Karlina Supelli dan Pendidikan Hasrat

Salah satu astronom perempuan pertama Indonesia, Karlina Supelli di banyak gagasannya kerap kali memberi kejutan pada publik. Ia lahir pada 15 Januari 1958 silam, yang artinya pada tahun ini masuk usia ke-65 tahun. Di sebaran tulisan hingga ceramah ilmiah, ia lihai dalam menentukan pilihan kata untuk memberikan pesan dan makna tersirat akan permenungan ilmu dan pengetahuan.

Kebahasaan yang ia racik dengan beragam bumbu melalui kombinasi bidang ilmu menjadikan sajian yang khas dan penuh selera. Apalagi dengan latar belakang bidang sains, pelibatan bahasa Indonesia terlihat menjadi arus utamanya. Agaknya ia ingin menegaskan bahwa bahasa Indonesia penuh dengan lema bernapaskan ilmu dan pengetahuan. Sebagai prinsip, itu semua juga menjadi petuahnya di dalam beberapa kesempatan.

Mula-mula Karlina dikenal sebagai seorang astronom. Namun, seiring dengan kematangan intelektualnya, ia juga tersebut sebagai kosmolog, feminis, filsuf, dan ahli pedagogik. Tentu, kita tak perlu kaget, sebagaimana ia yang kerap kali sampaikan bahwa perubahan dan perkembangan dunia memerlukan paradigma berupa transdisiplin ilmu pengetahuan. Keterhubungan antara satu keilmuan dengan lainnya dalam memahami, menafsirkan, dan menyikapi gejala demi gejala.

Ada satu hal yang menjadi ingatan saya terhadap Karlina dan kerap menjadi pikiran panjang nan melelahkan. Itu berupa uraiannya mengenai penting dan perlunya mendidik dan melatih hasrat. Penjelasan itu misalkan dapat kita temukan lewat ceramah ilmiahnya di Diversity Award 2016 yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Saat itu, mulanya ia diberikan topik “Masyarakat Ilmiah vs Masyarakat Takhayul”. Ia dengan rendah hati mengungkap topik itu baginya syarat polemik.

Baca juga:  Kiai Sahal Mahfudh (2): Fiqih Kebangsaan Kiai Sahal

Akhirnya, ia menuntun para hadirin untuk menyimak topik yang ia tawarkan berupa “Berpikir, Bersikap, dan Bertindak Masuk Akal”. Karlina menyajikan refleksi mendalam perkembangan ilmu dan pengetahuan dalam lanskap perkembangan dunia digital. Ia menyertakan bagaimana realitas yang terjadi di dalam kebudayaan bangsa kita. Bahwa, fakta terjadi yang tak bisa ditampik adalah tantangan yang masih perlu dihadapi, seperti tindakan tiak masuk akal, klaim subjektivitas, pengetahuan semu, hingga takhayul dalam proses menjadi warga negara.

Ada hal yang menarik diungkapkan oleh Karlina pada waktu itu. Ia mengetengahkan akan pentingnya diri mendidik dan melatih hasrat. Salah satu ungkapan yang ia sampaikan berupa: “Jalannya adalah melatih untuk memilah, memilih, memeriksa batin, memeriksa pikiran, memeriksa hasrat. Hasrat saya ini apa ya yang paling mempengaruhi? Motivasi saya ini apa? Dan implikasinya pada perlilaku kita apa? Ini tugas pendidikan. Tugas pendidikan. Yang lolos sekarang ini tidak ada. Seperti itu.”

Rupa-rupanya, keterkaitan pendidikan akan hasrat itu dapat ditafsirkan dalam suasana warga negara dalam meniti kehidupannya. Kenyataan itu dapat kita pahami bagaimana realitas yang terjadi terkadang yang nampak baik dan salih, bisa saja sebaliknya. Contoh-contoh yang bisa diajukan, misalkan: bagaimana budaya korupsi menjadi watak orang-orang yang notabene berangkat dari tingkatan pendidikan tinggi hingga bagaimana watak beragama yang alih-alih memperjuangkan kebaikan dengan cara kekerasan.

Baca juga:  Ulama Banjar (201): KH. Muhammad Fadli Muis

Pernyataan itu mengingatkan gagasan dari Ki Hadjar Dewantara. Di Majalah Pusara edisi Mei 1943, ia menulis: “Adab atau keluhuran budi manusia itu menundjukkan sifat hidup batinnja manusia (misalkan keinsjafan tentang kesutjian, kemerdekaan, keadilan, ketuhanan, tjinta kasih, kesetiaan, keseniaan, ketertiban, kedamaian, kesosialan dsb).” Gagasan tersebut tak terlepas akan bagaimana intelektualitas juga berhubungan dengan kemampuan rasa dalam latihan demi latihan yang diberikan tubuh.

Sementara itu, Yudi Latif (2020) memberikan tafsiran relasi antara pendidikan dan kepribadian dengan penjelasan berupa: “Karakter bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan juga eksistensi dan kemajuan sekelompok orang, seperti sebuah bangsa.” Oleh sebab itu, wajarlah Karlina pernah menegaskan akan pentingnya implikasi etis keilmuan yang perlu menjadi landasan mendasar dalam kerangka pengembangan pendidikan.

Karlina memberikan keterangan bahwa pendidikan itu melatih kesanggupan warga negara akan setia terhadap objektivitas. Kesetiaan itu tiada lain sebagai landasan mendasar bahwa di hadapan bersama terdapat Indonesia yang penuh keberagaman. Ini tidaklah mudah seiring perubahan dan perkembangan zaman. Kenyataan itu tak terlepas akan bagaimana topangan teknologi digital yang membuat banyak orang terpecah maupun terpolarisasi. Keterbukaan yang semakin luas belumlah dapat menjadikan seseorang dapat mengedepankan sikap dan tindakan ilmiah.

Apa yang kemudian perlu dilakukan? Karlina menekankan bahwa di dalam transformasi masyarakat bukan sebatas pada perhatian terhadap keberadaan kebijakan dalam sistem teknokratis. Namun, melainkan dari itu dibutuhkan peranan daripara ahli pendidikan (pedagogik). Mereka itulah yang memiliki kapasitas dalam membangun kesadaran terhadap penumbuhan kesadaran dan kebudayaan mengenai ilmu dan pengetahuan.

Baca juga:  Religiusitas Kang Jalal

Di tengah sengkarut lonjakan tantangan dalam lanskap dunia digital, kita perlu memikirkan ulang gagasan itu. Ada hasrat yang perlu dididik selain kemampuan dan kapasitas secara intelektual bagi seorang warga negara. Ada kepentingan pendidikan dalam prubahan demi perubahan yang terjadi di dalam kebudayaan. Ada konsekuensi logis bagaimana pengaruh subjektivitas tak mendominasi, namun melainkan itu kesadaran terhadap realitas objektif. Jalan itu memang sepi dan sunyi, namun itu adalah bagian dari kesetiaan terhadap kebenaran.[]

https://alif.id/read/joko-priyono/karlina-supelli-dan-pendidikan-hasrat-b247028p/