“Tuan-tuan pasti sudah mendengar kerajaan kita sudah menjadi pusat perdagangan rempah. Dulu, pusatnya di Bagdad, di Damaskus, di Aleksandria, dan di Genoa. Pelan-pelan sudah pindah ke negeri kita” (Cerita Gubernur “Embong”, Martinus de Bruijn dalam novel “Aimuna dan Sobori” karya Hanna Rambe).
Bagi para peneliti sejarah Nusantara, mungkin novel karya Hanna Rambe ini bisa menjadi referensi. Apalagi, mereka yang ingin membicarakan tentang Maluku, novel ini bahkan bisa menjadi referensi “utama” disamping bejibun referensi lainnya tentang Maluku. Bagaimana penjajah (baca: VOC Belanda) mulai menanam kekuasaannya di bumi Nusantara lewat Maluku (?), dalam novel ini, Hanna Rambe menceritakannya dengan sangat jujur hingga menggiring pikiran kita seolah-olah berada di abad 17/18 silam.
Dalam novel ini, kita akan mendapati beberapa lokasi yang diberi nama samaran seperti Embong, Bandang, Tanah Besar, dan lain sebagainya. Beta (saya), setelah membaca novel ini, membayangkan kalau Embong itu adalah daerah Ambon, Bandang (Banda), Tanah Besar (pulau Seram). Mungkin, itulah daerah-daerah yang diberi nama samaran oleh Hanna Rambe, mungkin beta juga keliru menafsirkannya. Terlepas dari sejumlah nama daerah yang diberi samaran dalam novel ini, intinya adalah bahwa kita bisa mengetahui tentang beberapa daerah di Maluku yang dulunya dipakai sebagai lokasi pertahanan gubernur atau residen milik VOC, tempat penampungan cengkih (di dalam benteng loji), dan bahkan lokasi pemusnahan cengkih melalui kegiatan ekstirpasi yang dilakukan hongi.
Membaca novel ini, beta membayangkan bagaimana ratusan pohon cengkih dibakar oleh armada hongi yang dilakukan VOC di Maluku. Muridan dalam risetnya tentang “Pemberontakan Nuku” menjelaskan bahwa hongi merupakan sebuah armada yang teroganisir oleh sejumlah kora-kora (kapal perang yang dilengkapi cadik), pada abad 17 armada itu sering dipakai VOC untuk melakukan proses pemusnahan cengkih dan membantai orang-orang Maluku masa itu. Dalam kegiatan hongi ini tampak bawah VOC benar-benar melakukan politik adu domba antar masyarakat Nusantara. Hal ini karena di dalam armada hongi adalah mereka orang-orang Nusantara sendiri, dibayar oleh VOC untuk membumihanguskan pohon cengkih untuk menjaga menjaga stabilitas monopoli atas cengkih.
Sebelum menulis novel ini, Hanna Rambe sudah melakukan riset mendalam pada beberapa pulau di Maluku. Sehingga tampak dalam novel ini, bahwa pada abad 17/18 harga cengkih dunia sedang merosot disebabkan oleh pasokan barang (putik cengkih) terlampau banyak masuk ke daratan Eropa. Logika ekonominya, jika persediaan barang di pasar melebihi permintaan maka harganya merosot. Olehnya itu, kegiatan ekstirpasi harus dilakukan guna menjaga persediaan barang tidak boleh melebihi permintaan pasar agar harga putik cengkih tetap melambung tinggi. Disinilah VOC sedang melakukan proses monopoli harga sekaligus barang. Dampaknya adalah di Maluku, banyak pohon-pohon cengkih yang ditanam rahasia oleh masyarakat setempat pada masa itu dibakar habis, kemudian masyarakatnya dibunuh tanpa ampun.
Putik cengkih pada masa itu di Eropa dan Asia memang primadona. Hal ini tergambar dalam pernyataan Gubernur Embong (Martinus de Bruijn) dalam novel ini sebagaimana sudah beta taruh diawal tulisan ini. Bahwa, putik cengkih ibarat harta karun paling berharga pada masa itu, kualitas nilainya bahkan setara dengan emas (dan mungkin juga berlian). Banyak bangsa yang berusaha menyembunyikan tempat tumbuhnya pohon cengkih ini, seperti orang Bagdad, Damaskus, Aleksandria, dan Cina kerap mengelabui orang Eropa (seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris) dengan cerita-cerita legenda agar orang Eropa tak bisa sampai ke tempat pohon cengkih itu tumbuh.
Ada dua hal yang menurut beta menarik untuk dipertanyakan ialah orang Bagdad, Damaskus, Aleksandria dan Cina pada masa itu kan mereka sudah tahu tempat lokasi pohon cengkih berada di Nusantara, tapi mengapa mereka tidak berhasrat untuk memonopolinya seperti orang Eropa (VOC Belanda) yang baru datang belakangan? Serta mengapa bangsa-bangsa itu lebih dulu tahu keberadaan pohon cengkih di Nusantara dibanding orang Eropa?
Untuk pertanyaan pertama beta simpan untuk menjadi tugas para peneliti sejarah yang ingin menjawabnya di kemudian hari (atau mungkin sudah terjawabkan). Sedangkan untuk jawaban atas pertanyaan kedua, beta meminjam ulasan Oppenheimer yang menulis buku “Eden in the East”, dalam ulasannya beta membayangkan sungguh luar biasa orang Nusantara pada masa setelah zaman es mencair jutaan tahun lalu, mereka mulai melakukan pelayaran ke arah barat mengarungi Samudera Hindia singgah di anak benua India bahkan sampai ke Madagaskar.
Dari pelayaran melintasi Samudera itulah, orang-orang Nusantara membawa serta putik cengkih sehingga menjadi primadona di anak benua Asia dan sampai di Afrika yang kemudian aroma-aroma buahnya itu menyebar ke daratan Eropa. Disinilah orang Nusantara sebetulnya telah melebarkan sayap-sayap peradaban “maritim” ke belahan dunia lainnya. Selang beberapa masa setelahnya terjadi yang diistilahkan Pramoedya Ananta Toer sebagai “arus balik” peradaban masuk ke Nusantara, yakni mulai masuk peradaban Mesir, India, Persia dan China. Disinilah jawabannya, mengapa bangsa China dan lainnya mulai mengenal lebih dulu lokasi tumbuhnya pohon cengkih. Temuan ini sangat bernilai tinggi, karena putik cengkih disamping sebagai pengawet makanan (cocok untuk jenis makanan di daerah dingin Eropa), juga sebagai tumbuhan pengawet manusia mumi di Mesir.
Karena khasiatnya putik cengkih, maka orang Eropa berlomba-lomba mengarungi Samudera untuk mencari tahu tempat tumbuhnya pohon cengkih (karena sebelumnya tidak diberitahu orang Cina dll). Perlombaan untuk mengetahui dimanakah pohon cengkih itu berada sangat tergambar jelas dalam buku “Pulau Run” yang ditulis oleh Giles Milton. Dalam buku ini, Milton mengulas panjang lebar tentang beberapa kali armada Eropa (Inggris) melakukan ekspedisi untuk mencari Nusantara (Banda; Maluku). Selama ekspedisi itu telah memakan banyak korban. Ada yang meninggal karena dihantam ombak, ada juga yang mati karena terjangkit wabah. Nusantara pada masa itu memang adalah berlian yang diincar-incar banyak bangsa. Bahkan, Colombus nyasar sampai di benua Amerika, dia mengira itu Nusantara padahal bukan.
Apa yang bisa kita petik dari perjalanan sejarah mengetahui jalur ke Nusantara pada masa itu? Satu hal yang bisa kita ambil hikmahnya ialah bahwa Nusantara dari dulu hingga sekarang adalah masih menjadi berlian, dan hanya satu-satunya daerah di dunia yang punya daya magnet tingkat tinggi. Daerah Nusantara yang kaya (pada masa itu karena cengkih) hingga sekarang (setiap daerah mengandung nikel, emas, dan lainnya) ini selalu menjadi primadona para konglomerat dunia. Tentang Nusantara sebagai berlian, Hanna Rambe menjelaskan, “Entah apa yang dikehendaki Pencipta Alam Semesta, di bola bumi ini, cengkih hanya terdapat di lima pulau kecil tak ada di peta, di wilayah Nusantara sebelah timur. Mengapa pula pulau-pulau kecil itu yang menerima keistimewaan tersebut dari Pencipta Alam Semesta?” (tak ada yang dapat menjawab).
Nusantara sebagai berlian bukan berarti harus dikeruk terus-menerus. Sudah ada banyak fakta, mulai dari berbagai pendapat hingga sejumlah riset, selalu mendendangkan nada-nada pesimistis bahwa kekayaan alam Nusantara kerap berubah petaka bagi anak bangsa sendiri. Meskipun proses “monopoli purba” sudah berakhir setelah dipertontonkan para penjajah masa lampau, namun sekarang ini bibit-bibit “monopoli modern” mulai tampak menjamah beberapa daerah di Nusantara sekarang ini, dengan metode yang sama seperti dulu yakni “politik adu domba”. Sejumlah riset tentang hal ini dapat kita baca dalam bukunya Tania Murray Li dan Pujo Semedi tentang “Hidup Bersama Raksasa”. Bumi Nusantara sudah banyak belajar dari proses monopoli dan politik adu domba masa lampau, olehnya itu untuk menatap sejarah ke depan yang masih bersifat ‘border line‘ maka harus di isi dengan spirit positif dari masa lalu seperti emansipasi (dll) serta berusaha menanggalkan sisi negatif dari masa lalu seperti “politik adu domba” (dll).
https://alif.id/read/m-kashai-ramdhani-pelupessy/nusantara-itu-berlian-b247012p/