Menyingkap Makna Al-Qur’an dan Sejarah Diturunkannya

Mayoritas ulama tafsir menyakini bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi saw. pada bulan Ramadan. Ya, dapat dikatakan semua ulama tafsir sepakar bahwa al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadan. Namun, timbul perbedaan. Ada ulama yang mengatakan bahwa di bulan Ramadan itulah bagian dari al-Qur’an diturunkan, yaitu ayat 1-5 dari Surah al-Alaq. Surah “Iqra! Ada lagi yang berpendapat bahwa keseluruhan al-Qur’an diturunkan ke langit dunia dari lauh al-mahfudz pada bulan Ramadan. Lalu, di Wahyukan kepada rasul sesuai dengan konteksnya.

Kita tak perlu terjebak pada perbedaan pendapat. Tetapi yang jelas, lima ayat pertama diturunkan di Gua Hira’ pada bulan Ramadan. Dan, ayat-ayat berikutnya diturunkan kepada Nabi dalam berbagai macam situasi dan kondisi. Penulis tak akan panjang lebar membahas ini, terutama tentang turunnya al-Qur’an, melainkan akan fokus membahas bagaimana bertadarus yang benar?

Syahdan, tadarus, yang kita kenal dengan “darusan” atau “nderes” ini dalam perjalanan sejarahnya menjadi tradisi membaca al-Qur’an setiap malam bulan Ramadan. Inilah yang terjadi saat ini. Yang tertinggal hanyalah kemampuan membaca aksara Arab yang ada di dalamnya.

Memang hal ini tidak jelek, karena di situ masih menunjukkan kecintaan umat pada al-Qur’an. Tapi sayang, al-Qur’an hanya sebatas menjadi bacaan yang tidak dimengerti kandungan atau makna yang terkandung didalamnya. Padahal, yang lebih penting bagi pembangunan umat adalah mengerti isinya akan al-Qur’an.

Dengan mengetahui dan mengerti akan isinya, bisa di pastikan dan kemungkinan besar seseorang akan selalu berperilaku dan bertindak positif, serta mencegah segala bentuk kejahatan, baik kejahatan pidana maupun perdata.

Baca juga:  Makna di Balik Keterkaitan Hijrah dan Jihad Menurut Syekh Nawawi Banten

Bertadarus yang benar

Sudah waktunya tadarus dilaksanakan sebagai upaya untuk memahami isi al-Qur’an. Tadarus tidak lagi dilakukan hanya dengan membaca al-Qur’an secara bergiliran. Jika tadarus model baca al-Qur’an secara bergiliran diteruskan tahun demi tahun, maka manfaatnya bagi pembangunan umat tak akan dapat dirasakan. Dalam zaman sekarang, tadarus yang hanya berfungsi untuk menyemarakkan malam hari di bulan Ramadan, itu sama saja dengan membuang-buang waktu dan energi.

Kita harus menyadari sepenuhnya fungsi waktu dan energi bagi kehidupan kita. Pepatah Arab sendiri mengatakan al-waktu ka al-sayf, waktu bagaikan pedang. Orang Inggris bilang bahwa time is money, waktu adalah uang. Apa artinya? Ya, waktu itu amat penting dalam kehidupan kita.

Waktu tidak dapat kita undur. Maka, bila kita kehilangan waktu, sama dengan belum tentu ada kesempatan yang sama. Sedangkan energi adalah power, tenaga. Kalau tenaga yang tersedia kita hambur-hamburkan, kita tidak dapat melangkah kedepan. Dengan demikian, waktu dan tenaga harus kita perhatikan benar dalam perjalanan hidup.

Sebulan penuh beriyadhah, ber-exercise untuk menahan gejolak nafsu lapar, haus, menahan birahi yang berlebihan, menahan gejolak emosi, melatih sabar, dan bertutur kata yang baik. Dan, malamnya digunakan untuk mendalami dan merenungi isi al-Qur’an. Hasil perenungan selama sebulan itulah yang harus diterapkan pada bulan-bulan berikutnya.

Ya, bulan syawal adalah bulan pertama untuk meningkatkan kualitas diri kita setelah kita sebulan berlatih. Jadi, bulan Ramadan bukanlah bulan yang di dalamnya dipergunakan untuk membunuh waktu, killing time.

Mengapa al-Quran perlu dikaji terus-menerus?

Untuk mendapatkan petunjuk yang segar secara terus-menerus. Karena dengan mengkajinya terus-menerus dalam suasana perenungan, akan terjadi interaksi dan refleksi pembacanya. Dari situ akan lahir ruh baru. Semangat baru bagi pembacanya dalam hidup ini.

Baca juga:  Tafsir Surah Al-Qariah (Bagian 1)

Ingat, al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi itu untuk menjadi petunjuk, penjelasan terhadap petunjuk itu sendiri, dan al-furqan pembeda yang jelas antara yang benar dan yang palsu. Hanya dengan mengetahui dengan jelas mana yang benar dan yang palsu, mana yang halal dan yang haram, kita dapat membangun kesejahteraan hidup lahir dan batin.

Nah, kita dapat bertadarus dengan benar bila di masjid-masjid tersedia orang yang mampu memahami al-Qur’an. Dengan cara mengajarkan makna dan pemahaman al-Qur’an, para peserta tadarus tidak lagi sekadar membaca bergiliran dan membaca ayat al-Qur’an sebanyak-banyaknya dalam satu malam. Beberapa ayat dalam satu juz kalau dipahami dengan benar akan memberikan faedah sebesar-besarnya bagi kehidupan pribadi maupun umat Islam.

Pada siang hari lapar dan haus ditahan. Gejolak emosi dikekang. Malam hari digunakan untuk membalas dendam dengan menyantap makanan yang lebih dari biasanya. Kalau perilaku yang semacam ini yang dilakukan selama bulan Ramadan, maka anak kecil pun bisa. Malam hari diisi dengan berbuka secukupnya, bukan masih terasa lapar atau kekenyangan.

Artinya, dalam kondisi badan yang nyaman ini, pada malam harinya digunakan untuk mentadarus al-Qur’an. Benar-benar mempelajari al-Qur’an secara bersama sama. Agar terjadi refleksi kolektif yang tumbuh dari dalam diri umat.

Baca juga:  Ketika Al-Qur’an Bercerita Tentang Wahyu

Bila kontemplasi dan refleksi umat terbentuk, dari situlah akan muncul tanda-tanda yang jelas tentang petunjuk. Petunjuk untuk menempuh hidup ini. Dan, tanda yang jelas, bukti yang terang atau bayyinat pada tahap berikutnya akan membangkitkan al-furqan. Dengan cara ini, akan terasa bahwa al-Qur’an tetap diturunkan selama bulan Ramadan. Bulan-bulan berikutnya merupakan wahana bagi penerapan makna-makna ayat yang telah dikaji dan dipelajari selama malam-malam Ramadan.

Dalam berbagai kitab tafsir, alfurqan diterjemahkan sebagai “pembeda yang benar dan yang salah”. Ya, makna dasar dari furqan adalah standar atau patokan. Standar untuk bisa menilai mana yang asli dan mana yang palsu. Mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi, redaksi QS. Al-Baqarah [2]: 185 itu luar biasa sangat mengagumkan.

Jelasnya, setelah seseorang mendapatkan petunjuk, maka ia akan menerima pula penjelasan yang gamblang tentang petunjuk itu. Baru kemudian, ia mampu membedakan mana yang benar dan mana yang palsu!

Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar pada abad XIII, menyatakan bahwa al-Qur’an itu bagaikan pengantin wanita yang masih bercadar. Itu artinya, untuk mengetahui keindahan isinya kita tidak cukup dengan membacanya saja. Kalau hanya sekedar membaca, sama seperti melihat pengantin yang bercadar. Kita tak pernah tau kecantikannya. Apalagi mengenal lebih dalam. Karena itu, kita harus berinteraksi dengan al-Qur’an secara intensif. Baru, kita tahu hikmah yang ada di dalamnya. Wallahu alam bisshawaab.

https://alif.id/read/safa/menyingkap-makna-al-quran-dan-sejarah-diturunkannya-b247530p/