Di saat dunia Islam sedang dalam kekacauan, petinggi-petinggi yang memegang jabatan hanya memetingkan perut mereka sendiri, merambahnya Nepotisme dan juga Egoisme, kesewenang-wenangan, ditambah demoralisasi dan kemrosotan dalam bidang pendididkan, menggambarkan dunia Islam saat itu sedang kesakitan, maka di tengah rimbunnya permasalalahan yang ada, lahirlah sesosok cahaya kecil yang akan merubah wajah Islam di kemudian hari dengan segala pemikirian briliannya, mengubah alur sejarah yang dulunya hitam menjadi benderang dialah Muhammad Thohir bin Muhammad bin Muhammad Thohir bin Asyur yang lebih dikenal dengan Ibnu Asyur.
Sementara efek yang paling fundamental dari carut-marut ini adalah rusaknya cara berfikir orang-orang Islam saat itu, lantaran ketertinggalannya dalam dunia pendididkan, cara faham yang konservatif menjadi model pemikiran yang begitu meluas, karena kurangnya wawasan dan fasilitas yang memadai. Apalagi kembalinya masyarakat muslim dalam mengamini khurofat dan kepercayaan mitos, menjadikan mereka semakin tidak bisa diajak berfikir logis, terlebih ilmu-ilmu yang diajarkan tidak lagi bisa menjawab tantangan masa itu, sebabnya juga model pengajaran yang stagnan tidak inovatif dan terbuka.
Orang yang akan merubah tanah lahirnya itu tidaklah lahir dari ruang kosong, artinya mereka pasti seorang yang dikelilingi dengan segudang faktor dan privileg yang melatarbelakanginya. Tak terkecuali dengan Ibnu Asyur, dia adalah Ulama yang lahir di tanah tandus nan gersang namun subur dengan gejolak pembebesan yaitu Tunisia. Ketika Ibnu Asyur lahir, Tunisia sedang tidak baik-baik saja, membengkaknya fitnah-fitnah dan kekacaun, tekanan hutang dengan pihak luar, salah satu menteri yang bernama Musthofa bin ‘iyad membawa kabur uang rakyat, membuat Tunis menjadi negara yang sangat terpuruk.
Di kejauhan sana, Kekhilafahan Utsmaniyah juga mulai terpecah menjadi negara-negara kecil, secara tidak langsung ia ikut andil dalam memperpuruk gelagat perpolitikan dalam tubuh Islam. Melihat kesempatan ini, pihat Barat mulai memanfaatkan keadaan negara Tunis, mereka mulai mengekspansi sedikit demi sedikit dengan modus membantu rakyat Tunis yang sedang krisis.
Di saat yang sama, sebelum Ibnu Asyur lahir ke bumi, Ulama-ulama yang peduli dengan keterpurukan Umat ini menggaungkan reformasi besar-besaran, yang dicicil melalui lembaran-lembaran majalah, di antara majalah itu “al-Urwah al- wustqo” yang diprakasai oleh pembaharu dari mesir Muhammad Abduh dengan bimbingan gurunya Jamaluddin al-Afghani.
Dari sosok al-Afghani lah reformasi pemikiran Islam mulai digalakkan, tepatnya di abad ke-19. Setidaknya bentuk reformasi pemikirannya memfokus dan mengerucut pada dua hal, pertama, di bidang perpolotikan, dia menegaskan untuk selalu menegakkan hukum-hukum Islam yang berasaskan musyawarah dan tiangnya adalah saling tolong-menolong sesama muslim. Kedua, dari sisi idiologi dan sosial, dia menegaskan kembali bahwa agama adalah satu-satunya kunci untuk membangkitkan kembali Islam yang adihulung.
Adanya kemerosotan di setiap generasi hanyalah masalah agama yang tidak dijalankan dengan konsisten. Agama banginya, sama pentingnya untuk manusia yang membutuhkan udara dan air dalam hidupnya. Selain lewat majalah, mereka juga mengadakan tour sekaligus membuat kuliah-kuliah di beberapa negara, di antaranya Tunisia, Turki, Iran, India, dan negara-negara Eropa seperti Perancis, London dan Rusia.
Selain Jamaluddin al-Afghani,di belahan maroko sebelumnya telah muncul juga reformasi yang digiatkan oleh Ismail at-Tamimi, yang dikenal dengan Madrosah al-Islahiyyah al-Maghoribiyyah. Reformasi yang dibawa at-Tamimi ini juga ikut mewarnai gelagat masyarakat Tunis yang saat itu sedang dalam keterpurukanya. Ia berhasil membawa masyarakat Tunis dari kejumudan, kungkungan dalam berfikir menuju tajdid-tajdid yang relevan, sehingga pola berfikir yang baik bangkit kembali. Di samping itu, ia juga mengenalkan budaya dan pengetahuan yang didapatnya dari Barat, sehingga memungkinkan bagi masyarakat Tunis untuk mencontoh Barat dalam hal progesifitasnya. Pesan yang paling penting dari at-Tamimi adalah untuk selalu berpegang dengan agama Islam dan harus bersedia mempelajari ilmu pengetahuan umum, seperti sains, filsafat dan lain sebagainya.
Sementara di bagian tubuh negara Tunis sendiri, muncul juga reformis yang menggaungkan pemikiran-pemikiran briliannya lewat bukunya yang paling monumental Aqwam al-masalik fi Ma’rifat al-akhwal al-Mamalik tahun 1867, ia adalah Khoiruddin Pasha. Di buku ini, ide-idenya tertuang dengan deras, di dalamnya ia menyuarakan kepada masyarakat Tunis untuk bangkit dari keterpurukannya, mengkritik pemerintahan juga, selain itu, ia juga menganjurkan kepada mereka untuk mengadopsi pengetahuan-pengetahuan yang telah membuat Barat maju serta mengevaluasi sebab-sebab kaum muslim tertinggal dari yang lainya. Inilah seklumit keadaan kaum muslim di dunia saat Ibnu Asyur akan lahir, dan kondisi Negara Tunis saat Ibnu Asyur menginjak remaja.
Kelahiran Ibnu Asyur membuat keluarga besar Asyur merasa bahagia. Dilahirkan di kota Mursi, bagian kota kecil dekat laut putih yang konon keeksotisannya membuat para pelancong berdecak kagum melihatnya, terlebih penyair-penyair juga turut melantunkan beberapa syair untuk memuji keindahan kota kelahiran Ibnu Asyur ini. Lahir di 1879 Masehi merupakan era yang merentang ke depan penuh tantangan. Maka tak ayal tumbuh-kembang Ibnu Asyur penuh dengan dorongan-dorongan untuk memecahkan segala tantangan yang ada.
Ibnu Asyur kecil tumbuh dalam dekapan dua kakek yang begitu hebat di masanya, betapa tidak, kakek dari jalur Ibu yakni Muhammad al-Aziz Bouottor adalah seorang lulusan Zaitunah, menimba ilmu dengan Ulama sekaliber di masanya seperti Muhammad Syadzili, Badruddin al-Hasani, al-Hafidz Muhammad Soleh al-Ridowi al-Bukhori. Selain alim di bidang ilmu kesilaman, ia juga ditunjuk sebagai perdana mentri selama 20 tahun. Sedangkan kakek dari jalur Ayah ialah Muhammad Thohir bin Asyur seorang yang alim juga dalam ilmu keislaman, mengarang banyak kitab diantaranya Syarah atas bait Burdah yang begitu mashur, Hasiyah atas Jam’ul al–Jawami’ dan masih banyak lagi.
Selain produktif, ia juga didaulat untuk menjabat banyak kursi di bidang keagamaan, pernah menjabat sebagai Hakim pada tahun 1851 dan sembilan tahun kemudian diangkat menjadi Mufti. Dari sini kita bisa melihat, bahwa Ibnu Asyur kecil hidup dalam lingkungan yang sangat menguntungkan dan sangat membantu pertumbuhannya dalam bidang keilmuan. Sehingga tidak bisa dipungkiri, bahwa kehebatannya di kemudian hari itu tidak lain karena peran keluarganya, terlebih kedua kakeknya yang saling melengkapi ada yang mendukungnya dalam bidang kelimuan, satunya dalam bidang pemerintahan, hingga di kemudian hari, Ibnu Asyur menjadi sintesis dari kedua kakeknya itu.
Sebelum masuk di bangku Zaitunah, Ibnu Asyur telah mempersiapkan diri dengan menyelesaikan hafalan al-Quran terlebih dahulu serta matan-matan ilmu keislaman yang berupa Nadham, barulah di umur ke 14 ia masuk secara resmi atas arahan kedua orang tuanya serta kakeknya Muhammad al-Aziz, tepatnya di tahun 1892. Selama di jenjang inilah, sosok Ibnu Asyur menjadi anak yang terkenal dengan kecerdasannya dan sifat kepemimpinannya.
Salah satu teman dekatnya, satu-satunya orang kebangsaan Tunis yang berhasil menjadi Grand Syakh al-Azhar Khodir Husain pernah berkata tentang Ibnu Asyur “masa remaja al-Ustazd -sapaan Ibnu asyur dari karibnya- sudah terlihat dengan kecerdasan serta briliannya, mempunyai rasa solid yang besar dan berjiwa pemimpin, kecerdasaanya yang selalu unggul di antara murid lainya, ambisi yang tinggi dengan cita-citanya, totalitas dalam berbuat, tidak pernah merasa kesusahan dalam bidang apapun, kekonsistensinya terhadap ajaran Islam, maka tidak heran, antara perilakunya yang beradab dengan kecerdasaanya yang luarbiasa itu berbanding lurus”.
Pada tahun 1892 ia berhasil mendapatkan ijazah Thatwi’ dan tiga tahun kemudian mendapat Ijazah Munadhoroh at–Tadris tingkat kedua, di tahun 1903 lulus di tingkat pertama Munadhoroh at–Tadris. Setahun kemudian ia diangkat menjadi anggota perlemen di kancah jabatan Zaitunah. Sedangkan di 1913 dipilih menjadi anggota Tanqih Baramij at-Ta’lim serta terpilih menjadi Hakim Agung Madzab Maliki. Sembilan belas tahun kemudian mendapat gelar Syakh Islam Madzab Maliki.
Dari beberapa jabatan inilah Ibnu Asyur sedikit demi sedikit menyisipkan pemikirian serta ide reformasinya, terlebih di kursi jabatan Zaitunah, ia berhasil menjadi Syakh al-Jami’ al-A’dhom pada tahun 1944. Setidaknyan ketika dia menjabat ini, ada 3 reformasi yang ia buat di kampus Zitunah, pertama yaitu reformasi ‘Amliyah, ia membuat semacam aturan ketidak hadiran dan menyuruh para guru-guru untuk memperbarui dengan inovasi-inovasi yang brilian, agar murid tidak merasa bosan, serta menambah mata pelajaran umum, diantaranya ia juga mewajibkan pelajaran bahasa asing, terlebih bahasa perancis.
Di reformasi ini, ia juga berhasil membuat dua cabang kampus Zaitunah, yaitu kampus al-Murodi dan al-Husaini. Bahkan di tangan beliau Ziatunah mempunyai kampus khusus banat serta 27 Ma’had, sehingga yang tadinya jumlah murid keselurahn tiga ribu membengkak menjadi dua puluh lima ribu murid. Kemudian beliau mengembangkan jurusan kampus Zaitunah menjadi dua bagian, jurusan ‘Asliyah atau ilmu pokok agama Islam, di dalamnya mempelajari ilmu-ilmu seperti tafsir, fiqh serta ditambah ilmu Modern seperti filsafat, tarikh, dan geografis. Sedangkan jurusan yang kedua Asriyyah mempelajari ilmu-ilmu umum atau modern, tetapi tetap ada pelajaran ilmu keislamanya.
Kemudian di reformasi ‘Ilmiyah ia memulainya dengan merombak banyak kitab yang dipelajari, ia memilih kitab-kitab yang membuat malakah murid menjadi sensitif seperti Syarah Imam Daqiq al-‘Id atas Ahadis al-‘Umdah, Syarah ‘Aqoid an-Nasifah dan A’lamu Muwaqqin. Kemudian menambahkan beberapa Tamrinat di dalam kitabnya agar ingatan murid menjadi kuat. Mengubah metode pembelajaran, serta membangun banyak Ma’had. Ia menganggap bahwa kemajuan bangsa Tunis terletak di Zaitunah, kampus ini merupakan satu-satunya benteng yang mengahalngi para penjajah perancis untuk mengeksploitasi masyarakat Tunis, sehingga dengan mereformasi Zaitunah adalah sebuah keharusan, agar Zaitunah melahirkan bibit-bibit yang berjuang demi agama dan negaranya.
Sementara di reformasi Tarbiyyah ia mengaharuskan para guru untuk mendidik muridnya dengan banyak melakukan praktik, tidak melulu soal teori, karena dengan memperbanyak Tatbiq ilmu yang didapat lebih menancap dengan kuat. Kemudian menegaskan kembali bahwa sebagai guru bisa menyampaikan ilmu dengan sebaik-baiknya penyampaian baik metode maupun bahasanya. Mereka juga harus banyak mengarang kitab, tetapi tidak sekedar menulis, namun harus dengan Uslub–uslub yang baru dan kekinian serta berkualitas. Inilah rombakan yang dilakukan Ibnu Asyur di bidang pendidikan yang menjadikan Zaitunah menjadi maju dan pesat. Selain itu ia juga banyak melakukan kunjungan-kunjungan ke beberapa negara Timur dan Barat untuk mengikuti Mu’tamar. Sehingga ide-idenya tidak berhenti di negaranya belaka, tapi menyebar ke seluruh lintas negara.
Tidak berhenti di situ, ia juga mengarang banyak kitab diantaranya yang paling terkenal di seluruh penjuru dunia adalah tafsir Tahrir Ma’na as-Sadid wa Tanwir ‘Aql al-Jadid yang lebih terkenal dengan tafsir tahrir wa tanwir. Tafsir ini merupakan tulisan-tulisan beliau yang diterbitkan lewat majalah dalam 90 edisi dalam kurun waktu 50 tahun. Ia mengambil banyak dari bebrapa ruukan tafsir sebelumnya seperti tafsir al-Muharror al-Wajiz, al-Kassyaf dan Mafatih al-Ghaibnya Imam Rozi. Selain dari Ulama salaf, ia juga mengkiblat beberapa tafsir kontemporer seperti tafsirnya Muhammad Abduh.
Dari namanya saja kita bisa melihat bahwa, ia menginginkan perubahan dan pembaharuan dalam dunia tafsir, Tahrir al–Ma’na as-Sadid yakni mengodifikasi makna al-Quran agar selalu relevan dengan masanya dan Tanwir al-‘Aql al-Jadid yakni menyinari akal dengan tafsiran-tafsiran yang lebih segar. Dalam tafsirnya ini, Ibnu Asyur membuat Muqoddimah yang begitu panjang, menjadi 10 bagian berupa materi-materi Ulum al-al-Quran, yang mana di Muqoddimah ke empatnya ia menghususkan pembahasan Maqosid al-Quran dan sangat menekankan sekali untuk dipenalajri, karena dengan corak tafsir maqosidi inilah makna al-Quran benar-benar sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh umat muslimin di zaman sekarang.
Setelah melewati banyak tahun untuk mengabdikan dirinya kepada bangsa dan agama, dengan berbagai andil yang diperankan olehnya berupa memajukan sistem pendidikan di negeri Tunisa. Pada tahun 1973 Ibnu Asyur merasa sudah melaksakan amanahnya menjadi insan yang berbakti kepada bangsa dan agamanya, akhirnya menutup usinya dengan tenang, membawa banyak pengaruh di dunia, menjadikan kematiannya duka bagi siapa saja yang mengenalnya sebagai seorang pejuang reformis sekaligus cendekiawan muslim.
https://alif.id/read/arz/ibnu-asyur-mufassir-reformis-yang-dekat-dengan-umat-b246727p/