Mengenal Sosok Ahmad Zen: Lurah dan Pejuang Hizbullah

Sejarah lokal memberikan kesempatan seseorang untuk mengenal lebih baik lingkungan tempat tinggalnya, dan pada akhirnya akan menumbuhkan rasa bangga terhadap dirinya. (Mudiyah Winarti, 2017)

Sejarah lokal memiliki arti yang begitu penting bagi komunitas masyarakat yang tinggal di wilayah geografis tertentu. Terutama para sosok yang telah berjuang dalam membangun peradaban zaman. Sejarah lokal memiliki keterkaitan dan keterikatan dengan sejarah nasional, meskipun tidak semua sejarah lokal menjadi bagian dari sejarah nasional, karena dalam sejarah lokal juga melekat aspek sosio-kultural yang bersifat otonom. Acap kali hal-hal yang ada di tingkat nasional baru dapat dipahami dengan melihat apa yang terjadi di tingkat lokal, karena hal-hal di tingkat nasional yang lebih luas biasanya hanya memberikan gambaran dari pola-pola serta masalah-masalah umum, sedangkan situasi yang lebih konkrit dan mendetail baru dapat diketahui melalui sejarah lokal.

Menyitir pendapat Muhammad Alif Ichsan (2022), bahwa sejarah nasional teramat sempit untuk menampung tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa historis. Peristiwa-peristiwa penting di masa lalu sangatlah banyak, dan sejarah sebagai penjelasan atau narasi historiografi tak terlalu lega untuk dapat menampung seluruh nama-nama. Pada akhirnya, nama-nama tersebut seringkali teralineasi di antara nama-nama besar serta kehilangan jejaknya oleh masyarakat sendiri. Harus ada upaya yang sungguh-sungguh agar sosok nama-nama kecil (lokal) memiliki ruang di dalam historiografi, agar napas keteladanan mereka terus hidup melalmpaui waktu. Solusi atas keruwetan tersebut yakni pengeksplorasian terhadap sejarah lokal yang digaungkan melalui penulisan dan pengajaran.

Menukil Murdiyah Winarti (2017) dalam esainya: Sejarah Lokal di Indonesia: Harapan dan Tantangan, bahwa: sejarah lokal jauh lebih mudah menularkan nilai-nilai kepada masyarakat, sebab kedekatannya dengan lingkungan di mana masyarakat itu menetap. Penyertaan nama-nama sosok di dalam historiografi lokal sebagai memori masyarakat, sering terpahat dalam sebuah nama jalan. Sungguh pun begitu, ia kerap kali teralienasi dari memori masyarakat dan hilang.  Hal ini terjadi karena narasi sejarah lokal itu disampaikan dalam turun-temurun melalui tutur lisan. Agus Ali Imron Al Akhyar di bukunya bertajuk Membingkai Tradisi Tutur Lisan di Daerah Tulungagung (2021) memberi penjelasan lebih lanjut mengenai pentingnya mengamati kemudian mempelajari sejarah lokal.

Pernyataan Agus Ali Imron Al-Akhyar menuntun saya untuk mengeksplorasi tokoh lokal yang berada di desa saya, yang namanya terpahat pada sebuah ruas jalan di Desa Pasir Kidul, Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas, bernama “Ahmad Zen”. Hubungan apakah yang terjalin antara seseorang dengan sebuah jalan? Dengan segala kesungguhan, saya mencoba memahaminya, dan tahu bahwa jalinan itu menjangkau ruang memori kolektif masyarakat yang dalam terpendam. Menyadari itu, saya memakai istilah ndudhuk, ndhudhah, dan gugah untuk mengail sejarah sosok Achmad Zein. Nduduk adalah langkah awal dalam mendedah informasi kepada siapa dan saja perihal tokoh. Kemudian, ia perlu dikolaborasikan dengan ndhudhah, yakni kajian pustaka. Kedua langkah ini lamat-lamat akan memicu munculnya perasaan gugah atau tergugah, lantas menarasikannya sesuai data-data yang diperoleh, dipilah, dan teranalisis.

Dalam mengail sejarah sosok Ahmad Zen, saya dibantu seseorang yang dianggap tahu sejarah dan seluk-beluk sosok Ahmad Zen. Seseorang itu bernama Pak Maksum, laki-laki 70-an tahun, berpeci dan berbaju koko. Ia merupakan kerabat dekat ayah saya, karena itu saya sudah mengenalnya lama. Maka berceritalah Pak Maksum. Menurutnya, Ahmad Zen lahir pada tanggal 10 Mei 1906 di Desa Pasir Kidul, Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas. Ayahnya merupakan orang Martapura, Banjarmasin, bernama H. Amin, sedangkan ibunya bernama Siti Maryam.

Baca juga:  Menghidupkan Gus Dur dan Cerita dari Depok

Orang tua Ahmad Zen merupakan orang reijius, oleh karenanya, ia banyak berguru dari langgar ke langgar. Sedari kecil hingga dewasa, ia habiskan untuk berguru (mengaji) pada para kiai di kampungnya. Dalam momentum suasana tanah air yang dalam cengkraman penjajah, ia turut memanggul senjata dengan bergabung di  Laskar Hizbullah. Merujuk buku Saifuddin Zuhri  yang berjudul “Guruku Orang-Orang Dari Pesantren” (1974) dijelaskan bahwa, “Laskar Hizbullah didirikan pada tanggal 4 Desember 1944”. Pendirian Hizbullah memiliki tujuan untuk mendidik para pemuda Islam dalam kemiliteran dengan dilandasi semangat Nasionalisme dan Islamisme.

Ahmad Zen hidup di tengah kekalutan perang ekspansi kolonial Belanda. Pencandraan kekalutan perang dapat dirupa sebagaimana dalam esai Abdul Aziz Rasyid “Setelah Perang Tak Ada Lagi” (2020: 124) : “Segala hal menyangkut perang mengakibatkan kerugian humanitas tiada tara. Nyawa-nyawa manusia melayang sejauh jangkauan senjata, langkah gontai para pengungsi mencari suaka menjadi dampak tak terelakkan. Tatapan nanar, terlantar di ujung pendiritaan, air mata, memperlihatkan nestapa manusia kehilangan rasa aman”. Pun hingga mencapai tahap keadaan bangsa Indonesia sudah merdeka, tetapi bangsa Indonesia belum berdaulat. Bangsa Indonesia masih dibaluti cengkraman ekspansi penjajah.

Merujuk Tesaurus Bahasa Indonesia Eko Endarmoko, kemerdekaan bersinonim dengan independensi; kebebasan, kedaulatan, kemandirian dan otonomi (2006: 413). Dalam upaya mencapai negara merdeka-berdaulat, sepanjang April 1946 hingga November 1947, diadakan serangkaian perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Tapi tak berselang lama, Belanda melakukan tipu muslihat melalui agresi militer dan aksi polisional, atau yang disebut agresi militer Belanda 1 (21 Juli-5 Agustus 1947). Berbagai daerah mengalami pengusikan agresi militer Belanda, tak terkecuali daerah Banyumas. Hal itu sebagaimana pengisahan dalam buku Banyumas Membara: Era Tahun 1945-1950 (2003:57) bahwa, pada tanggal 4 Agustus 1947 pasukan Belanda telah menduduki Banyumas dan Purwokerto. Mereka melakukan genosida “pembersihan” pada pribumi yang diindikasi sebagai pejuang tanah air.

Sekitar tahun 1947, Ahmad Zen pernah menjabat RECOMBA (Regerings Commissie Voor Bestuurs Aangelegenheden) jabatan setingkat lurah di Desa Pasir Kidul, Purwokerto Barat, Banyumas, di masa penjajahan Belanda. Pada situasi itu, Ahmad Zen memilih berjuang alih-alih ia menjadi recomba (lurah). Ia tak kuasa menyaksikan kebengisan dan kebiadaban pasukan Belanda. Pilihan hati Ahmad Zen untuk berperang senada dengan “Merdeka atau Mati!”. Bak pepatah lawas, “lebih baik berputih tulang daripada hidup berputih mata”. Keberanian serta vitalitas Achmad Zein serupa puisi Chairil Anwar yang bilang “Aku ini binatang jalang…Biar peluru menembus kulitku..Aku tetap meradang, menerjang….”

Dooor…Dooor…Dooor!

Terdengar letupan senapan disusul suara tubuh ambrol. Tubuh sawo matang itu terkapar di tanah. Badannya masih memakai seragam recomba, sedang tangannya tengah memegang erat bambu runcing. Tembakan dari serdadu Belanda, berkumis melintang, dengan mata menyala bagai anjing neraka, telah menghentikan detak jantungnya. Sungguh pun peristiwa ini hanya berupa sejarah lisan, namun menurut sejarawan Kuntowijoyo sebagaimana dalam artikelnya Sejarah Lisan Sebagai Pewarisan Nilai, Pengalaman, dan Kebijakan (2019), mengatakan begini: sejarah lisan sama nilainya dengan dokumen. Dan yang tak kalah penting juga sejarah lisan dapat mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan. Kuntowijoyo mencontohkan nilai-nilai kemanusiaan adalah seperti janda-janda pahlawan yang gugur, prajurit yang ditawan pemberontak, dan mata- mata pasukan yang ditugaskan mencari informasi tentang kekuatan lawan.

Baca juga:  Ulama Banjar (90): H. Basri BY

Nilai kemanusiaan yang begitu kentara dalam sejarah lisan Ahmad Zen yakni “kerelaan untuk mati”. Ia seolah memandang kematian sebagai suatu peristiwa yang berwarna indah. Kematian semacam ini dapat kita jumpai pada narasi cerpen Budi Darma yang berjudul “Secarik Surat”. Dalam cerpen tersebut mengisahkan: seorang prajurit yang berpangkat paling rendah suatu ketika mengajukan diri untuk melaksanakan tugasnya sebagai kurir dalam pertempuran. Tak lupa Budi Darma menceritakan gambaran peperangan mulai dari ledakan demi ledakan yang menyemburkan api dan melesat-melesat di atas prajurit muda. Tampaknya Budi Darma hendak menunjukan sisi “indah sebuah peperangan”. Prajurit muda itu tewas ketika situasi pasukan saling tembak-menembak dan prajurit saat itu tak berbekal senjata api, hanya berbekal sebilah pisau.

Kisah Ahmad Zen serta prajurit dalam cerpen “Secarik Surat” menahbiskan bahwa sejarah bukan hanya ihwal peristiwa besar dan orang besar. Teori sejarah semacam itu pernah didengungkan oleh Thomas Carlyle berupa “The Great Man”. Teori tersebut kemudian mendapat interupsi dari Karl Max yang menurutnya hanya akan membuat sejarah sangat miskin. Oleh karena itu, penulisan sejarah harus menyangkut peristiwa biasa, orang biasa, dan pengalaman biasa. Bahkan, menurut Kuntowijoyo, sejarah dapat menulis riwayat pedagang yang kena gusur. Ini tidak akan bertabrakan dengan “life story” dari antropologi atau sosiologi, sebab sejarah musti menceritakan “perubahan” yakni sebelum kejadian, pada saat kejadiaan, dan sesudah kejadian. Adapun keteledanan tokoh, menurut sejarawan Kuntowijoyo jika menggunakan teori Thomas Carlyle “ The Great Man”, maka orang biasa tak akan masuk. Oleh karenanya, partisipasi dalam peristiwa bersejarah harus dianggap cukup. Dengan cara itu sejarah dana keteladanan akan bersifat demokratis.

Kisah Ahmad Zen dan prajurit dalam cerpen “Secarik Surat” memiliki sebuah pesan keteladanan “kerelaan untuk mati”.  Seperti dalam pendapat Seneca yang berbunyi, “dying  well means dying willingly” (mati dengan baik berarti mati dengan rela) (Epistle 61). Mula-mula, secara spontan, kita sebagai manusia memiliki ketakutan terhadap kematian. Wajar saja, setiap manusia memiliki insting untuk bertahan hidup, sehingga kematian dianggap sebagai ancaman yang harus dihindari. Akan tetapi, Seneca memiliki anjuran yang lain, yaitu, “a whole lifetime is needed to learn how to live, and—perhaps you’ll find this more surprising— a whole lifetime is ‘needed to learn how to die.” (seumur hidup diperlukan untuk mempelajari hidup, danmungkin kamu akan menganggap hal ini mengejutkanseumur hidup diperlukan untuk mempelajari cara untuk mati)  (On the Shortness of Life 7.3). Bagi Seneca, kematian justru harus dipelajari semasa kita hidup. Di samping itu, cara seperti itu membuat manusia tidak terjebak pada pandangan spontan tentang kematian.

Baca juga:  Pujangga Kesusastraan Islam Jawa (1): Yasadipura I: Pujangga Sepuh Sang Renaisans Sastra Islam

Ritual penghayatan kematian itu tidak hanya membubuhkan makna yang berbeda mengenai kematian, melainkan juga pada kehidupan. Jika dianalogikan, hal tersebut sama seperti saat kita menyantap jeruk. Kita perlu mengupas kulitnya dan baru buahnya bisa kita makan. Hasilnya, kita dapat menikmati kesegaran buah jeruk dengan mencapai intinya (buahnya). Sama seperti kematian, citra buruknya dikupas guna mendapatkan makna sesungguhnya dari kematian. Jika memakai anjuran dari Seneca,  “strive for virtue” (berjuang untuk kebajikan). Seneca menganjurkan hal yang serupa, yaitu mengajak kita untuk melihat makna dibalik citra buruk kematian.

Senada dengan Seneca, Adonis seorang penyair Arab memberi amtsal bahwa kematian adalah sebagai jalan menuju rahasia-rahasia ilahi dan mengarah pada kesatuan dengan al-Haqq. Agar menyatu dengan ­al-Haqq, seseorang harus mematikan ke-aku-annya. Itulah yang dalam tasawuf disebut momen keterpisahan manusia dengan ke-aku-nnya (al-Farq) menuju momen pertemuan dengan al-Haqq (al-Jam’). Ketika momen pertemuan tersebut telah terjadi, tidak ada lagi yang plural, yang ada hanya yang tunggal (al-Haqq).

dengan kematian, kita akan mendekapnya
sebagai petualang, sebagai zahid
kematian membawa kita pada rahasia atas segala rahasianya
menetapkan yang tunggal dari kita yang plural

Seorang lurah semacam Ahmad Zen yang telah saya ceritakan di tengah esai ini, seakan teraleniasi perannya dalam gejolak sejarah kemerdekaan. Padahal seorang lurah semacam Ahmad Zein dan orang-orang kecil turut menjadi penentu dalam perang merebut kemerdakaan Indonesia di lini pedesaan. Dalam keunikannya perannya yang membaktikan diri menjadi lurah (recomba), ia dapat mewujudkan kecintaanya terhadap tanah air dengan turut serta berperang menumpas penjajah. Peran dan keikutsertaan sosok semacam Ahmad Zen dan orang-orang kecil dalam merebut kemerdekaan Indonesia sangatlah berarti. Jika meminjam istilah dari sejarawan Sartono Kartodirjo, mereka adalah “sekrup-sekrup kecil” yakni, seperti: petani, nelayan, pedagang, buruh, sopir, prajurit, pelajar dan seterusnya yang bahu membahu, menyatu membentuk bangun kebangsaan yang besar dan bergerak bersama. Seandainya di antara sekrup itu hilang, maka pasti ada yang rumpang, goyah, dan punya celah untuk runtuh.

Oleh karena itu, semua sekrup mesti terisi sepenuh-penuh hati sebagai jalan pengabdian pada perjuangan kemerdekaan. Tapi kini memori tentang sekrup-sekrup kecil itu teralienasi oleh “sekrup besar” (sosok besar). Hal ini meguatkan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya masih cukup “berjarak” dengan pengalaman historis di sekitarnya. Akar masalah tersebut bersumber dari adanya jarak yang dirasakan antara masyarakat dengan sejarah. Masyarakat kita selalu dicekoki untuk belajar, menghapal, mengingat hingga mengapresiasi “sosok besar” yang sebenarnya jauh dari lingkungannya. Dan pada akhirnya, melupakan “sekrup-sekrup kecil”

https://alif.id/read/csy/mengenal-sosok-ahmad-zen-lurah-dan-pejuang-hibullah-b246889p/