Sarjana studi agama kerap merasa bangga ketika mampu mempreteli ajaran suatu agama tertentu. Kemudian tulisannya dipublikasi lewat jurnal-jurnal kenamaan dan mempresentasikannya kepada para akademisi. Kita pun terus membaca produk riset para peneliti tersebut. Begitu juga para aktivis keberagaman dan toleransi bersandar pada bacaan-bacaan yang serupa.
Sadarkah kita bahwa para pengkaji studi agama pada umumnya memiliki latar belakang yang sama? Kalau bukan seorang Kristiani kemungkinan besar adalah seorang Muslim. Kajian terhadap agama-agama yang bersifat ilmiah tepatnya untuk pertama kalinya lahir di dunia Barat yang begitu akrab dengan dunia Kekristenan. Bahkan lebih jauh lagi, Kekristenan dan Islam sepertinya begitu tertarik pada kajian perbandingan agama. Kampus-kampus keagamaannya tak pernah ketinggalan untuk menyediakan kelas yang mempelajari agama-agama lain. Kita sama-sama tahu bahwa maksud awalnya untuk mencari-cari celah dan “kekurangan” agama lain, ini tentang agenda penyebaran agama.
Misalnya cara pandang yang memposisikan agama leluhur sebagai animisme-dinamisme, termasuk melabeli secara gegabah pada agama lain sebagai politeis, pagan, penyembah berhala, dan sebagainya. Penganut Kekeristenan dan Islam merasa lebih luhur dan bermoral dengan semena-mena melakukan pemberadaban bagi yang lain.
Kekristenan dan Islam merupakan dua agama besar dunia yang hadir dalam rumpun agama abrahamik. Artinya keduanya merupakan agama yang bersaudara, lahir dari induk histori yang sama. Masalah utamanya ialah ketika paradigma dunia Kekristenan dan dunia Islam dijadikan standar untuk mengidentifikasi agama-agama lain. Bukan hanya soal pemiskinan tradisi agama-agama yang tereduksi oleh nalar Kekristenan dan Islam, konsep agama secara general sekalipun menjadi rentan disusupi oleh perspektif agama-agama abrahamik.
Misalnya anggapan bahwa semua orang dan agama pasti percaya bahkan harus percaya pada Tuhan Yang Esa. Tuhan merupakan wujud personal yang harus disembah secara vertikal oleh manusia. Cara pandang ini khas Kekristenan dan Islam yang seakan-akan berlaku untuk semua agama.
Dalam perspektif historis, pada umumnya monoteisme merupakan pondasi yang menopang tubuh Kekristenan dan Islam. Kekristenan bisa kita bayangkan sebagai kakaknya, sedangkan sang adik ialah Islam. Keduanya hidup bertumbuh di antara cinta dan benci; sesekali dirundung kecemburuan bahkan sampai baku hantam yang mengerikan. Tapi kerap juga diwarnai dengan intrik-intrik sayang yang tersembunyi, adakalanya adik kakak ini saling mengidentifikasi diri dengan cara saling kritik atau bersikap oposisi. Padahal seharusnya mereka mengerti bahwa keduanya bisa menjadi anak kesayangan, tanpa harus mengorbankan salah satunya. Mungkin mereka lupa bahwa masing-masing darinya hanyalah adik dari kakak sulung yang bernama Yahudi.
Kekristenan dan Islam adalah agama misi yang terbuka bagi berbagai orang dengan latar budaya dan etnis. Keduanya memiliki ajaran untuk menyebarkan agama, ada penginjilan dan juga dakwah. Hasilnya sangat luar biasa, orang-orang kristiani dan muslim dapat kita jumpai dari belahan bumi paling Timur sekalipun hingga daerah terujung di sebelah Barat. Begitupun dengan Alkitab dan Alquran sebagai kitab suci dari masing-masing mereka yang bisa dibaca dalam beragam terjemahan bahasa di dunia.
Inisiasi keanggotaan baru dari masing-masing agama diperoleh lewat pembaptisan bagi Kekristenan dan mengikrarkan syahadat bagi Islam. Kemudian orang percaya itu membangun komunitas beriman lewat bergereja dan berjamaah. Gedung gereja dan masjid dibangun di mana-mana. Keduanya punya berbagai gaya arsitektur sebagai hasil akulturasi dengan kultur-kultur lokal. Maka jangan heran, jika Kekristenan dan Islam tergolong sebagai agama-agama besar dunia; secara jumlah Kekristenan menduduki posisi pertama dan Islam menduduki posisi kedua.
Jika kondisi ini dimaknai sebagai kompetisi, maka akan begitu rentan menjadi sumber konflik dan kekerasan. Apalagi sebagai anak yang memiliki kode genetik yang tak berbeda jauh, yang tentunya banyak dijumpai pemahaman-pemahaman keagamaan yang serupa di antara Kekristenan dan Islam. Klaim kebenaran menjadi poin pertarungan di antara keduanya tentang pewaris iman Abraham/ Ibrahim yang autentik.
Sayangnya sebagai kedua agama terbesar di dunia ini, mereka kerap menunjukkan relasi yang tidak harmonis. Konflik Kekristenan dengan dunia Islam begitu panjang mewarnai sejarah umat manusia. Oleh karena itu, kita bisa mengasumsikan bahwa perdamaian dunia yang didasarkan pada perdamaian antaragama mesti dimulai dari perdamaian antara Kekristenan dan Islam.
Ada kabar baik bahwa akhir-akhir ini Kekeristenan dan Islam lebih sering berjumpa untuk mengakhiri keterpisahan panjang di antara mereka. Kini sepertinya mereka sadar betul akan kasih yang selalu Yesus Kristus tekankan dan keadilan yang selalu Nabi Muhammad emban. Dialog antara keduanya terus digalangkan, mereka jadi suka nongkrong bareng sambil berbagi perspektif. Orang kristiani dan orang muslim terus menjalin persahabatan dan persaudaraan, bahu membahu untuk kemanusiaan.
Pengalaman buruk di masa lalu mampu mendorong komunitas Kristiani dan komunitas Muslim untuk tobat dari permusuhan dan kebencian. Keduanya melangkahi prasangka dengan memberanikan diri untuk aktif sebagai provokator bagi komunitas perdamaian. Mereka berjuang melakukan deklarasi toleransi dan kampanye publik, serta mengubah diri menjadi penggagas pertemuan-pertemuan lintas iman sembari merangkul penganut agama dan keyakinan lain. Mereka sadar bahwa arogansi tidak mampu menunjukkan kebenaran diri mereka, justru kerendahhatianlah yang mampu mempersaksikan kemulian ajaran Kekeristenan dan ajaran Islam.
Agama-agama lain mestinya harus belajar banyak dari pengalaman relasi Kekristenan dan Islam, dan tentunya mampu pulih dari perseteruan yang tak main-main itu. Kini mereka telah menjadi terang bagi dunia dan rahmat bagi semesta alam.