K.H. Masrur Ahmad lahir di Desa Wukrisari, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Beliau merupakan putra dari lima bersaudara pasangan K.H. M. Zaidun bin K.H. Abdul Qodir dan Hj. Robi’ah. Kiai yang akrab dipanggil Abah Masrur ini pernah mengenyam pendidikan di beberapa pesantren seperti Wahid Hasyim Yogyakarta, Majenang, Cilacap, Pesantren Lirap Kebumen, dan sejumlah pesantren di Banten, Jawa Barat. Kemudian melanjutkan nyantrinya di pesantren Banyuwangi, Bangkalan, Sumenep. Dan terakhir nyantri, di pondok pesantren Asy’ariah Salaman, Magelang.[1] Beliau pernah berguru langsung dengan K.H. Hamim Tohari Djazuli (Gus Miek).
Perjalanan intelektualnya juga beliau lakoni di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ushuluddin. Semasa menjadi mahasiswa pernah bergabung dalam aktivis PMII. Ada satu kisah menarik yang diceritakan oleh lurah PonPes Al Qodir ketika saya masih nyantri di sana. Saat Abah Masrur tergabung dalam aktivis PMII, di mana kala itu sedang melakukan aksi turun ke jalan menentang rezim Orde Baru, di tengah perjalanan rombongan beserta kawan aksinya dihadang oleh sebuah mobil.
Beliau langsung mengetuk kaca mobil tersebut dengan tujuan agar segera minggir dari aksi para mahasiswa yang sedang turun ke jalan. Begitu jendela mobil dibuka, sontak beliau kaget karena yang ada di dalam mobil itu adalah ayahanya, K.H. Muhammad Zaidun. Menurut penuturannya, ayahanya merupakan sosok yang galak. Selama beberapa hari beliau tidak berani pulang ke rumah karena takut pasti akan dimarahi.
K.H. Masrur Ahmad merupakan sosok Kyai yang disegani oleh tokoh-tokoh lintas agama di Yogyakarta. Hubungan antara beliau dengan pemuka agama sangat erat. Terlihat, beliau sering menghadiri dan kerap mengisi acara pertemuan lintas agama, bahkan di rumah beliau juga kerap didatangi oleh para tokoh agama lain seperti pendeta dan uskup untuk berdialog antar agama.
Penulis sendiri semasa nyantri di pondok Al Qodir, pernah suatu hari Abah Masrur di undang ke gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus, Babadan, Yogyakarta dalam acara “Merajut Kebangsaan Melalui Jaringan Lintas Sahabat” pada hari Sabtu, 9 Juli 2022 sehari sebelum lebaran Idul Adha saat itu.[2]
Tak hanya beliau yang diundang. Namun, kami tim rebana juga turut di undang menghadiri acara tersebut. Dan kami pun di beri waktu untuk melantunkan syair sholawat. Sebenarnya bukan hal pertama kalinya tim rebana Al Qodir di undang ke gereja untuk sholawat. Tetapi untuk saya pribadi merupakan pengalaman kali pertama yang tak pernah terlupakan sampai saat ini. Perasaan hati yang bimbang semalaman mengarungi benak hati, dan bertanya-tanya kenapa kami di undang sholawatan di gereja?.
Singkat cerita, sesampainya di depan gereja kami di sambut oleh penyelenggara acara gereja tersebut. Sebelum maju untuk tampil sholawatan, kami berunding untuk memilih sholawat mana yang akan kami bawa nanti yang sesuai dengan acara ini. Lurah ponpes Al Qodir yang juga sebagai ketua rebana (Kang Riri) menginisiasi untuk membawakan syair Gus Dur namun tidak menggunakan lirik ya rosullah-nya. Hanya syairnya saja.
Menurut saya keputusan ini relevan dengan acara lintas agama yang saat itu di selenggarakan, di mana Gus Dur sebagai tokoh pluralis juga pengayom lintas agama. Seperti K.H. Masrur Ahmad pengasuh ponpes Al Qodir.
Menurut beliau antar lintas agama harus memiliki paku atau pengerat antara agama satu dengan lainnya, dan inilah yang nanti akan menjadi wasilah mekarnya bunga semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ di Indonesia. Inilah yang kemudian menjadi dasar bahwa sosok K.H. Masrur Ahmad merupakan tokoh pluralis, dibuktikan dengan keseriusannya dalam membangun interaksi dengan beberapa organisasi Islam dan juga menjalin relasi dengan umat non-Muslim yang ia anggap sebagai makhluk Tuhan yang harus diberlakukan sebagai manusia selayaknya. Karena apa pun yang Allah ciptakan di muka bumi memiliki manfaat masing-masing.[3] Para jemaat gereja saat itu begitu antusias dan khidmat mendengarkan syair Gus Dur.
Hal yang juga menarik dari Abah Masrur adalah sikap multikulturalnya, di suasana yang sedang banyak konflik antar agama dan gema parpol pilpres. Di mana, peran Abah Masrur ini mampu untuk menjalin hubungan baik dengan pimpinan lintas agama.[4]
Keseharian beliau di isi dengan Istiqomah pengabdiannya kepada pesantren Al Qodir sepeninggal ayahandanya. Hal yang juga menurut penulis lihat semasa nyantri di pesantren Al Qodir, beliau sangat jarang sekali melakukan bepergian jika tidak urgen/penting. Tamu-tamunya setiap hari seperti tidak terputus. Saat ngaji tafsir Jallalain di serambi masjid, pada satu waktu beliau bercerita pernah di datangi 3.500 orang tamu dalam seminggu atau sekitar 500 orang dalam sehari dengan silih berganti. Amat tidak masuk akal jika kita sebagai orang awam memiliki tamu sebanyak itu, bagi sosok karismatik seperti beliau, sudah terbiasa dengan tamu yang tak henti melingkari meja tamunya.
Mungkin karena relasi dengan sahabat beliau saat ikut PMII waktu masih menjadi mahasiswa yang masih kerap bersilaturahmi. Saat menikahkan putrinya yang pertama, beliau mengundang sekitar 5000 orang, di antaranya kyai dan tokoh agama nusantara seperti Gus Muwafiq, Gus Miftah, Gus Yusuf, Cak Imin (Gus Muhaimin) dan tokoh penting lainnya.[5] Selain sebagai tokoh agama, beliau juga dikenal sebagai (wong pinter) banyak orang yang pergi sowan beliau untuk meminta ijazah atau sekadar meminta wasilah doa. Beliau juga seorang politisi, pebisnis, dan pemikir Islam, dilihat dari karya tulis beliau yang mengarah pada penguatan akidah dan spiritualitas ibadah.
Menilik Pondok Pesantren Al Qodir yang berbasis salafiyah, saat ini memiliki sekitar 300 lebih santri. Layaknya pondok salaf, kitab kuning menjadi primadona utama ngaji.[6] Pondok Al Qodir terkenal dengan pondok yang menerima pasien dengan gangguan jiwa (orang gila), pecandu narkoba, stres dan sebagainya. Setiap pasien gila yang di obati itu berbeda-beda semua, ada orang gila yang sembuh dengan cara di pukuli, tetapi tidak semua orang gila bisa sembuh dengan cara di pukuli. Ada yang sembuh karena jatuh dari atap bangunan pondok.
Sama-sama mumet pikirannya, sama-sama mumet kepalanya ada yang cocok dengan bodrex padahal pusingnya sama, ada juga yang cocok dengan paracetamol, tapi ada juga yang kalau belum ketemu dengan mixagrip belum sembuh. Itulah yang menjadi epistemologi pengobatannya. Beliau mengatakan, pengobatan yang beliau lakukan tidak seperti pengobatan layaknya rumah sakit jiwa, yang kiranya hanya memberikan tiga resep obat seperti obat penenang, obat saraf dan multivitamin.
Yang tidak bisa di lupakan adalah selain pengabdiannya terhadap pondok Al Qodir yang beliau asuh dengan khidmat. Beliau juga sangat antusias dengan tradisi NU yang begitu lekat di terapkan dalam pembelajaran pesantrennya, bisa di katakan merupakan penggedenya NU Jogja. Acara mujahadah rutin di adakan setiap ahad sekali pada malam Jumat, dilanjut makan bersama dan sholawatan. Jamaah yang hadir selalu memenuhi ruang masjid. Tak hanya dari sekeliling rumahnya saja namun dari berbagai daerah rutin datang mengikuti mujahadah setiap malam Jumat di Pondok Pesantren Al Qodir.
[1] MZ, K. Masrur. (2015). ISLAM HIJAU (Pertama ed.). (I. Nawawi, Ed.) Sleman, Yogyakarta, Sleman: aLQodir Press.
[2] Lihat berita News, https://beritabernas.com/misa-syukur-peringatan-hut-ke-60-gereja-babadan-berlangsung-meriah/
[3] Nst, Nur Aminah, and S. Hum. “PEMIKIRAN KH. MASRUR AHMAD TENTANG PLURALISME AGAMA.” Yogyakarta, 2017.
[4] anam, muhammad nuril. “MODEL PEMBENTUKAN SIKAP MULTIKULTURAL SANTRI DI PONDOK PESANTREN AL-QODIR CANGKRINGAN SLEMAN.” http://digilib.uin-suka.ac.id/33307/1/1620410064_BAB%20I%20_BAB%20IV_DAFTAR-PUSTAKA.pdf 2018.
[5] Lihat Youtube Al-Qodir Channel: https://www.youtube.com/live/F19kRBLBTvw?feature=share
[6] Profil Pondok Pesantren Al-Qodir http://alqodir.co.id/ diakses pada hari Senin, 30 Januari 2023 pukul 22.22 WIB
https://alif.id/read/aan/kh-masrur-ahmad-mz-sang-pluralis-jogja-b247173p/