Syair Ujud-Ujudan: Syair Otentik Warisan Kiai Ageng Muhammad Besari

Ramadan menjadi momentum yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam. Bagi orang dewasa, Ramadan telah diyakini sebagai bulan untuk memetik pahala. Di mana sebelumnya mereka telah menanam pada bulan Rajab dan merawat di bulan Sya’ban. Apa yang dipetik? Tentu hal-hal baik yang mereka lakukan. Demikian karena setiap amal yang dilakukan di bulan Ramadan akan dilipatgandakan.

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi SAW pernah bersabda: “Setiap amal kebaikan anak Adam (manusia) akan dilipatgandakan dengan 10 kebaikan yang setara hingga 700 kali lipat. “Allah Ta’ala berfirman ‘Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi’.” (H.R. Bukhari)

Sungguh menarik, bukan?

Sedangkan bagi anak-anak, Ramadan dikenang dengan berbagai tradisi yang ada di dalamnya. Mulai dari buka bersama di TPQ, jalan-jalan setelah Subuh sambil membawa petasan (namun hal ini harus dalam pengawasan juga, ya), takjilan sehabis Shalat Tarawih, hingga baju baru menjelang lebaran.

Bicara soal tradisi, tentu setiap daerah memiliki cara yang berbeda dalam menyemarakkan Ramadan. Ada yang melestarikan tradisi padusan yakni mandi di sungai atau kolam sebagai manifestasi untuk membersihkan diri dalam menyambut Ramadan. Ada yang serentak membersihkan makam leluhur dan mendoakan mereka. Ada pula tradisi yang dikenal dengan sebutan megengan.

Tradisi yang penulis sebutkan terakhir ini diwujudkan dengan menghidangkan makanan atau nasi yang dibawa ke Masjid atau Mushola (namun ada pula yang dilaksanakan di rumah) dan kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa oleh pemuka agama sebelum dimakan bersama-sama. Hal ini dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur karena telah dipertemukan dengan Bulan Ramadan.

Baca juga:  Sang Kakbah

Ada satu tradisi unik yang masih lestari di daerah penulis, yakni Syair Ujud-Ujudan. Syair ini dilantunkan bersama selepas Shalat Tarawih dengan diiringi bedug. Penulis menyebutnya unik karena dari beberapa daerah yang pernah penulis kunjungi dan dari beberapa teman dari luar daerah yang pernah penulis temui, mereka belum tahu tentang syair ini.

Secara historis, melansir dari timesindonesia.co.id, syair yang kadang disebut dengan dengan Utawen ini merupakan warisan otentik dari Kiai Ageng Muhammad Besari, pendiri Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo. Pesantren yang berdiri sekitar tahun 1800-an ini banyak menelurkan kiai dan pujangga Jawa pada masanya seperti Ronggowarsito dengan ramalan “zaman edan”nya, Pakubuwono II, H.O.S Cokroaminoto, Sulaiman Jamaludin, dan masih banyak lagi.

Daerah penulis yang kebetulan masih berdekatan dengan Ponorogo, yakni bertempat di Wonogiri bagian Timur hingga saat ini masih melestarikan tradisi tersebut. Hal ini mengingat bahwa para tokoh pendahulu daerah sini memang kebanyakan nyantri di Ponorogo sehingga terdapat kemungkinan mereka pulang dengan membawa tradisi tersebut sebagai sarana dakwah.

Syair Ujud-ujudan atau yang dikenal syiir utawen dilantunkan dengan langgam khas Jawa serta diiringi tabuhan bedug atau peranti tambahan lainnya sehingga nampak begitu sakral. Biasanya para jamaah akan berkumpul di serambi masjid dan melantunkan syair tersebut bersama-sama. Tak kenal tua, dewasa, remaja, maupun anak-anak semuanya turut menikmati alunan syair yang penuh makna tersebut.

Secara sederhana Syair Ujud-Ujudan memuat tentang masalah ketauhidan meliputi rukun islam, makna syahadat, dan sifat-sifat Allah SWT. Selain itu juga terdapat pesan mengenai sirah nabawiyah, sifat-sifat Nabi serta keutamaan-keutamaan Beliau. Uniknya, selain dua masalah tersebut, syair ini juga mengajarkan tentang nasionalisme melalui doa-doa yang dilantukan di penghujung syair.

Baca juga:  Menakar Peran Sufi dalam Berdirinya Kekaisaran Ottoman

Tradisi ini memang terlihat sepele, namun menurut penulis dampaknya begitu berharga bagi masyarakat. Selain dapat mengenal Allah SWT dan Rasul-nya meski lewat syair yang sederhana, tradisi ini juga menjadi cermin kerukunan di masyarakat. Kegiatan kumpul bersama dari berbagai usia menjadi sarana untuk memperkuat silaturahmi dan mengukuhkan ukhuwah Islamiyah.

Hal ini menjadi penting mengingat era modernitas kerap kali memupuk sikap egoisme dalam kehidupan bermasyarakat. Meningkatnya sikap ini dalam tahap akut dapat memecah persatuan dan kesatuan masyarakat karena tingginya ego dan minimnya sikap empati kepada sesama. Dalam konteks yang lebih luas hal tersebut juga menjadi ancaman besar bagi bangsa Indonesia sendiri. Maka dari itu, kearifan lokal yang masih ada perlu kita rawat, kita jaga, dan kita lestarikan bersama. Bagaimana caranya? Salah satunya yakni dengan mengenalkan kearifan lokal tersebut kepada anak-anak muda.

Nah, bagi teman-teman yang masih penasaran dengan syair tersebut, berikut penulis lampirkan liriknya di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Utawi pikukuhe Islam iku limo

Kang dingin syahadat, kaping pindo sholat

Kaping telu aweh zakat, kaping papat puoso

Kaping limo munggah kaji maring Baitulloh

 

Nawaitu ‘an ukiro kalimataini syahadataini

Wa wujuban fil’umuri wa marotan wahidatan fardlo llillahi ta’ala

Niat ingsun angucapaken ing kalimah syahadat loro

Ing khale wajib ing ndalem sak umur ingsun

Maring sapisan fardlo lillahi ta’ala

 

Asyhadu alla illaha illalloh wa asyhadu anna muhammadan rasulullah

ngaweruhi ingsun setuhune ora ono pangeran kang sinembah

Kulawan sakbenere, kang wajib wujude

Kang muhal ‘adame, kang mesti anane

Anane Allah

 

Ngaweruhi ingsung setuhune kanjeng Nabi Muhammad iku utusane Allah

Kawulane Allah, kang romo Raden Abdullah, kang ibu Dewi Aminah

Ingkang dhohir ono Mekah, Hijrah ing Medinah, gerah ing Medinah

Seda ing Medinah, sinareaken ing Medinah

Bangsane bangsa Arab bangsa Rasul bangsa Quraisy

           

Wujud, qidam, baqo’, mukholafatu lil khawadisi, qiyamuhu binafsihi,

wahdaniyah, qudrat, irodat, ‘ilmu, hayat, sama’, bashor, kalam, qodiron,   

muridan, ‘aliman, hayyan, sami’an, bashiron, wa mutakalliman,

 

Mongko maknane la ilaha illalloh iku makno nafi lan isbat

Mongko kang den isbataken iku pangeran kang ngarso

Kang setunggal, kang aran dadekaken

Dadekaken wong ‘alam kabeh

Iyo iku aran Allah, tegese aran Allah, iku aran ing dhalem dzat

Kang wajibil wujud, kang mohal ‘adame, kang mesti anane

Ora werno ora rupo, ora arah ora enggon

 

Seng sopo wonge neqodaken setuhune Allah

Iku werno, rupo, arah, enggon….

Mongko wong iku dadi kufur

 

Utawi kanjeng Nabi Muhammad iku manungso kang lanang

Kang ‘aqil baligh, kang bagus rupone, kang mencorong cahyane

Kanthi werno koyo rembulan utowo koyo srengenge

Keturunan wahyu ,ingkang wajib anduweni

Sifat sidiq amanah tabligh

 

Sidiq bener, amanah  kapercoyo, tabligh anekakaken

Mohal riyo, mohal cidro, mohal anglepataken

Ingkang werno marang bongso liyo

Ora dadi anacataken ing dhalem martabate

 Ingkang moho luhur

 Allohumma sholli ‘ala Muhammad…

Allohumma sholli ‘ala muhammadin…

Wa’ala alihi 2x wasohbihi wasallam

 Allah robbi ij’al hadza baladan aminan…2x

Warzuq ahlahu…2x

Wasi’an thoyyiban hasanan

 

Baca juga:  Perdebatan Ahli Mantiq Perihal Cara Memuji Allah

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/mns/syair-ujud-ujudan-syair-otentik-warisan-kiai-ageng-muhammad-besari-b247372p/