Dulu, generasi kakek dan buyut saya hidup di era Presiden Soekarno bahkan di zaman pra-kemerdekaan RI. Dia sangat peka dan peduli kepada benda-benda pusaka yang dipercayai banyak orang Jawa, seperti keris, batu cincin hingga cara-cara berpakaian ala Jawa. Mereka adalah generasi masyarakat yang percaya pada segala hal yang berkaitan dengan sakralitas kosmik, meski belum pantas dikatakan sebagai manusia beragama secara otentik (homo-relegious).
Sebagai pendatang Jawa ke wilayah Banten (bekas tanah Pasundan), mereka pun harus beradaptasi dengan kehidupan religius masyarakat Banten. Di hari Jumat, mereka ikut melaksanakan salat Jumat dan mengenakan sarung dan kopiah hitam. Generasi kakek saya malah pernah berangkat bersama para jamaah ke Kota Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Mekah orang-orang memanggilnya “Pak Haji” dengan ciri khas mengenakan peci putih bundar yang rajin dikenakannya, dan telah dibelinya dari pasar-pasar di sekitar Masjidil Haram.
Secara fisik, generasi kakek saya tampak sebagai seorang religius (homo-religious). Mereka mendengar pidato-pidato Soekarno melalui siaran radio, menggelorakan pekik kemerdekaan, memiliki jiwa dan semangat perjuangan merebut kemerdekaan, mengikuti berita-berita tentang perkembangan Indonesia Baru (pasca kemerdekaan) yang dilandasi kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun tetap masih melekat kepercayaan purba pada kesaktian benda-benda pusaka yang disimpannya secara khusus, yang sebenarnya tidak ada dalam kosmos ajaran monoteisme (Islam).
Akulturasi budaya dan peradaban semakin dirasakan di ranah Banten yang didominasi masyarakat Jawa, Sunda, Tionghoa hingga Betawi. Mayoritas masyarakat beragama Islam, meskipun beberapa bangunan gereja di sekitar kota Serang hingga Tangerang, yang pernah didirikan sejak zaman Hindia Belanda juga dikunjungi oleh para penganut Kristiani. Sebagaimana Vihara di sekitar Banten Lama hingga Rangkasbitung, juga dikunjungi para penganut agama Kong Hu Cu (Confucius). Masyarakat minoritas suku Baduy yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan semakin berhijrah ke selatan Banten (Lebak), meski sebagian besar dari suku Baduy Luar telah menyandang KTP dengan identitas Islam sebagai agama mereka.
Dengan identitas KTP dan pakaian ala “Pak Haji”, generasi kakek saya seakan tidak lagi menjadi penganut kepercayaan leluhur Jawa (Kejawen). Dengan mengamalkan aktivitas keberagamaan dan melebur dengan mayoritas muslim Banten, seakan layak bagi mereka untuk disebut sebagai manusia religius (homo-religious).
Kemudian, datanglah generasi pasca kakek, yakni generasi orang tua saya. Seumumnya mereka melangsungkan pernikahan dengan generasi ibu saya sekitar tahun 1965-an, suatu era baru peralihan kekuasaan dari pemerintahan Soekarno kepada era militerisme Soeharto. Buku Pikiran Orang Indonesia yang ditulis putera kelahiran Banten, dengan fasih menggambarkan era ini pada bab-bab awal. Kekisruhan politik di Jakarta dan sekitarnya merebak sebagai momentum perebutan kekuasaan dari masyarakat sipil menjadi kekuasaan balatentara yang menamakan dirinya sebagai “Orde Baru”.
Di tangan kekuasaan militerisme, pembangunan sarana dan infrastruktur dimulai dengan adagium “Ideologi Pembangunan”, lalu penguasa baru digadang-gadang sebagai “bapak pembangunan”. Investor-investor datang membanjiri negeri ini. Bantuan-bantuan ekonomi dimanfaatkan untuk pembangunan gedung-gedung megah di sana-sini. Kekayaan alam dikeruk dan jalur-jalur perekonomian dibentangkan, kemudian keuntungannya dimanfaatkan. Pengusaha-pengusaha asing diundang demi kelestarian dan jaminan keamanan kapitalnya.
Tawaran jutaan dollar yang dipromotori IMF sebagai modal pembangunan sungguh menggiurkan. World Bank, IGGI dan sekian lembaga internasional menawarkan program-programnya. Persis seperti yang ditengarai seorang pakar ekonomi, Profesor Kurt Biedenkopf yang menyatakan: “Ternyata bangsa-bangsa kaya hanya dapat bertahan dengan melakukan ekspansi besar-besaran untuk mengeksploitasi bangsa-bangsa miskin di dunia ketiga.”
Bagi ideologi pembangunan Orde Baru, biar sajalah tatanan ekonomi berjalan. Segalanya mungkin bagi manusia dan boleh dikerjakan oleh siapapun. Untuk itu, para anak-cucu dan kerabat terdekat dipercayakan untuk menangani bisnis-bisnis penting berskala besar. Kerajaan Sambo berdiri di mana-mana. Segala sarana dan fasilitas segera dipermudah. Maka, segala kebutuhan masyarakat semakin diproduksi, agar produsen memproduksi pemenuhan kebutuhan yang terus-menerus disiasati.
Tidak usah dipikirkan mana kebutuhan yang sebenarnya, dan mana yang harus direkayasa sedemikian rupa. Sampai produksi menjadi tuan dari kebutuhan dan dari manusia. Produksi mengabdi pada manusia ataupun manusia mengabdi demi produksi. Untuk kelancaran semuanya, mau tidak mau harus diperjelas siapa yang harus dibantu dan dilindungi, dan siapa-siapa yang pantas untuk “dikorbankan”.
Sistem ekonomi koperasi yang digagas oleh Mohammad Hatta seakan diabaikan, meski KUD didirikan sebagai tameng belaka. Segala sistem aparatur sampai lembaga-lembaga keagamaan, harus ditangani dan dikendalikan oleh negara. Para tokoh agama, budayawan hingga cendikiawan harus ditundukkan untuk mengabdi pada kebijakan dan ketetapan pemerintah, karena yang boleh berlaku hanyalah ideologi dan tafsiran negara. Maka, diputuskanlah untuk membentuk tim propaganda khusus bersama departemen penerangan, guna menyeragamkan segala informasi pada seluruh lapisan masyarakat, hingga kalangan ulama dan kiai-kiai di seluruh pelosok negeri.
Kemudian, muncullah generasi “saya” yang dengan cermat dituangkan oleh tokoh-tokoh utama dalam novel Pikiran Orang Indonesia. Seumumnya dilahirkan pasca 1965 hingga memasuki generasi anak yang terlahir saat memasuki era milenial dan maraknya transformasi digital saat ini (baca cerpen: “Lebih Ekstrem Lagi”). Dengan warna-warni budaya dan peradaban, kini tak ada lagi sekat-sekat pembatas, yang membuat setiap individu merasa berharga dan terhormat, dan tiap satu orang warganegara yang diperlakukan tidak adil, berhak untuk menyatakan pendapatnya ke ranah publik.
Warna-warni peradaban meniscayakan lahirnya generasi yang menolak sakralitas kosmik dengan meninggalkan segala aksesoris jimat dan takhayul. Konsekuensinya, setiap orang Indonesia jadi melek ilmu dan melek literasi. Karya-karya sastra yang ditulis Afrizal Malna, Ayu Utami, Hafis Azhari, Joko Pinurbo, Dee Lestari, Irawaty Nusa, Eka Kurniawan, Muakhor Zakaria, Supadilah Iskandar, Ahmadun Yosi Herfanda, Chudori Sukra, Djenar Maesa Ayu, Indah Noviariesta, jadi melebur menyatu tanpa adanya sekat-sekat senior-yunior. Segalanya dengan mudah diakses secara gratis dan meriah melalui jaringan internet.
Kini, para penulis dan sastrawan Indonesia mestinya tidak lagi disibukkan oleh urusan royalti maupun sibuk “jualan buku”, karena mereka meraih banyak pahala dengan menyedekahkan karya-karya terbaik mereka. Bukankah menghibahkan dan menghadiahkan kebaikan itu akan diganjar berlipat-lipat oleh kebaikan yang sama? Ngapain juga harus sibut ngurusin duit, yang sekadar sarana finansial berupa koin dan kertas yang kadang meninabobokan, bahkan menumpulkan daya nalar dan kreativitas? Kenapa kebanyakan penulis Indonesia selalu mengidentikkan kata “rizki” dengan urusan uang dan fulus melulu?
Maka, era generasi milenial yang kompleks dan beragam ini, meniscayakan lahirnya manusia-manusia profan atau post-industrial, generasi non-religious, bahkan hingga generasi new-atheist . Semuanya berhak mengada, mewujud dan menampilkan eksistensi dirinya. Mereka adalah generasi yang sejajar dengan era pasca cendekiawan Cak Nur, Gus Dur hingga Buya Syafii Maarif.
Kemunculan generasi yang menamakan dirinya aktivis 1998 juga merupakan keniscayaan sejarah, bahkan hingga kemunculan Presiden Jokowi (sipil), Anies Baswedan, Imam Samudera, Amrozi, Najwa Shihab, Rosiana, Witjaksono, Ngabalin, Rizieq Shihab, Ferdi Sambo, Rocky Gerung dan seterusnya (baca cerpen: “Wanita Misterius dari Jakarta”).
Inilah era ketika kultur lama yang feodalistik dan paternalistik sudah dianggap usang (obsolete) dan semakin terdisrupsi oleh keniscayaan hukum alam (sunatullah). Apakah dengan demikian kita terhanyut dalam arus kerumunan yang berpendapat bahwa kiamat sudah dekat? Bukankah fenomena ini selalu saja terjadi dalam wacana-wacana agamawan ortodoks di era penemuan mesin cetak,, telepon, radio hingga televisi beberapa waktu lalu?
Secara prinsipil saya berpendapat, bahwa hidup manusia harus baik dan teratur, namun bukanlah keteraturan yang berlebihan sebagaimana barisan kaum fasisme dan militerisme. Kita harus hidup bersih karena kebersihan adalah sebagian dari iman. Tapi kita juga tidak selayaknya bersih secara berlebihan (overmedicated) sebagaimana para penderita neurosis obsesional. Kita selayaknya menjadi manusia beragama (homo religious) dan melakukan ibadah sesuai kepecayaan masing-masig. Namun, beribadah secara berlebihan, sampai meninggalkan urusan dan kepantingan duniawi, juga tak diperkenankan.
Kita selayaknya belajar hingga menjadi ahli-ahli ilmu, tetapi kekuatan ilmu tanpa dibarengi keimanan juga akan menjerumuskan orang kepada keangkuhan intelektualisme yang berlebihan. Kita selayaknya bersembahyang hingga menjadi ahli-ahli ibadah, tetapi berhati-hatilah, karena tidak sedikit para ahli ibadah yang terjerumus dalam kesesatan. Jadi, harus bagaiamana dong?
Nabi Muhammad memperingatkan kita agar menjadi manusia pertengahan (ummatan wasatho), dengan prinsip sederhana, bahwa manusia harus berjuang untuk kepentingan dunia seakan-akan dia dapat hidup selamanya, tetapi jangan lupa beribadah di hadapan Tuhan seakan-akan kematian akan menghampirinya.
Pada prinsipnya, menjadi manusia profan atau homo non-religious, bukan berarti menjadi manusia Indonesia yang tidak beragama (agnostik) bahkan anti Tuhan (atheist). Tetapi, justru telah meningkat dari fase manusia sakral ke manusia profan, post-industrial, yang tetap berpijak pada religiositas dan spiritualitas, namun telah mengalami fase keimanan yang lebih cerdas, dewasa, bahkan telah menemukan fase kesejatiannya. ***
https://alif.id/read/alw/filosofi-religiositas-manusia-indonesia-b247617p/