Misteri Skenario Dunia: Serba-serbi dalam Perjalanan Balik ke Cirebon

0 0

Read Time:7 Minute, 52 Second

Oleh Masyhari

Kehidupan di dunia ini sungguh misterius. Peristiwa tak terduga kerap terjadi dan saya sendiri mengalaminya. Seperti sebuah kebetulan, tanpa direkayasa, direncanakan dan tak terprediksi sebelumnya.

Sebaliknya, saya juga sering mengalami, apa yang saya cita-citakan, selanjutnya direncanakan dan upayakan -bahkan secara matang- malah tidak terwujud.

Sudah cukup lama saya percaya, bahwa segala yang terjadi di dunia ini tidak sebatas atas upaya dan rencana manusia.

Memang sih, ini mirip seperti keyakinan kaum Jabariyah, bahwa segala sesuatu sudah ada jatahnya.

Urip iku ora usah ngoyo-ngoyo oleh golek dunyo! Kabeh wis ono jatahe” (Hidup itu jangan terlalu berlebihan dalam berusaha cari dunia! Semua sudah ada bagiannya,” begitu katanya.

Model begini dalam khazanah ilmu tasawuf sering dikenal dengan maqam tajrid . Ya, keyakinan semacam ini cenderung akhirnya membuat seseorang pasrah dan hidup selow, santai, mengalir layaknya air.

Ini seirama dengan apa yang dikatakan oleh Syekh Ibnu Athaillah Assakandari dalam Hikamnya bahwa manusia tidak boleh terlalu mengandalkan usahanya.

من علامات الاعتماد على العمل نقصان الرجاء عند

وجود الزلل

Di antara tanda seseorang mengandalkan hasil upaya yang dilakukanya yaitu menipisnya harapan saat ia terjatuh.

Makanya, semasih di pesantren dulu saat sandal atau barang lainnya hilang, lantas emak menasehati, “Sandalnya ilang lagi?! Kalau punya sandal tuh disimpan yang rapi!”, aku hanya diam, sementara dalam hatiku berkata, “Ya, memang sudah saatnya hilang. Sudah berusaha disimpan kok!”

Dan, saya kira ini bagian dari keimanan terhadap takdir (rukun iman yang keenam) bahwa segala sesuatu itu sudah ada jatahnya.

Kita boleh berencana, berusaha, tapi keputusan akhirnya dipasrahkan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Sebab, manusia itu makhluk yang lemah. Kuasanya ada batasnya. Ia tidak mengetahui hal gaib dan masa depan.

Ya, mungkin kali ini ya tak separah Jabariyah sih. Tetap semodel dengan Ahlussunnah. Usaha tetap. Tapi pasrahkan setelah itu, ditambahi dengan doa.

**

Saya jadi teringat seorang kawan yang jatuh terpuruk, hingga kini belum juga hidup sehat, layaknya manusia normal lainnya. Padahal, kawan saya yang satu ini bisa dibilang pintar dan cerdas secara akademik.

Sebut saja A. Kawan satu ini, sejak masih di MTs hingga MA selalu dapat prestasi rangking 1 di kelasnya. Bahkan, nilai rata-rata di rapornya jauh melampaui kawan-kawan seangkatannya.

Singkat cerita, kawan ini pada saat kelas 2 MA dapat beasiswa ke Mesir. Berdasarkan hasil tes di Kementerian Agama RI ia masuk peringkat kedua dari 3 orang yang diterima saat itu.

Nahasnya, saat tiba di Mesir, ternyata ia kembali dites oleh otoritas di sana. Hasilnya, ternyata ia diterima di level setingkat kelas 3 MTs. Sementara kawannya yang di peringkat ke-3 malah diterima di level MA di Mesir.

Menurut info yang saya terima, ia tidak bisa menerima hasil keputusan itu. Mungkin, dalam ekspektasinya, ia bakal diterima di tingkat SMA, setidaknya kelas 1.

Alhasil, ia akhirnya jatuh terpuruk, depresi. Cukup lama ia dirawat di Mesir. Hingga akhirnya dipulangkan.

Mungkin, bisa jadi ada faktor lain selain faktor tersebut itu. Ya, semacam akumulasi dari problematika dan tekanan psikologis yang dihadapinya.

Memang, dari dulu ia termasuk orang yang sangat percaya akan kemampuan dirinya. Saat kawan-kawannya hanya punya tafsir Jalalain, ia sudah punya kitab Syarah yang ditulis oleh Syekh Shawi beberapa jilid tebal itu. Ia suka mengoleksi kitab kuning yang dibelinya di toko kitab di Dukun, sebuah kecamatan di Gresik. Pernah saya diajaknya belanja kitab di sana.

Sebelumnya, saat lulus MTs, ia punya mimpi dan rencana melanjutkan studi SMA di luar kota, tepatnya di Kediri. Untuk itu, ia jauh-jauh hari sudah mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan, termasuk surat mutasi dari Kemenag ke Dinas Pendidikan. Untuk keperluan itu, saya pernah diajaknya ke Disdik Lamongan.

Ternyata, saat sowan ke kiai pengasuh pesantren, ia tidak diberi lampu hijau untuk melanjutkan ke luar kota. “Lanjut Aliyah di sini saja!” begitu kira-kira respon pengasuh kala itu.

Ia menuruti nasehat itu, dengan berat hati dan menyimpan rasa tidak terima menjalani keputusannya. Setidaknya, itu yang diceritakannya kepada saya saat itu.

Sebagai pelajaran dari ini, bahwa kita jangan terlalu mengandalkan kecerdasan kognitif atau prestasi akademik, dan tidak terlalu berbangga dengan ketinggian IQ. Kecerdasan lainnya seringkali diabaikan oleh kita, semisal emosional, psikologis, afektif, dan lain sebagainya.


Nah, mari kita kembali kepada pembahasan awal terkait kebetulan peristiwa di kehidupan dunia ini.

Beberapa hari terakhir ini, saya memilih ikut hadir di Sidoarjo bersama rombongan PCNU Kabupaten Cirebon, dalam perhelatan resepsi akbar peringatan hari lahir Satu Abad NU.

Jujur, selain agar bisa jadi ‘saksi’ sejarah 1 abad yang tak mungkin terulang lagi -meski tidak masuk stadion-, saya juga niatkan ngiras-ngirus sekaligus jenguk anak di Kranji. Sudah beberapa hari, anak saya yang di pesantren jatuh sakit, dan akhirnya dijemput oleh Rohmah, adik saya dan diinapkan di rumahnya.

Ya, kalau gak sekalian jenguk anak, mungkin lebih memilih tidak berangkat, mengingat badan yang masih kelelahan habis jadi sekretaris panitia Harlah 1 Abad NU di Cirebon, dengan segala rangkaian acaranya yang dipungkasi dengan acara NU Bershalawat di Stadion Ranggajati Sumber Cirebon yang menghadirkan Habib Syekh.

***

Sesampai di lokasi seputar stadion Delta yang penuh dengan lautan manusia -tanpa direncanakan dan dinyana-nyana-, ternyata bisa ketemu dengan beberapa wajah yang dikenal, tanpa diprediksi sebelumnya.

Di sana, saat perjalanan dari rumah singgah di jalan Yos Sudarso menuju stadion, kami bertemu dengan Dr Adib Abdusshomad, seorang pejabat di Kemenag RI sedang berjalan santai di luar stadion.

Di sana, saya juga bertemu Pak Kiai Husnaini, Pak Mubin dan Pak Misbahul Munir. Ketiganya adalah guru saya waktu di Tarbiyatut Tholabah Kranji.

Selain itu, saya juga ketemu dengan Ubab Mi’roji, putra guru saya, dan bertemu juga dengan Anang Mukzi, kawan sekelas selama 6 tahun bersekolah di MTs dan MA Tarbiyatut Tholabah Kranji.

Usai acara, sesuai rencana umum, akhirnya saya izin misah dari rombongan PCNU Cirebon, setelah dapat tawaran dari Cakrul (Khoirul Amin) ikut bareng rombongan Banser Paciran.

Di rombongan bis ini, saya hanya kenal 3 orang dari sekian banyak kader Banser peserta penampil koreografi acara di stadion, yaitu Cakrul sendiri, Rohmat Fauzi (teman seangkatan sewaktu di Tabah) dan Suwandi (tetangga RT). Selebihnya, aku tidak mengenal sama sekali.

Kebetulan berikutnya, saya bertemu Pak Ali, guru MI Tabah sekaligus tetangga di Warkop Suket Teki milik Sahabat Hilmi Adib, ketua PAC GP Ansor Paciran. Kali ini, saya mampir ngopi di situ sekalian mau ziarah ke makam Sunan Drajat yang berada di dekat warkop itu.

Usai dari sana, sekitar pukul 15:45 sore saya minta diantar adik ke pertigaan Banjaranyar, untuk naik bis mini ke arah terminal Wilangun untuk menuju stasiun KAI Pasar Turi. Tiket kereta yang saya pesan berangkat sekitar pukul 22:00 WIB dari stasiun Pasar Turi. Maka, menurut perhitungan, saya berangkat jam 4 sore saja. Toh, biasanya bis Armada terakhir dari Pacian ke Surabaya ya jam 4 sore.

Ternyata kata pria pengarah lalu lintas di tengah pertingaan, bis terakhir sudah berangkat jam 3an tadi. Akhirnya saya naik ojek motor untuk menuju Telon Sumlaran (Sukodadi-Lamongan). Dari sana, saya naik bis menuju stasiun Lamongan seperti rencana awal.

Sampai stasiun sekitar pukul 17:00. Saya tanya ke petugas terkait jadwal kereta yang akan saya tumpangi lewat stasiun Lamongan jam berapa? “Jam 23:xx, Mas!” Jawab petugas di loket.

Akhirnya saya mampir Lamongan Plaza yang berada tepat di seberang stasiun. Plaza ini tidak terlalu ramai, memang. Di sana sedang ada bazar buku Inbox punya Mizan.

Melihat bazar buku ini, saya teringat dengan obrolan dengan ketua LPTNU PCNU Kab. Cirebon, Dr Ahmad Sururi terkait rencana bikin bazar.

“Mas, kalau misalnya kita mau bikin bazar buku bekerjasama dengan Mizan, gimana caranya?” tanyaku kepada penjaga bazar buku itu.

“Wah, saya kurang tahu, Mas. Saya hanya petugas yang diminta jaga khusus untuk bazar ini saja,” jawabnya.

Akhirnya saya diberinya nomor kontak ‘bos’nya dari bagian marketing Mizan di Surabaya.

Setelah saya chat, tanya-tanya terkait rencana bazar di Cirebon, saya dikasih sebuah nomor kontak bernama Kang Agus.

Ternyata, nomor tersebut malah sudah tersimpan di hp-ku. Sepertinya, ini orang yang pernah minta saya jadi moderator saat bazar buku mizan di Living Plaza Cirebon beberapa bulan silam.


Saya singgah di bazar buku itu beberapa saat, membeli beberapa buku anak-anak KKPK dengan harga hanya Rp5-10rb, hingga tiba waktu Magrib.

Usai melaksanakan salat Magrib dan Isya denga jamak qashar, saya keluar menuju stasiun kereta.

Karena lapar, saya singgah makan nasi boran yang berada di trotoar depan stasiun Lamongan. Cukup 15 ribu Rupiah, sudah dapat lauk ati ampela dan teh manis hangat.

Nah, catatan yang tidak terlalu pentingnya. Kalau pesan teh di sini (Lamongan), pasti dikasih gula. Padahal, saya sudah bilang, “Minumnya teh tawar anget!” Ini berbeda dengan tradisi di Jawa Barat dan Jakarta. Kalau kita pesan teh, pasti dikasih teh tawar, kecuali jika kita minta manis.

Terkait hal ini, pernah saya tanyakan kepada ibu kos di Jakarta. “Ya, supaya porsi gulanya pas sesuai dengan ukuran peminumnya. Kalau tidak sesuai, nanti malah terbuang percuma,” jawabnya.


Nah, karena jadwal kereta masih cukup lama, aku pilih duduk santai di kursi tunggu, sambil aku charge batre hpku.

“Lumayan, sekalian memanfaatkan waktu buat nulis beberapa paragraf,” rencana saya.

Tanpa dinyana, di depan saya tampak sesosok perempun yang tidak asing bagiku, lewat bersama seorang pria yang jauh lebih muda dan dua anak kecil. “Wah, Bu Ida, ya?” tanya saya.

Dialah Husnul Hidayati, teman seangkatan sewaktu MTs dan MAK Tabah Kranji. Ia sedang menjemput ponakannya yang datang dari luar kota. Katanya, ia posisi mudik di Sendang, karena sedang ada acara keluarga.

Itulah kebetulan berikutnya. Saya bilang kebetulan, karena memang jauh dari bayangan saya. Soalnya dia kan tinggal di Magetan.

Dunia ini penuh misteri, penuh tantangan, penuh cobaan.

Sementara ini dulu tulisan kali ini. Maafkan bila kepanjangan.

Akankah ada kebetulan berikutnya terjadi? Nantikan kisah selanjutnya.

Salam

Stasiun Lamongan, 09/02/2023

About Post Author

Masyhari

Founder rumahbaca.id, pembina UKM Sahabat Literasi IAI Cirebon

Happy

Happy

0 0 %

Sad

Sad

0 0 %

Excited

Excited

0 0 %

Sleepy

Sleepy

0 0 %

Angry

Angry

0 0 %

Surprise

Surprise

0 0 %