Pesantren salaf APIK Kaliwungu Kendal sekitar dua bulan yang lalu baru saja mendapatkan award dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai salah satu pesantren tertua di Nusantara. Penilaian ini dilihat dari usia pondok pesantren APIK yang usianya sudah lebih dari satu abad dan masih eksis dalam membentuk para santri untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Pondok yang berdiri di tengah pusat keramaian masyarakat Kaliwungu ini menjadi referensi untuk mengaji ilmu agama Islam.
Pesantren yang sekarang diasuh oleh Abah Sholah panggilan akrab KH. Muhammad Sholahuddin Humaidullah ini, usianya sudah menginjak 104 tahun menurut tanggal masehi. Dengan demikian, pesantren APIK sudah melewati waktu yang cukup panjang dalam menyebarkan Islam santun bermanhaj Ahlussunnah Wal Jamaah. Usia satu abad lebih empat tahun ini, bukanlah waktu yang singkat, dalam perjuanganya sudah memiliki kontribusi yang sangat besar untuk perkembangan dakwah Islam di bumi Nusantara ini.
Dalam catatan sejarah, Pesantren APIK sudah melahirkan puluhan ribu santri yang tersebar di berbagai penjuru dan menelurkan banyak ulama, kiai hingga intelektual. Kuatnya nilai dan kultur keagamaan yang dipegang oleh pesantren salaf APIK ini tidak dapat dilepaskan oleh perjuangan dan kegigihan para pendiri yang kemudian dilestarikan oleh para masyayikh yang mewarisi estafet kepemimpinan selanjutnya.
Kiai Irfan bin Musa dan Jaringan Ulama Nusantara
Pesantren salaf APIK didirikan oleh seorang ulama besar yang masih memiliki garis keturunan sampai senopati Mataram, yaitu KH. Irfan bin Musa (wafat tahun 1931 M). Mbah Irfan panggilan akrab para santri, merupakan ulama yang memiliki keistimewaan belajar agama Islam di Makkah seperti Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Mahfudz Termas, Syaikh Khatib Sambas dan para ulama lainya.
Mbah Irfan mendirikan pesantren salaf APIK pada 12 Februari 1919 M sehingga dapat dipastikan bahwa Mbah Irfan tinggal di Makkah untuk belajar ilmu agama sekitar tahun 1900-an atau masuk para kurun abad ke-19. Apabila kita melihat sejarah di abad ke-19, bumi Nusantara sedang dikuasai oleh penjajah Belanda setelah keberhasilannya memenangkan perang Jawa pada tahun 1825-1830 M, dan memenangi perang padri pada tahun 1835 M, serta sedang merayakan kekuasaanya setelah memenangi perang Aceh pada 1873 M. Dari data tersebut menyimpulkan bahwa Nusantara sedang di bawah puncak kekuasaan penjajahan Belanda. (Imawan 2021)
Mereka menguasai monopoli perpolitikan dan perkembangan ekonomi, sehingga masa ini disebut dengan usaha balik modal penjajah setelah melakukan perang-perang besar. Pada abad ini juga penjajah Belanda menerapkan tanam paksa kepada masyarakat Nusantara. Tentu ini adalah tindakan yang tidak manusiawi dan kezaliman penjajah terhadap masyarakat Nusantara. Namun tidak menutup kemungkinan hal ini terjadi di negara lain.Seperti negara muslim di dunia juga sedang mengalami penjajahan. Bahkan pemerintahan Kekhalifahan Turki Utsmani juga mulai melemah hingga akhirnya runtuh pada tahun 1924 M.
Namun menariknya pada abad ini, disamping kondisi Nusantara yang terjerat dengan jeruji penjajah tersebut, masyarakat Nusantara banyak yang berdatangan ke tanah Haramain (sebutan Makkah dan Madinah) Karena kedua kota ini sangat aman dan masih di bawah lindungan pemerintahan Turki Utsmani. Selain mencari keamanan, mereka juga datang untuk menunaikan ibadah haji dan mengaji kepada para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah (sunni) di Masjidil Haram. (Imawan 2021)
Di zaman dahulu tercatat ratusan halaqah yang digelar di serambi Masjidil Haram yang dipimpin oleh para ulama dari berbagai penjuru, sehingga keterbukaan ilmu dalam berbagai halaqah ini menjadi pintu bagi para pelajar untuk memilih ilmu yang ia sukai.. Sehingga kondisi ini dimanfaatkan oleh para pelajar dari Nusantara untuk belajar mendalami ilmu agama Islam kepada para ulama.
Dengan demikian, disaat Nusantara sedang berada pada fase puncaknya penjajahan Belanda, justru para ulama Nusantara banyak yang tercatat sebagai orang yang berpengaruh di Haramain seperti Syaikh Khatib Sambas, Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Mahfudz Termas, Syaikh Khatib Minangkabau, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dan para ulama Nusantara lainya.
Sehingga pada abad ini, mengembara untuk mencari ilmu agama Islam ke tanah Haramain menjadi trend masyarakat muslim. KH. Irfan bin Musa termasuk salah satu ulama yang berasal dari Kaliwungu Kendal (nusantara) yang mengenyam pendidikan di Makkah sehingga sepulangnya dari tanah suci ia mendirikan pesantren yang dapat menghimpun para santri untuk mengkader generasi selanjutnya.
Mendirikan Pesantren sebagai Ruang Pengkaderan Ulama
Kiai Irfan bin Musa merupakan salah satu ulama yang belajar ilmu agama di tanah Haramain dan pulang mendirikan pesantren. Beliau kembali ke Kaliwungu dan membuka peradaban dengan mengkader para santri. Dilansir dari webset resmi pesantren salaf APIK Kaliwungu apikkaliwungu.com, bahwa Kiai Irfan adalah pembuka peradaban keislaman generasi ke 3 di Kaliwungu setelah generasi Kiai Guru Asy’ari dan Sunan Katong yang lebih dulu dalam menyebarkan Islam di bumi Kaliwungu.
Santri Kiai Irfan pada awalnya berasal dari masyarakat Kaliwungu sendiri kemudian berkembang dan semakin banyak yang ingin mengaji dengannya sehingga hal ini mendukung untuk dibangunya pondok pesantren untuk persinggahan para santri selama mengaji ilmu agama dengan Kiai Irfan. Sebagaimana pendirian pesantren lainya, pesantren salaf APIK menjadi institusi pendidikan dan wadah untuk mengkader para santri agar bisa menjadi insan yang bermanfaat untuk masyarakat secara luas.
Kehadiran pesantren di Kaliwungu menjadi icon peradaban Islam yang berkembang pada masanya. Sehingga hal ini terbentuk menjadi tradisi, doktrin, ideologi dan cara pandang yang mengakar kuat di lingkungan pesantren. Dengan demikian, pesantren salaf APIK ditengah gempuran modernisasi ia tetap berpegang teguh pada sikap tradisionalismenya. Berkat perjuangan dan kegigihan serta niat mulia KH. Irfan bin Musa dakwah Islam di Kaliwungu khususnya dan di Nusantara pada umumnya menjadi sangat kuat.
Kiai Irfan bin Musa wafat pada Ahad Kliwon tanggal 13 Ramadhan 1349 H / 1 Februari 1931 M dan selalu diperingati haulnya pada tanggal tersebut.