Apa kaitan antar menjaga relasi (hubungan baik), tour and travelling serta merawat ikatan kerabat dan kasih sayang?
Mungkin kata plesetan ini bisa mewakilinya: Sila-Tour-Rahmi. Saya mengadopsinya dari frasa silaturrahmi yang tentu sudah populer di negeri kita bahkan dunia Islam. Sebagian orang lebih suka menggunakan silaturrahim, yang dalam bahasa makna Jawa ala kitab kuning diartikan sebagai nepung sanak atau menyambung ikatan darah karena disatukan lahir dari rahim (janin) yang sama secara geneologis. Sedang silaturrahmi lebih universal, ketersambungan (berasal dari kata Arab: sillah) kasih-sayang (arrahmi) antar sesama manusia dan hamba Allah.
Yang jelas, Rasulullah SAW sangat menganjurkannya. Berderet hadits nabi sudah pernah disabdakan dengan narasi (matan) hadits yang variatif. Pesannya cukup kuat: jaga tali silaturrahmi dan jangan pernah memutuskannya. “Barangsiapa yang senang diluaskan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung hubungan (silatur) rahimnya.”
Dan begini ancaman Nabi (diriwayatkan Imam Bukhari-Muslim) pada yang coba-coba putus hubungan: “Tidak akan pernah masuk surga orang yang memutuskan (silaturahmi).”
Para leluhur kita di nusantara pun kuat menanamkan norma hubungan kekeluargaan ini. Sebuah pertemuan konsep yang indah antara Islam dan budaya nusantara (yang belakangan sering disebut-sebut sebagai Islam Nusantara atau Islam Walisongo).
Setiap orang diharuskan mengetahui siapa dirinya dan siapa saja orang dan moyang yang menjadi lantaran dirinya ada kini, baik dari jalur ayah ataupun dari trah ibu. Setelah dia mengetahuinya garis geneologis secara vertikal, setelah itu dia akan mengetahui siapa saja yang terikat sebagai saudara atau keluarga secara horisontal. Setelah tahu, paham lantas berkumpul dalam forum kultural kekerabatan macam Halal Bihalal, Temu Kerabat, atau sejenisnya.
Inilah titik temu agama dengan budaya. Perintah wajibnya silaturahmi dijawab dengan tradisi Halal Bihalal Bani dan Pertemuan Rutin Keluarga Besar. Dalam forum-forum itu, biasanya para pinisepuh akan menjelaskan silsilah dan cerita keteladanan dari para simbah terdahulu. Tak jarang forum beginian juga berujung sebagai ajang biro jodoh antar sepupu atau relasi keluarga yang lebih jauh. Perjodohan ini merekatkan yang mulai renggang, walau kadang kala rumit juga. Seorang perempuan terpaksa harus memanggil ‘mas’ kepada kerabat yang mestinya dipanggil ‘adik’ atau paman karena kini telah menjadi suaminya.
Bahkan tradisi Jawa lebih detail menjelaskan tingkatan leluhur di atas ayah, kakek dan seterusnya. Tradisi Arab dalam menampilkan silsilah keturunan, cukup hanya dengan urutan Fulan bin Fulan bin Fulan dan seterusnya.
Dalam tradisi Jawa dikenal ada konsep 10 tingkatan garis keturunan yang masing-masing ada namanya. Untuk urutan moyang bapak atau romo ke atas diberi nama seperti ini: bapak, mbah, mbah buyut, mbah canggah, mbah wareng, mbah udeg-udeg, mbah gantung siwur, mbah gropak sente, mbah debog bosok, dan mbah galih asem. Demikian pula urutan ke bawah dari anak, putu, putu buyut, putu canggah, putu wareng, putu udeg-udeg, putu gantung siwur, putu gropak sente, putu debog bosok, dan putu galih asem untuk keturunan ke sepuluh.
Tidak berhenti hanya sampai di tingkat ke sepuluh. Tradisi Jawa juga mengenal garis geneologi tingkatan ke-11 hingga 18, baik untuk garis leluhur moyang atau pun 18 keturunan ke bawah.
Ini urutannya: Gropak waton, Cendheng, Giyeng, Cumpleng, Ampleng, Menyaman, Menya-menya dan Trah tumerah untuk garis ke-18. Tentu ini adalah sebuah peradaban yang sangat luhur bagi sekelompok manusia berbangsa nusantara. Sebuah transmisi nilai yang nyaris sempurna, perjumpaan nilai yang agung antara konsep agama dan budaya.
Dari konteks ini, maka hiruk-pikuk lebaran dengan aneka variannya macam tradisi mudik, unjung-unjung, nglencer, pertemuan keluarga-bani-dzurriyah sangat mudah dipahami sebagai sebuah strategi kebudayaan atas pengejawantahan nilai dan perintah agama untuk pantang memutus ikatan keluarga (besar).
Bahkan dari sistim kekeluargaan tertutup karena hubungan darah (silaturrahim), forum ini kemudian menginspirasi lahirnya tradisi merajut ikatan persaudaraan yang lebih universal berbasis kasih-sayang (silaturrahmi) di ranah komunitas, teman seperjuangan hingga relasi sosial bahkan bisnis dalam bentuk Halal Bihalal, Reuni dan aneka community gathering lainnya.
Dan menariknya, kohesi sosial-spiritual semacam ini masih dipadu padan dengan daya tarik lainnya, yakni kebutuhan sekunder masyarakat modern berupa eksotika wisata, journey, tour and travel! Mudik menjadi menarik, tentu karena spirit agama untuk bersilaturrahmi (ke sanak kerabat di kampung) yang dikemas dalam perjalanan wisata yang menjajikan keindahan dan relaksasi. Inilah paduan indah antara Tour dan Silaturrahmi. Sekali lagi, saya menyebutnya: Sila-Tour-Rahmi..
https://alif.id/read/hakim-jayli/sila-tour-rahmi-lebaran-b247608p/