KUHP Pasal 300-305: Berakidah Secara Konstitusional

Baru-baru ini KUHP yang baru telah disahkan oleh DPR. Di samping memuat pasal-pasal yang dianggap kontroversial, namun bagi saya pribadi, ada satu perluasan pasal yang memang terasa adil dan sesuai dengan kondisi yang telah berubah. Pasal itu adalah pasal 300-305 yang dalam KUHP yang baru menyandingkan pula eksistensi “Kepercayaan” yang setara dan memiliki konsekuensi hukum yang sama ketika melanggarnya dengan “Agama.”

Telah lama eksistensi kepercayaan, kearifan-kearifan lokal, dan khususnya aliran-aliran penghayat kepercayaan, atau yang sering pula disebut sebagai aliran-aliran kebatinan, dianggap tak ada. Hal ini tercermin ketika seumpamanya, secara tak adil, para mubalig dengan seenaknya membawa-bawa aliran-aliran kebatinan, yang jelas-jelas merujuk pada kearifan-kearifan lokal, apalagi yang sudah terwadahi dalam komunitas atau organisasi, ketika menyandingkan atau bahkan membandingkannya dengan agama yang dianutnya di depan publik.

Saya tak akan mengatakan bahwa para mubalig itu tengah bodoh ataupun utun dalam soal hukum, perkembangan-perkembangan hak-hak sipil yang mutakhir, ataupun “bocah” dalam hal rasa dengan sesama. Toleransi yang digembar-gemborkan mereka selama ini rasanya hanya mencakup pada agama-agama yang secara rokognitif merupakan warisan Orde Baru. Seandainya yang melakukan itu adalah orang-orang yang ditengarai radikal, tak menjadi persoalan yang serius mengingat mereka memang jelas-jelas tak membangun citra diri yang toleran.

Baca juga:  Moderatisme Beragama dalam Kacamata Sufisme Nusantara (4): Deradikalisasi dalam Sufisme Nusantara

Namun ketika yang melakukan itu adalah kalangan yang selama ini suka mengklaim sebagai toleran, moderat, dan inklusif, adalah menandakan betapa bodoh dan utun-nya sebagian dari kita pada keadaan-keadaan mutakhir yang melingkupi. Kehidupan bebrayan, atau kehidupan sebagai sesama warganegara Indonesia, tentu dibangun bukan dengan cara-cara yang serampangan.

Ketika, seumpamanya, kalangan penghayat yang selama ini mencantumkan aturan-aturan baku pada para pengikutnya untuk menghormati agama-agama yang ada, tak mempersoalkan perbedaan agama-agama yang ada, dan tak pernah bermaksud menggantikan agama-agama yang ada, semua ini tentu mengerucut pada Sila I Pancasila: “Ketuhanan yang Maha Esa.” Atau dalam bahasa Sesanggeman Paguyuban Sumarah, perbedaan golongan, para ahli kebatinan dan ahli agama, diupayakan untuk dapat memiliki tujuan yang sama, “…Murih sedaya golongan, para ahli kebatosan tuwin Agami saged nunggil gegayuhan.”

Ketika kalangan penghayat kepercayaan saja tak pernah mempersoalkan agama, kenapa kalangan agama tak dapat melakukan hal yang sama pada mereka? Dari sudut-pandang konstitusi, pertanyaan semacam ini perlu dikemukakan agar klaim semisal nasionalisme yang religius, pepatah di mana Bumi dipijak di situ langit dijunjung, dan prinsip cultural citizenship tak sekedar umuk atau omong-besar dunia akademik Barat yang gagal dibumikan belaka.

Hal-hal di atas menggiring kita untuk merenungkan lebih dalam tentang kondisi faktawi Indonesia yang salah, agama yang salah, atau pemaknaan kita atas agama yang salah? Kondisi faktawi, seperti kondisi geografis dan kebudayaan jelas adalah sesuatu yang das Sein, terlepas kita suka atau tak suka. Dan agama adalah jelas-jelas terkait dengan hal-hal ideal yang semestinya. Kedua kenyataan ini adalah jelas-jelas tak pernah dapat untuk selalu sebangun.

Baca juga:  Bermain Layang-Layang, Menggapai Keabadian: Suluk Sida Nglamong dan Potret Jiwa Kaum Salikin

Tak perlu rasanya saya menyitir al-Hikam untuk sekedar menyalahkan pemaknaan kita atas agama dalam pertautannya dengan dunia. Namun satu hal yang pasti, ketika orang menyinggung rasa orang lain, maka ia telah menyinggung rasanya sendiri. Pancasila dan konstitusi, dengan demikian, secara garis besar, adalah perangkat yang dahulu diwariskan para founding father untuk menjaga kehidupan antar sesama tersebut.

 

https://alif.id/read/hs/kuhp-pasal-300-305-berakidah-secara-konstitusional-b246694p/