Mengais Solidaritas Arab dari Sisa-Sisa Piala Dunia Qatar

Dengan segala kontroversinya, perhelatan Piala Dunia 2022 di Qatar menjadi kebanggaan tersendiri bagi Dunia Arab. Ajang kompetisi sepak bola paling bergengsi sejagat raya itu telah mencatatkan namanya untuk kali pertama di negara Arab yang kultur keislamannya sangat kuat. Terlepas dari segala kontroversi yang digembor-gemborkan oleh media arus utama Barat, Qatar memang pantas mendapatkan apresiasi atas keberhasilannya menjadi tuan rumah yang ramah, namun tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai keislaman dan nuansa kearaban.

Piala Dunia Qatar telah memberikan berbagai macam kejutan. Kejutan terbesar bagi bangsa Arab tentu pada saat semua perhatian dunia tersorot pada timnas Maroko. Kendati timnas yang dijuluki Singa Atlas ini gagal di semifinal melawan Prancis, serta harus bertekuk lutut di hadapan Kroasia untuk merebut gelar juara ketiga, namun timnas Maroko telah memberikan penampilan memukau, menyihir para penonton dari berbagai negara muslim dengan selebrasi sujudnya hingga membuat jutaan orang bersimpati penuh haru setiap kali Ashraf Hakimi, salah satu pemain bintangnya memeluk sang ibu di setiap kemenangannya.

Seluruh kilas peristiwa heroik dan emosional di atas tak pelak seketika membangkitkan rasa solidaritas bangsa Arab dari berbagai negara. Semangat ‘urubah (solidaritas Arab) yang selama ini sayup-sayup terdengar kini seakan mendapatkan memontum baru melalui lapangan hijau. Rasa saling memiliki dan sikap saling peduli satu sama lain tiba-tiba menguat selama perhelatan Piala Dunia yang mengharu-biru itu.

Kesadaran untuk mempertegas identitas kearaban membuncah dari lapisan masyarakat paling bawah. Kecepatan arus informasi lewat berbagai saluran media, baik media konvensional maupun media sosial membuat fenomena ini melesat tersebar ke mana-mana, menembus sekat-sekat teritorial, membuat perasaan dan harapan rakyat dari berbagai negara Arab terhubung dalam satu ikatan yang sangat kuat.

Baca juga:  Mencoba Memahami COVID-19

Solidaritas Arab atau juga disebut Nasionalisme Arab (al-‘urubah) merupakan paham yang meyakini bahwa bangsa Arab merupakan satu bangsa yang dipersatukan oleh beragam simpul kesamaan, kesamaan sejarah, bahasa, kultur dan budaya. Zaki Naguib Mahmoud menjelaskan dalam bukunya, Humum Al-Mutsaqqafin, bahwa al-‘urubah adalah nilai-nilai, budaya, dan cara pandang yang sudah melekat pada identitas bangsa Arab. Menurutnya, identitas ini tidak seperti baju yang bisa dipakai dan ditanggalkan secara suka-suka, identitas ini akan terus melekat dan tak bisa tercerabut dari kesadaran bangsa Arab.

Kesadaran ini tentu harus tercermin dari sebuah pemahaman yang utuh pada sejarah masa lalu, sebagai pijakan paling dasar untuk memahami dengan baik situasi dan tantangan terkini (Zurayq, 1939). Secara umum, bangsa Arab memiliki pemahaman yang sama dalam melihat sejarah masa lalu mereka. Sebagaimana mereka juga menyadari bahwa akar-akar kebudayaan nenek moyang mereka pernah sangat kokoh menopang kemajuan peradaban pada zamannya. Cita-cita akan kejayaan tersebut hingga kini tetep terawat dalam kesadaran mereka, sebagai sebuah harapan yang tampaknya kian sukar diwujudkan.

Memang tak bisa disangsikan bahwa latar belakang budaya bisa memengaruhi pikiran dan prilaku seseorang (Sen, 2016). Menggumpalnya semangat identitas kearaban yang termanifestasi dalam setiap geliat solidaritas Arab tak bisa dilepaskan dari kesejarahan peradaban yang panjang. Identitas kearaban ini bisa dibilang merupakan satu-satunya warisan terbesar bangsa Arab yang tak akan pernah hilang. Kalaupun mengalami benturan di sana-sini, namun warisan tersebut akan tetap menjadi denyut nadi bagi bangsa Arab.

Baca juga:  Intoleransi: Hak atau Identitas?

Bagi penulis, solidaritas Arab seperti gelombang besar yang kerap kali terjadi dalam beragam peristiwa kebudayaan yang mengguncang dunia Arab. Dari sini lahirlah selogan-selogan megah dan teriakan-teriakan persatuan bangsa Arab. Gema solidaritas Arab biasanya tak punya afiliasi dengan otoritas kekuasaan manapun. Bahkan dalam batas tertentu, gema solidaritas Arab seringkali melampaui otoritas-otoritas kekuasaan yang tak sejalan dengan aspirasi rakyat. Hal ini bisa dibaca dalam banyak isu geopolitik kawasan, isu normalisasi sejumlah negara Arab-Israel, salah satunya.

Dalam konteks Piala Dunia di Qatar, gema solidaritas Arab tampak terbangun kembali setelah sekian lama tertidur. Keberhasilan langkah timnas Maroko mengalahkan tim-tim raksasa dari Eropa menumbuhkan rasa percaya diri bagi bangsa Arab. Dalam momentum seperti ini, rasa inferioritas—terutama dalam dunia sepak bola—yang selama ini mengendap di alam bawah sadar bangsa Arab, perlahan mulai pudar. Tak hanya itu, keberhasilan timnas Arab Saudi mengalahkan tim besar Argentina juga menghembuskan angin segar ke seluruh Dunia Arab, meskipun pada akhirnya, timnas Arab Saudi gagal lolos 16 besar.

Euforia kebanggaan yang tak terbendung pada perhelatan Piala Dunia 2022 kemarin, merupakan puncak gelombang pasang solidaritas Arab. Media-media Arab dengan sangat antusias menayangkan histeria kemenangan dari potret masyarakat Arab di lapisan paling bawah. Mereka menyanyikan yel-yel untuk keberhasilan timnas Maroko dan timnas Arab Saudi yang mampu menampilkan performa terbaik. Dan yang menarik, selama Piala Dunia berlangsung, publik Arab seperti tidak ada yang tengah bersitegang antar satu sama lain. Keterbelahan mereka dalam isu politik, seketika mencair ketika euforia sepak bola menggila.

Baca juga:  Ketika Anak-anak Menyimak Ensiklopedia

Namun sama seperti gema nasionalisme Arab sebelum-sebelumnya, gema euforia yang terjadi selama perhelatan Piala Dunia tahun ini pada hakikatnya sangatlah rapuh. Terbukti setelah Piala Dunia usai, nyaris gema yang menggugah kesadaran itu tak tersisa lagi. Media-media Arab yang selama Piala Dunia punya andil besar mengglorifikasi tayangan-tayangan seputar pencapaian timnas Arab Saudi dan timnas Maroko, kini sorotannya beralih pada peristiwa-peristiwa lain.

Publik Arab sudah kembali pada kesibukannya masing-masing, perhatian mereka mulai terarah pada persoalan masing-masing, terutama persoalan kemiskinan, kelaparan dan isu pencemaran lingkungan. Pada akhirnya, tak ada yang bisa merawat semangat nasionalisme Arab selian bangsa Arab itu sendiri. Kini, gema euforia itu kembali pada titik surutnya. Bangsa Arab harus kembali memungut serpihan-serpihan rasa solidaritas mereka, dari sisa-sisa Piala Dunia 2022 kemarin.  Semoga bangsa Arab baik-baik saja. Wallahua’lam.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/musyfiqur-rahman/mengais-solidaritas-arab-dari-sisa-sisa-piala-dunia-qatar-b246918p/