Cak Nun juga Bisa “Kesambet”

Bagi pecinta Cak Nun, mungkin sudah mahfum dan tahu kalau beliau memang kurang suka dengan Pak Jokowi. Ini bisa dicari dan dilihat di berbagai video beliau, baik di acara Maiyah atau di acara obrolan ringan lainnya. Dan bagi saya, ini biasa saja, karena setiap orang punya hak untuk mengkritisi penguasa.

Apalagi Cak Nun, yang wawasan keindonesiaannya melebihi batas-batas yang biasa orang awam pikirkan, termasuk saya. Dalam ranah ini saya biasanya tidak terlalu menghiraukan, karena masih ada banyak petuah Cak Nun tentang kehidupan yang sangat sayang untuk dilewatkan.

Akan tetapi, video beliau yang viral karena menganalogikan penguasa dengan Fir’aun membuat masyarakat awam bingung dan mungkin sebagian terbelah. “Kok sampe begitu, ya?” Apakah ini bahasa sastra dan budaya yang dibenarkan? Atau ini tetap tidak dibenarkan karena sastra dan budaya tak boleh menghilangkan unsur akhlak dan etika di dalamnya? Terlebih, sebagai budayawan kondang, Cak Nun—dalam Maiyahnya—hampir tidak pernah lepas dari pembahasan tentang hakikat kehidupan dan unsur ruhaniyah kepada seluruh jamaahnya di “negeri” bernama Maiyah.

Saya sendiri pada awalnya tidak tertarik untuk mengikuti perdebatan video Cak Nun itu. Saya stuck, alias tidak bisa berkomentar. Tetapi, setelah Cak Nun mengaku telah “khilaf” dan “kesambet”, maka saya tertarik untuk menganalisa beragam komentar yang sempat ramai di media sosial.

Baca juga:  HTI versus NU: Lalu Lainnya Melakukan Apa?

Memang ada yang dengan jujur dan objekif menyayangkan dan mengkritik beliau atas video tentang Fir’aun itu, tetapi ada juga pecinta Cak Nun yang kukuh membela. Ada yang mengkritik karena dari awal tidak suka dengan Cak Nun, tapi ada juga yang seolah membela dan membenarkan ucapan Cak Nun padahal aslinya memang sudah benci pada penguasa. Ini menurut saya yang perlu dibedakan dan dilihat secara cermat.

Saya termasuk orang yang beberapa kali mengikuti Maiyah Cak Nun sewaktu di Jakarta. Dan energi Maiyah itu memang sangat positif sekali. Jemaah Maiyah adalah sekumpulan orang yang rindu akan kehidupan dan keislaman yang penuh makna dan mencoba mendapatkan itu dalam setiap petuah Cak Nun. Tak mungkin kalau tak mencintai dan mengagumi beliau sampai rela datang dari jauh-jauh, atau bahkan berjam-jam khusuk mendengarkan, bahkan uniknya, terkadang saat Maiyah berlangsung dan diguyur hujan, para jamaah Maiyah tak sedikit pun surut. Sesekali malah Cak Nun ikut hujan-hujanan.

Cak Nun manusia biasa, yang terkadang ada khilafnya. Kita sebagai pengagum dan pecinta beliau tentu diharapkan bisa mengingatkannya. Cak Nun sendiri pernah berkata, “Kalau menurutmu aku ini orang sesat, mengapa kau tak peluk dan sayangi aku, kemudian kau tunjukkan kebenaran itu?”

Baca juga:  Potensi Pariwisata Islam di Indonesia: Tantangan dan Kritik

Dan orang yang benar-benar bisa mengingatkan beliau adalah keluarga. Di video Cak Nun terbaru yang berjudul “Mbah Nun Kesambet”, beliau mengaku disidang lalu di-goblok-goblokke, disalah-salahkan, disesat-sesatkan keluarganya sendiri karena beliau berbicara pada sesuatu yang tidak semestinya, dan itu tidak bijaksana.

Di sini, saya bersyukur, karena akhirnya ada pernyataan beliau yang diucapkan secara jujur dan minimal bisa menenangkan banyak pihak. Biarkan percikan kekhilafan yang beliau akui ini sebagai wujud nyata bahwa Cak Nun juga manusia biasa. Cak Nun sendiri sering menyinggung hal ini di berbagai tulisannya.

Setinggi-tingginya kita mengagumi seseorang, jangan sampai kita membenarkan sesuatu yang tidak benar. Karena eman-eman sekali, bila ucapan yang tidak layak ini keluar dari melewati bibir Cak Nun yang sudah seringkali dipenuhi kalimat-kalimat hikmah dan kalimat toyyibah.

Ala kulli hal, makmur terus rakyat di negeri Maiyah, sehat selalu Cak Nun, jadilah selalu penerang pada jiwa-jiwa yang membutuhkan cahaya kehidupan.

https://alif.id/read/zaimul-asroor/cak-nun-juga-bisa-kesambet-b246959p/