.

Pada saat pernikahan Kaesang-Erina di Jogjakarta, novel Widyawati tak dijadikan sebagai hadiah dibagikan kepada para tamu. Kita pun memastikan tiada acara pembacaan petikan novel. Para tamu mungkin tanpa bekal pengetahuan bila ingin mendapat imbuhan acara setelah selesai pesta pernikahan di Mangkunegaran bisa dolan ke Taman Balekambang (Solo). Di situ, mereka bisa melihat patung Partini. Selama puluhan tahun, pengelola taman sedang diperindah itu belum membuat pengenalan lengkap mengenai sosok Partini. Penghormatan atas buku-buku ditulis Partini Djajadiningrat (Arti Purbani) belum terjadi di Taman Balekambang.

Baca juga:  Komunikasi Masyarakat Arab Klasik: Estetis juga Tragis

Novel memuat masalah perkawinan. Kita mengutip pengisahan perkawinan masa lalu berpatokan adat. Peristiwa menjelang hari pernikahan: “Seminggu sebelum upacara perkawinan, sengkeran (pingitan) dimulai pada pengantin perempuan. Roosmi dipisahkan dalam sebuah kamar dan harus berpakaian sawitan. Dalam minggu pingitan itu ia dilulur oleh seorang keluarga yang tua. Artinya, tubuhnya digosoki dengan campuran minyak harum, yang terbuat dari tujuh macam daun bercampur obat-obat Jawa, supaya kulitnya halus dan harum. Waktu ia dilulur, orang-orang tua biasanya memberi petuah-petuah tentang kewajiban seorang istri dalam perkawinan, misalnya ia harus menurut, sabar, dan banyak lain-lain lagi.”

Novel lama terlupa. Novel mungkin tak terlalu berhikmah untuk pernikahan akbar di Solo. Kita mengandaikan ada seminar sejarah pernikahan di Jawa (Indonesia). Kita pun berpikiran ada obrolan-obrolan mengenai sastra dan pernikahan dalam teks-teks sastra Jawa (lama) dan novel-novel berbahasa Indonesia, dari masa ke masa. Solo sedang (terlalu) sibuk, orang-orang tak sempat membuka buku-buku berdalih mengerti sejarah dan sastra bertema pernikahan. Begitu.

https://alif.id/read/bandung-mawardi/pesta-pernikahan-di-solo-b246599p/