Gempa Cianjur pada 21 November 2022 yang diikuti gempa di Garut dan meletusnya Gunung Semeru memicu kembali debat tentang bencana dalam perspektif Islam. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah bencana merupakan hukuman dari Allah?
Perdebatan ini ada yang melibatkan masyarakat umum. Misalnya, setengah bulan sesudah gempa Cianjur, para penonton channel YouTube Al-Haidar berdebat mengenai dosa sebagai penyebab bencana setelah channel tersebut menayangkan ulang khutbah Jum’at Ustadz Khalid Basalamah dari tahun 2019.
Perdebatan yang lebih menarik untuk dicermati adalah yang terjadi di antara para ulama dan dai (pendakwah). Sebagai orang-orang berilmu, mereka membangun argumen dengan dalil keagamaan. Mereka memang tidak bersilang pendapat di satu forum. Tetapi, dari ceramah-ceramah mereka, nampak sekali bahwa penjelasan mereka tentang bencana memiliki perbedaan besar.
Tulisan ini akan berfokus pada Buya Yahya, ulama dari Cirebon, Jawa Barat. Beliau termasuk ulama yang menentang anggapan bahwa musibah yang menimpa orang tiada lain akibat dosa yang diperbuatnya.
Buya Yahya adalah pemimpin Pondok Pesantren dan Lembaga Pengembangan Dakwah bernama Al-Bahjah di Cirebon. Setelah mendalami ilmu agama di Hadramaut, Yaman, Buya Yahya berdakwah secara konsisten dan sejak 2015, channel YouTube Al-Bahjah TV menyiarkan pengajian-pengajiannya secara online, membuatnya dikenal masyarakat Indonesia secara lebih luas.
Para penceramah yang lebih muda, seperti Ustadz Abdul Somad dan Habib Novel, dua-duanya juga tak kalah populer, terkadang mengunjungi pengajian Buya Yahya jika mereka sedang pergi ke wilayah Cirebon. Hal itu menunjukkan pengakuan mereka terhadap ketokohan Buya Yahya.
Gempa Cianjur mendapat perhatian khusus dari Buya Yahya. Pesantren Al-Bahjah di Cianjur terkena dampak gempa. Beliau mendatangi pesantren tersebut dalam hitungan hari setelah gempa terjadi untuk mengecek keadaan, menyapa masyarakat yang berlindung di dalam pesantren dan juga di tenda-tenda pengungsian di sekitarnya.
Buya Yahya berusaha membesarkan hati mereka dan menunjukkan penghargaan kepara para relawan dan petugas keamanan yang dia temui semasa kunjungannya ke Cianjur. Semua itu terekam dalam video yang disiarkan oleh channel YouTube Al-Bahjah TV.
Pandangan Buya Yahya tentang bencana telah disampaikan sejak lama. Sejauh yang saya ketahui, pandangannya konsisten, dari ceramah ke ceramah yang menyinggung atau menjawab pertanyaan tentang bagaimana orang Islam seharusnya memahami musibah.
Pada intinya, Buya Yahya beranggapan bahwa siapa pun bisa menjadi korban bencana dan mengalami musibah, terlepas dari tingkat kesalehan (atau kemaksiatan) mereka. Pandangan ini, menurut saya, berhadap-hadapan dengan penjelasan sebagian ulama dan pendakwah Indonesia lainnya yang terlalu berfokus pada dosa yang diperbuat penduduk suatu negeri sebagai penyebab utama banjir, tsunami, gempa bumi, tanah longsor dan erupsi gunung berapi.
Di suatu ceramah yang dikutip oleh channel YouTube Tutur Cerita, Buya Yahya menjelaskan teori keagamaan tentang musibah. Jika Allah menguji orang-orang beriman dengan musibah, maka penjelasannya, menurut beliau, adalah salah satu dari tiga kemungkinan. “Bisa jadi Allah ingin menghapus dosa-dosa mereka, atau Allah ingin menempatkan mereka pada derajat yang lebih tinggi, atau Allah ingin memberi mereka pahala kesabaran yang besar di akhirat.” Jelas sekali di sini bahwa dosa bukan satu-satunya penyebab seseorang menerima musibah. Yang juga sama pentingnya, bencana tidak serta-merta dianggap sebagai azab dari Allah, melainkan sesuatu yang memiliki hikmah bagi orang yang menerimanya.
Menurut Buya Yahya, persoalan orang mengomentari bencana seringkali adalah kesombongan, yang merupakan penyakit jiwa yang berbahaya. “Betapa sombongnya orang yang mengatakan bahwa ‘Jogja itu banyak orang maksiat, makanya gempa, atau Aceh itu penuh keburukan, makanya tsunami, Cianjur dan Lumajang pun tidak ada bedanya’. Memangnya orang ini tidak berdosa?!”
Sebagai nasehat, Buya Yahya berpesan bahwa “jika musibah atau musibah menimpa orang lain, bukan diri kita sendiri, kita tidak boleh mengatakan kepada mereka bahwa itu karena mereka telah melakukan dosa”. Namun jika kita yang mengalami musibah, “kita harus dengan rendah hati mengakui bahwa kita berdosa, bahwa apa yang kita lihat, katakan dan lakukan seringkali bertentangan dengan ajaran agama”. Komentar-komentar beliau ini tersaji dalam channel YouTube Al-Bahjah, pada 6 Desember 2022.
Untuk korban bencana yang selamat, Buya Yahya juga menjelaskan malapetaka sebagai naiknya derajat di sisi Allah. Buya Yahya terus menyampaikan pesan ini kepada para pengungsi Cianjur. Sambil tersenyum, dia berkomentar: “tolong, beritikad baik kepada Allah. Jika kamu menghadapi ujian dari Allah ini dengan kesabaran, semuanya akan indah pada akhirnya. Dia akan membuka pintu untuk kehidupan yang lebih baik dan menggantikan semua yang hilang. Kita pernah sekolah, kan?! Apa yang terjadi setelah ujian? Kita naik kelas!” Demikian ucapan beliau sebagaimana terekam dalam channel Al-Bahjah TV pada 25 November 2022.
Sangat mudah untuk melihat bahwa Buya Yahya mencoba untuk meringankan rasa sakit sesama Muslim yang sedang ditimpa musibah. Dalam menjelaskan bencana, beliau tidak mengisi ceramahnya tudingan mengenai dosa. Sebaliknya, beliau menyebarkan harapan akan adanya hikmah di balik bencana. Kehilangan dan kemalangan dalam hidup, katanya, bukan sekadar pengalaman buruk yang hanya menyebabkan kesengsaraan. Semuanya merupakan ujian dari Allah.
Ketika masyarakat menghadapinya dengan benar, bencana dan musibah akan menghasilkan transformasi dan keselamatan spiritual. Dengan pesan macam itu, Buya Yahya mengajarkan agar orang rendah hati di hadapan Tuhan dan berempati pada penderitaan orang lain. Ini tampak sesuai dengan tagline Al-Bahjah TV, yakni damai dan menyejukkan.
https://alif.id/read/amr/kata-buya-yahya-tentang-bencana-b246947p/