Muktamar Pemikiran Mahasantri: Menyuarakan Pemikiran Kosmopolit Kaum Sarungan

Muktamar Pemikiran yang digelar di Ma’had Aly Nurul Jadid merupakan muktamar perdana untuk mempertemukan para mahasantri penulis-peneliti se-Indonesia. Gus Fayyadl selaku mudir, mengatakan bahwa acara ini sejatinya cita-cita luhur dari alm. KH. Romzi Al-amiri Mannan sebagai mudir demisioner.

Selama GF membersamai alm. Kiai Romzi, beliau telah mencatat rapi di buku catatan beliau, beberapa gagasan progresif yang bisa dilaksanakan ke depan, salah satunya muktamar pemikiran mahasantri. Ini menandakan bahwa santri kinasih Mbah Maimun Zubair (kiai Romi) tersebut tidak hanya alim tapi juga seorang kiai yang visioner. Subhanallah.

Senang sekali bisa menemani para penulis-peneliti dari berbagai Ma’had Aly yang hadir untuk memberikan kontribusi pemikiran di Muktamar ini. Dari Situbondo, Jember, Malang, Tasikmalaya, Riau, Jakarta, Sumatera hingga Cirebon ikut menyumbangkan pemikirannya.

Penulis diamanahi untuk memandu jalannya diskusi gagasan pemikiran dari beberapa paper yang telah lulus seleksi. Pelbagai pemikiran disuguhkan guna menjawab problem-problem kiwari yang berseliweran di negara maritim ini. Ada yang memperjuangkan keadilan redistribusi dan rekognisi perspektif Maqashid as-Syariah melalui pemikiran Nancy Fraser.

Ada pula yang menawarkan usulan konsep kepada BPOM berkaitan dengan fikih industri; produk halal dan semacamnya. Sebagaimana permasalahan yang pernah menghinggapi BPOM, label halal bisa diperjualbelikan tidak murni berdasarkan kehalalan produk. Hal ini pula menjadi sorotan dari panelis bahwa ada beberapa produk yang perlu dikaji ulang kehalalannya dengan menggunakan barometer kitab kuning.

Baca juga:  Ditemukan, Kitab “Maj’muatus Syari’ah” Karya KH Sholeh Darat Beraksara Jawa

Pak Ahmad Sahidah PhD selaku reviewer memberikan komentar terhadap tema fikih industri tersebut bahwa  BPOM seharusnya tidak hanya berbicara konsep produk halal, lebih dari itu harus ada konsep produk halal serta toyyib (baik). Halal tak selalu toyyib (baik) untuk tubuh manusia, namun produk toyyib (baik) untuk tubuh sudah pasti halal. Demikian pula produk-produk yang dipasarkan harus toyyib (baik) serta ramah terhadap lingkungan.

Pak doktor alumnus Universitas Utara Malaysia (UUM) tersebut juga mengajarkan kepada para mahasantri agar tidak melayangkan argumentum ad-hominem; menyerang personal. Bagaimana argumen yang disuguhkan mampu menembus jantung pemikiran lawan, sebagaimana salah satu panelis menghajar habis-habisan pemikiran Albani yang selalu mendhoifkan hadist-hadist shohih dari kalangan Aswaja. Secara sanad keilmuan, keilmuan Albani memang tidak kompatibel, pendhoifan Albani terhadap hadist-hadist shohih tidak berdasarkan metode-metode yang kuat yang akhirnya tidak bisa dibenarkan klaim-klaim Albani tersebut.

Penulis juga memberikan sedikit komentar -selaku pemandu diskusi- berkaitan usulan konsep yang disuguhkan oleh para panelis. Usulan konsep yang disuguhkan harus bisa menimbulkan sebuah tindakan, jangan sampai konsep tersebut hanya melahirkan -meminjam istilah Derrida- apokaliptik, aporia maha besar. Konsep yang dilahirkan harus realistis; mampu menjawab permasalahan-permasalahan termutakhir yang berada di sekitar kita. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Imam as-Syathibi dalam bukunya al-Muwaafaqot bahwa konsep (ilmu) harus bisa melahirkan sebuah tindakan yang konkret dan bermanfaat.

Baca juga:  PCINU Jepang Rayakan Maulid Nabi Serentak di Tiga Kota

Terlepas dari hal di atas, muktamar ini mampu menjigal statement yang menyatakan bahwa kaum sarungan hanya bisa berfikir kolot, konversatif atau semacamnya. Para mahasantri memiliki pemikiran yang sangat progresif; berusaha memadukan pemikiran Barat dan Timur, seperti: membaca pemikiran Nancy Fraser dengan kaca mata Maqashid Syariah; mampu membahasakan ide-ide cemerlang dalam kitab kuning yang terkenal rumit, dengan bahasa renyah dan bersahabat terhadap publik, seperti: membahasakan frasa-frasa rumit di dalam Ushul Fiqh sebagai pisau analisis agar bisa dinikmati secara seksama oleh khalayak.

Bagaimana tidak dikatakan mahasantri yang memiliki pemikiran yang sangat progresif, mahasantri dari Ma’had Aly Babakan Ciwaringin Cirebon mampu mengolaborasikan ilmu agama dengan eksakta; ilmu falak dan astronomi. Mahasantri dari ma’had aly yang memiliki takhassus (konsentrasi) di bidang ilmu falak dan astronomi tersebut menyadarkan para mahasantri lain bahwa ilmu keagamaan juga memerlukan panduan ilmu sains. Perpaduan ilmu falak dan astronomi bukan untuk melahirkan sebuah konsep penentuan waktu sholat, penetapan awal dan akhir puasa lebih dari itu bagaimana memahami fenomena alam guna memastikan pengetahuan iklim untuk kepentingan pertanian dan reservasi lingkungan.

Ada pula salah satu panelis yang melakukan kajian perbandingan antara dopamine fasting 2.0 dan fikih tadarruj dalam mencegah serta memberikan antidot kecanduan gawai. Hal ini harus ditanggapi secara serius di tengah perundungan anak-anak zaman sekarang yang sering membikin cemas orang tua di rumah. Sebab kecanduan terhadap game yang berada di gawai sering kali membikin emosi anak tidak terkontrol dan bisa melakukan kekerasan terhadap sekitar, tak terkecuali orang tua.

Baca juga:  KH Afifuddin Dimyati: Fakta dan Tantangan Aswaja di Masa Pandemi

Dari sini sangat jelas, bahwa kaum sarungan –lebih dikenal dengan sebutan mahasantri- yang melanjutkan studi di perguruan tinggi pesantren (Ma’had Aly) bisa menyamai pemikiran-pemikiran mahasiswa luar bahkan melampaui, karena mereka bisa memadukan kitab kuning (turats) dan kitab putih (buku) serta bisa membaca problem hari ini. Namun demikian, masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus mereka lakukan salah satunya, bagaimana artikel-artikel yang dilahirkan harus sesuai dengan gaya selingkung penulisan jurnal-jurnal bereputasi Nasional bahkan Internasional agar pemikiran-pemikiran mereka bisa dinikmati khalayak luas.

https://alif.id/read/mro/muktamar-pemikiran-mahasantri-menyuarakan-pemikiran-kosmopolit-kaum-sarungan-b247141p/