Catatan Refleksi Peran Perempuan di Masjid Selama Bulan Ramadan

Ini pertama kalinya saya menjalani bulan puasa tanpa kehadiran ayah dan ibu. Bukan sekadar puasa yang biasa saya lakukan, sedikit tadarus Qur’an, banyak tidurnya lalu berbuka puasa dan dilanjutkan dengan salat tarawih.

Tetapi mau tidak mau saya harus bisa dan kedepannya terbiasa dengan peran ini. Peran menggantikan kerja-kerja baik yang ayah dan ibu lakukan di sepanjang hidupnya dalam meramaikan masjid yang sudah 3 generasi dikelola oleh keluarga kami. Saya bersama anggota keluarga yang lainnya adalah generasi ketiga.

Ramadan berlalu begitu cepat tapi saya berharap Allah mengizinkan saya untuk kembali menjumpainya di tahun yang akan datang selagi nafas masih di kandung badan. Sepengalaman saya, ada beberapa hal yang menjadi catatan refleksi yang harus saya tulis agar menjadi pengingat bagi kita bersama:

Pertama, petugas Ramadan tidak harus laki-laki. Ayah dan ibu mengajarkan hal tersebut sejak kami masih di usia dini dari apapun yang mereka lakukan untuk khidmat dalam mengurus masjid.

Mulai dari pembuatan daftar sedekah takjil warga sekitar, pembuatan jadwal MC, bilal, imam, dan kultum serta amil zakat dapat dilakukan oleh siapapun baik laki-laki maupun perempuan asal mereka bisa dan terbiasa serta memiliki keahlian di bidangnya.

Saat ada yang ingin berzakat dan tidak ada ayah, maka ibu yang akan menjadi amil zakat. Begitu pun sebaliknya. Maka beruntunglah saya saat ini, karena masyarakat sekitar sudah terbiasa dengan hal tersebut sehingga tidak mempermasalahkan manakala tidak ada suami maupun pengurus masjid lainnya dan mengharuskan saya yang menjadi amil zakat.

Baca juga:  Sufi Perempuan: Hafshah dari Bashrah

Kedua, merapikan masjid sebelum Ramadan dan menjelang Idulfitri. Mengingat 2 tahun terakhir telah kita lalui bersama pandemi Covid-19 dimana hal tersebut menyebabkan tergulungnya karpet-karpet masjid, maka saya pun berinisiatif untuk membuka kembali gulungan karpet sajadah tersebut agar dapat dipakai oleh jama’ah.

Meski kami memiliki alat penyedot debu untuk karpet, namun tentu treatment dan hasilnya jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh penyedia jasa cuci karpet profesional.

Di Jabodetabek sendiri, ada banyak jasa cuci karpet, namun saya mencoba mencari yang memiliki treatment khusus untuk masjid baik dengan pencucian karpet sajadah gratis maupun bersubsidi. Karena tidak sempat membuat proposal, akhirnya saya menemukan jasa cuci karpet sajadah masjid yang bersubsidi dan pengerjaannya sangat baik.

Perihal cuci karpet ini pun menjadi catatan bagi saya dan pengurus masjid lainnya, jika ingin menggunakan jasa cuci karpet gratis maka kami harus mempersiapkan proposal jauh-jauh hari seperti di bulan Rajab atau Sya’ban agar ketika Ramadan tiba semua karpet sajadah sudah terpasang kembali.

Ketiga, banyak orang berbondong-bondong ingin bersedekah di bulan Ramadan, oleh karena itu, sedekah perlu dibagi rata dari awal hingga akhir Ramadan dengan sistem penjadwalan agar setiap harinya ada tak’il gratis untuk jama’ah masjid yang diberikan dari warga sekitar dan dikelola oleh pengurus masjid.

Yang perlu diperhatikan juga adalah pertimbangan pembagian hari jadwal sedekah ta’jil dengan kesediaan warga sebagai penyedia ta’jil. Meski semua ingin bersedekah dan mendapatkan berkah, tidak semua warga mau begitu saja mendapatkan jadwal sebagai penyedia ta’jil secara acak.

Baca juga:  Adil Terhadap Perempuan (5): Kampus Darurat Kekerasan Seksual

Oleh karena itu, sebagai pengurus masjid, kita harus mengingat siapa saja masyarakat yang bekerja weekdays dan libur hanya di hari Sabtu dan Minggu untuk menjadwalkan mereka di hari tersebut agar dapat mempersiapkan ta’jil terbaiknya.

Sepengalaman saya, karena di lingkungan saya masih banyak masyarakat yang ingin menyiapkan ta’jil secara homemade atau hasil buatan sendiri, maka penentuan hari pembagian ta’jil ini cukup penting bagi mereka yang hanya libur di hari Sabtu dan Minggu.

Namun beruntungnya jika kelalaian ini terjadi, biasanya masyarakat mau berkompromi dengan cukup memberikan dana kepada pengurus masjid untuk dibelikan sajian ta’jil.

Keempat, memberikan apresiasi kepada pengurus masjid dan petugas salat Tarawih. Saya terbiasa melihat ayah dan ibu memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pengurus masjid maupun konsumsi untuk petugas salat Tarawih. Oleh sebab itu, saya pun berusaha untuk melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan. Bahkan jika bisa lebih baik.

Karena masjid ini pengurusnya tidak hanya saya, tentu ada perbedaan pendapat dalam menentukan hal-hal yang sifatnya apresiasi. Tetapi beruntungnya, semua mufakat seiring berjalannya waktu dan melihat situasi serta kondisi untuk memberikan sebisa mungkin yang terbaik untuk para petugas.

Mungkin terlihat sederhana, namun tanpa petugas salat Tarawih, akan banyak hal-hal yang sifatnya teknis namun terbengkalai karena tidak semua masyarakat bisa dan mampu menggantikan tugas tersebut.

Kelima, meneruskan tradisi pengajian Ramadan. Di Jakarta maupun di kota lainnya, biasanya majelis ta’lim ditutup menjelang Ramadan. Namun saya yang pernah menjadi guru TPQ di Jogja saat kuliah, sangat rindu suasana anak-anak meramaikan pelataran masjid menjelang waktu berbuka puasa.

Baca juga:  Bagaimana Poligami Dipraktikkan dalam Kehidupan Sehari-hari

Ternyata hal tersebut pun dilakukan oleh Ibu satu tahun yang lalu. Biasanya pengajian ditutup menjelang Ramadan dan anak-anak pengajian atau panggilan kesayangan mereka adalah anak-anak Bunda hanya diundang ketika ada undangan buka bersama dari instansi atau perusahaan yang berjejaring dengan almarhum Ayah dan Ibu.

Namun tahun lalu beliau berbuka puasa bersama anak-anak Bunda setiap hari bahkan diistilahkan dengan pesantren kilat. Dari subuh mengaji hingga seusai tarawih pun masih mengaji meski tidur tetap di rumah masing-masing.

Ketika menjelang Ramadan, sebetulnya saya tidak siap, namun saya tetap bertanya pada mereka, apakah mereka ingin melakukan hal serupa, dan mereka merespon dengan positif. Saya pun bertanya kepada salah satu alumni PP. Sunan Pandanaran yang melakukan hal serupa meski hanya satu hari.

Karena dukungan dari beliau dan pelaksanaan teknis saat pesantren kilat tersebut, akhirnya saya mencoba untuk meneruskan yang Ibu lakukan. Awalnya saya menjadwalkan akan usai saat Nuzulul Qur’an. Tetapi ternyata niat saja belum mampu untuk merealisasikannya dan saya hanya mampu melaksanakan kegiatan tersebut selama sepekan.

Ini menjadi catatan penting bagi saya agar di tahun yang akan datang jika Allah masih mengizinkan saya bertemu dengan Ramadan, bukan hanya tekad, niat dan jadwal yang perlu saya siapkan, tetapi juga keluangan waktu, keridhoan dari keluarga, dan lillahi ta’ala tentunya.

Semoga catatan rerfleksi ini bermanfaat. Wallahu a’lam.

https://alif.id/read/kir/catatan-refleksi-peran-perempuan-di-masjid-selama-bulan-ramadan-b247585p/