Suwuk Gus Dur

Jarang ada doa yang di-ijazahkan oleh Gus Dur, sebab sosok yang satu ini memang dikenal bukan sebagai “mujiz,” atau kiai “hikmah” yang gemar meng-ijazah-kan doa atau suwuk kepada para santri. Gus Dur lebih dikenal sebagai intelektual, budayawan, kolomnis, dan tentu saja seorang kiai.

Tetapi, setiap orang yang pernah mondok di pesantren seperti Gus Dur (beliau pernah mondok di Tegalrejo, Magelang), pastilah memiliki ijazah doa atau suwuk, sedikit atau banyak. Dan setiap seorang Muslim memang sebaiknya memiliki “wirid,” atau doa yang dibaca secara reguler sebagai semacam rutinitas.

Seorang muslim memang seharusnya tidak boleh hanya memiliki rutinitas yang sifatnya fisik belaka: misalnya lari pagi, fitness, futsal, ping-pong, dll. Selain rutinitas fisik, dia juga harus memiliki rutinitas jiwa (di luar salat fardu lima kali sehari) berupa doa yang diwiridkan, dirutinkan.

Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini

Supaya lebih lengkap lagi, seorang muslim juga harus punya rutinitas untuk otaknya: yaitu membaca buku dan, jika mampu, menulis.

Jadi, ada rutinitas fisik, jiwa, dan akal. Itulah namanya “wirid.” Setiap orang harus memiliki wirid agar hidupnya memiliki “struktur,” sehingga tidak “ambyar.”

Saya mau bercerita sedikit tentang wirid Gus Dur yang di-ijazahkan kepada Kiai Shodiq Hamzah, pengasuh Pesantren Asshodiqiyah, Kaligawe, Semarang. Beberapa hari lalu, bersama Mbak admin Ienas Tsuroiya saya “sowan” ke rumah beliau, mendampingi Gus Mus.

Baca juga:  Li Khomsatun, Jimat di Tengah Wabah

Rumah beliau memang selalu menjadi “ampiran” atau tempat transit Gus Mus saat pulang dari perjalanan “muter-muter” di kawasan Jawa Tengah bagian Barat atau Selatan.

Kiai Shodiq adalah santri Kiai Muslih dari Mranggen, Demak, seorang mursyid Qadiriyah-Naqsyabandiyah yang terkenal. Kiai Shodiq juga sempat menjadi “peladen” atau khadim Syekh Yasin al-Fadani di Mekah.

Kiai Yasin dikenal sebagai ulama asal nusantara yang ahli hadis dan “gudang sanad.” Karena itu, beliau dikenal sebagai “musnid al-dunya,” ahli sanad terbesar di dunia pada zamannya.

Ia wafat pada 1990. Karena itu, seluruh sanad yang dimiliki Kiai Yasin ada semuanya pada Kiai Shodiq. Kisah-kisah mengenai Kiai Yasin bisa kita dengar dengan mengasyikkan dari kiai ini.

Ketika Gus Dur berkunjung ke Saudi Arabia pada 1987, dalam rombongan besar yang meliputi sejumlah kiai seperti Kiai Sahai, Kiai Mustofa Bisri, Kiai Fahmi Saifuddin, dll; ya, dalam kunjungan ini, Kiai Shodiq sempat bertemu dengan Gus Dur.

Oleh Gus Dur, ia diajak “mojok” ke sebuah tempat: yaitu di tempat kelahiran Kanjeng Nabi, di luar kawasan Masjidil Haram. Sebagai selingan: tempat kelahiran Kanjeng Nabi itu sekarang diubah menjadi “maktabah” atau perpustakaan, agar tidak “dikeramatkan” oleh para ziarah. Akidah Wahabiyah yang diikuti oleh pemerintah Saudi saat ini memang anti hal-hal yang berbau keramat.

Baca juga:  Ikhtiar Lahir dan Batin Melawan Virus Corona

Ketika berada di sana, kemudian Gus Dur kemudian meng-ijazah-kan sebuah doa kepada Kiai Shodiq, tanpa diminta. Ketika saya tanya apa nama doa itu, dan apa khasiatnya, Kiai Shodiq menjawab: tidak tahu. Saya terheran-heran sendiri. Ketika saya tanya lagi: Apakah Kiai Shodiq mengamalkan doa itu?

Beliau menjawab: Tidak berani, karena khawatir akan “kepinteren,” terlalu cerdas seperti Gus Dur. Saya tetawa tergelak-gelak mendengar penjelasan Kiai Shodiq ini.

“Apakah saya boleh mendapatkan ijazah doa dari Gus Dur itu, Kiai Shodiq?” tanya saya.

Tanpa ba-bi-bu Kiai Shodiq langsung “mblandang,” lari ke kamar di rumahnya, mengambil pulpen dan kertas.

Beliau kemudian menuliskan doa itu, di teras rumah Gus Shidqon, putera beliau. Tulisan tangan Kiai Shodiq lumayan bagus, seperti tulisan tangan Kiai Muslih, gurunya itu.

Selesai menulis doa dari Gus Dur itu, beliau mengatakan “Ajaztu,” yang langsung saya jawab, “Qabiltu.”

Saya kemudian membaca dengan saksama doa yang diijazahkan Gus Dur tersebut. Setelah mengamat-amati sesaat, saya berkesimpulan: Tampaknya ini adalah “doa kendel,” doa untuk memompa keberanian menghadapi penguasa yang zalim atau siapapun yang “adigang-adigung-adiguna,” sombong dengan kekuasaannya.

Tahun-tahun akhir 80-an dan 90-an, sebagaimana kita tahu, Gus Dur sedang berhadapan dengan Pak Harto dan menjadi semacam simbol oposisi yang paling depan melawan otoritarianisme Orba. Puncak “konfrontasi” antara Gus Dur dan Pak Harto adalah Mukamar Cipasung pada 1994.

Baca juga:  Bacaan Shalawat Munjiyat Untuk Tercapainya Hajat

Sekarang saya menjadi sedikit tahu, kenapa Gus Dur “berani” melawan Pak Harto nyaris sendirian, sementara kekuatan-kekuatan Islam yang lain justru merapat ke pemerintah saat itu. Penjelasannya, antara lain (tentu tidak satu-satunya), mungkin karena Gus Dur memiliki doa “kendel” atau keberanian yang diijazahkan kepada Kiai Shodiq itu.

———-

Keterangan gambar: Kiai Shodiq sedang menuliskan doa yang diijazahkan Gus Dur.

https://alif.id/read/ulil-abshar-abdalla/suwuk-gus-dur-b238254p/