Penanganan Korban Kekerasan Seksual (2): Menimbang Kesiapan Aparat Penegak Hukum Dalam Implementasi UU TPKS

Disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS) bagaikan angin segar di siang hari yang terik. UU ini hadir sebagai jawaban di tengah maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Undang-undang ini memberikan secercah harapan bagi para korban untuk mendapatkan keadilan. Namun, implementasi UU ini nyatanya masih mengalami hambatan dan tantangan terutama terkait kesiapan aparat penegak hukum sebagai pihak yang menjadi garda terdepan pelaksanaan UU ini.

Setelah diundangkan pada 9 Mei 2022, UUTPKS selanjutnya membutuhkan peraturan pelaksananya agar implementasi dari UU tersebut dapat terlaksana dengan baik. Namun penyusunan peraturan pelaksana masih membutuhkan waktu yang tidak sebentar, sementara banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi dan para korban yang menunggu keadilan. Karena itu, untuk mengisi kekosongan tersebut dibutuhkan kesiapan dari aparat penegak hukum dalam melindungi korban.

Namun, Dari fakta yang terjadi di beberapa daerah, masih banyak aparat penegak hukum yang menggunakan cara-cara lama dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Beberapa Lembaga konsultasi dan bantuan hukum mengatakan bahwa aparat masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selain itu, masih banyak kasus kekerasan seksual yang berakhir dengan “damai” antara pelaku dan korban.

Dilansir dari vice.com, pasca disahkannya UUTPKS masih ada beberapa kasus kekerasan seksual yang tidak tertangani sesuai dengan yang diamanatkan UUUTPKS. Contohnya kasus di Tuban Jawa Timur pada juli 2022. Kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang anak perempuan yang masih duduk di bangku SMP. Korban melahirkan bayi setelah diperkosa seorang laki-laki. Kasus tersebut berakhir pada pernikahan antara korban dan pelaku, dan sayangnya pihak Polres menfasilitasi itu dengan dengan membuat pernyataan damai.

Baca juga:  Citra Perempuan Ideal Menurut Al-Qur’an

Kasus serupa juga terjadi pada perempuan asal Banyuwangi yang hamil akibat diperkosa tiga orang pria pada Desember 2021. Pada Maret 2021 korban malah dinikahkan dengan salah seorang pelaku dengan alasan melindungi aib keluarga. Sayangnya pada bulan Juni 2022 pelaku yang menjadi suami korban justru kabur dari tanggungjawab. Ketika korban melaporkan hal ini ke Polresta Banyuwangi, pasal yang dikenakan pada pelaku tersebut bukan terkait kekerasan seksual namun penelantaran ibu dan anak.

Kasus-kasus tersebut memperlihatkan bagaimana aparat penegak hukum, keluarga dan pejabat pemangku kepentingan masih belum memiliki perspektif korban sehingga gagal dalam melindungi korban. Hal tersebut sekaligus memperlihatkan bahwa penegak hukum kita masih jauh dari kata siap dalam menjalankan amanat UU dengan baik. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Tidak bisa dipungkiri bahwa budaya patriarki membawa dampak yang sangat besar terhadap sistem kehidupan di masyarakat. Kasus kekerasan seksual yang terjadi sejak dahulu seringkali dianggap sebagai suatu hal yang tidak penting dan tidak perlu diatur dalam Undang-undang. Pada kasus pemerkosaan misalnya, seringkali yang disalahkan justru korban. Menggunakan pakaian terbuka, keluar rumah di malam hari menjadi beberapa alasan untuk menormalisasi pemerkosaan sehingga seringnya hukuman yang diberikan pada pelaku sangat ringan.

Baca juga:  Perempuan dan Ketahanan Ekonomi Dusun Mancagar

Belenggu Patriarki tersebut menyebabkan struktur dan kultur hukum di masyarakat masih bias gender. Hal ini menyebabkan pemahaman masyarakat tentang kekerasan seksual masih rendah. Masih banyak yang belum memiliki perspektif gender, termasuk aparat penegak hukum. Hal inilah kemudian yang memperparah relasi kuasa antara pelaku dan korban sehingga seringnya kasus kekerasan seksual selalu berakhir dengan damai menggunakan dalih Restorative Justice.

Karena itu, diperlukan penguatan kapasitas untuk para penegak hukum agar kemudian mempunyai perspektif gender yang kuat agar kasus kekerasan seksual tidak begitu saja didamaikan. Jika potensi penyelesaian secara kekeluargaan tersebut masih ada dan terus dilakukan, maka kasus kekerasan seksual akan terus terjadi karena pelaku merasa bisa meloloskan diri dari jeratan hukum.

Maka menurut saya perlu ada pelatihan khusus atau briefing terhadap aparat penegak hukum dan juga instansi-instansi di daerah terkait perspektif gender yang berpihak pada korban. Karena implementasi UUTPKS membutuhkan kesiapan dari pihak-pihak tersebut. Kalau perlu, ada pengawasan dari internal kepolisian dengan memanfaatkan divisi Propam untuk menjalankan fungsinya. Cara-cara lama seperti proses hukum yang lama, berlarut-larut dan biaya yang harus dikeluarkan korban dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual semestinya ditinggalkan.

Sosialisasi mengenai poin-poin penting dalam UUTPKS juga harus dilakukan secara masif agar masyarakat mempunyai kesadaran dan pemahaman yang benar terkait kekerasan seksual. Fakta di lapangan menunjukkan banyak masyarakat yang menganggap jika melaporkan kasus ke polisi harus membayar sejumlah uang. Tentu ini akan berpotensi menyebabkan korban maupun keluarga berpikir dua kali untuk melapor, sehingga menambah daftar kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan.

Baca juga:  Ruang Dakwah, Ulama Perempuan, dan Keadilan Berilmu

Sosialisasi tentu membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dalam hal ini pendekatan daerah diperlukan. Bagaimana kemudian peran institusi Pendidikan dalam menyajikan edukasi. Selain itu pemerintah daerah juga perlu membentuk Unit Pelaksana teknis Daerah untuk Perlindungan Perempuan dan Anak sebagai bentuk keseriusan dalam menjamin keamanan masyarakat dari kekerasan seksual. Implementasi UUTPKS ini terus ditunggu, Mari bergerak dan maju!

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/tmr/penanganan-korban-kekerasan-seksual-1-menimbang-kesiapan-aparat-penegak-hukum-dalam-implementasi-uu-tpks-b246569p/