Bersahabat Tidak Harus Berdekatan

Laduni.ID, Jakarta – Namaku Zaki aku punya sahabat bernama Arjuna, kami berdua adalah Santri Kalibeber Wonosobo, sama sama pejuang penghafal wahyu Tuhan.

Kemana mana kita berdua, makan berdua, jajan berdua, bermain berdua, belajar bersama juga menghafalpun berdua. Akan tetapi ada kejadian nahas yang akhirnya memisahkan kita berdua, akhirnya bersahabat tidak harus bersama.

Ceritanya, suatu ketika ada maulid akbar di Kanzuz Sholawat Habib Luthfi bin Yahya, kita berdua sama sama fans beliau, sedangkan beberapa waktu lagi Ujian Nasional.

Kami sempatkan hadir di acara itu, aku pinjam motor kakakku, dan bersama sama hadir ke sana. Acara pun selesai, kita pun pulang dan duuuaaaarrr, di pertengahan perjalanan kami kecelakaan, tubuhku terpental jauh, kaki arjuna patah dan motor pun ringsek bagian depan.

Kaki Arjuna patah, padahal kurang beberapa hari lagi ujian, pupus sudah harapan ikut ujian dan Arjuna pun berteriak, tidaaaaaaaaak.

Arjuna shok, cita-cita dia menjadi tentara pun kandas gara-gara kakinya patah, aku hanya bisa menghiburnya untuk tabah menerima keadaan.

Waktu pun berjalan, Arjuna depresi tidak bisa menerima kenyataan, mulutnya komat kamit menyalahkan keadaan, juga menyalahkanku, menyalahkan mengapa harus ke acara itu.

Arjuna masih diberi kesempatan ikut ujian, saya bantu dia untuk belajar, temani dia agar tabah, dan agar tidak depresi.

Ruang ujian ada di lantai 3, kugendong dia dari lantai 1 sampai masuk ke dalam kelas, teman-teman pun terpana melihat kesetiaanku, pak guru pun memberi tepuk tangan, dan bilang di hadapan kelas “inilah sahabat sejati!”

Mungkin juga banyak yang menahan air mata karena itu.

Setelah ujian Arjuna semakin depresi, bahkan semakin menjadi-jadi dan dia gila. Lagi-lagi dia menyalahkanku, dia bilang aku tidak setia, dia bilang aku meninggalkannya dalam keterpurukan, padahal siapa lagi yang menggendongnya sampai lantai 3 ketika ujian? Siapa yang menemaninya belajar?

Keluarganya mengajaknya sowan ke Habib Luthfi untuk meminta doa berkah agar cepat sembuh, dan kembalilah dia ke rumah dalam masa penyembuhan dan tidak sekolah.

Di Masa senggang itu dia belajar kepada pamannya, mungkin pamannya ini adalah tipe penganut tasawuf falsafi gegeden akik kemebul menyan dan mengajarkan arjuna tentang Tauhid versi falsafi.

Kita terpisah jarak, rumahku Ungaran, rumah dia Kendal dan aku masih di pesantren. Selama dia gila dia selalu menyalahkanku, kirim pesan wa dengan umpatan-umpatan yang diulang-ulang, aku sedih dengan hal ini.

Pikiranku kacau, hafalanku berantakan, sedangkan kakakku juga mengejar-ngejarku agar segera khatam dan melanjutkan studiku ke Lirboyo, karena usiaku yang semakin dewasa sedangkan di sini hanya ada hafalan al Quran tanpa ada pelajaran kitab yang menopangnya, dan kakaku tidak mau dengan hal itu. Bagaimanapun juga aku dipaksa harus mondok ke pesantren kitab.

Dan memang ku akui kenyataannya demikian, meski aku sudah hafal al Qur’an tapi fikih dasar syarat sah sholat aku pun belum tau.

Kacau, sumpek, suntuk, pengen marah dan akhirnya pun aku marah sama kakak (Mas Tsabit) karena mengejar-ngejarku untuk segera khatam sedangkan dia nggak tau apa yang kualami dan hubungan kami pun renggang.

Setelah Arjuna ikut pamannya dia semakin gak jelas, makin gila setengah aneh semakin kamitasawufen, sedikit sedikit Allah, sedikit sedikit Allah yang dibicakan Allah terus Allah terus dan Allah terus tapi ya itu, maunya ceramah, ketemu orang ceramah, ketemu orang tuaku ceramah dan kalau dibantah atau dikritik marah-marah.

Akhirnya aku sadar, sudah saatnya aku menjauh dari Arjuna dan aku juga nggak bisa menyalahkan Mas Tsabit atas harapannya, aku menjauh darinya dan sekarang bagiku bersahabat tidak harus mendekat dan yang terbaik untuk saat ini adalah menjauh darinya meskipun kondisinya masih jadzab kamitasawufen seperti itu.

Aku berusaha segera mungkin mengkhatamkan al Qur’an bil ghoibku, dan segera menuruti arahan Mas Tsabit untuk segera ke Lirboyo.

Satu tahun sudah aku di Lirboyo, aku baru sadar dengan arahan Mas Tsabit, ternyata tidak cukup sekedar menghafal tanpa tau makna apa yang di hafal, aku pun semangat belajar mengejar ketertinggalanku di usiaku yang sudah 21 tahun.

Akhirnya aku pun meminta maaf ke kakak, dan akhirnya kita pun nyambung lagi bahkan tambah asyik, dulu ngobrol hanya sebatas obrolan kosong kini obrolan kita tidak lepas dari ilmu. Sekarang yang sering kita obrolkan tidak jauh dari fikh, nahwu, shorof, tafsir, motivasi hidup, peta hidup dan cita-cita masa depan.

Dan kini aku kembali ke pesantren, melupakan sahabat karibku Arjuna, menjauh demi kebaikan, dan kembali menapak perjalanan mencari ilmu yang mungkin masih 10 tahun lagi.

Sekian.

cerpen kisah nyata

Sumber: https://www.facebook.com/tsabit.ii.7/posts/277702200812849

https://www.laduni.id/post/read/72166/bersahabat-tidak-harus-berdekatan.html