Kiprah Para Artis Keturunan Habaib: Dari Penyanyi hingga Pemain Film

Tidak sedikit artis berkiprah di industri hiburan, yang memiliki garis keturunan dari Nabi Muhammad (habaib) di Indonesia. Karya-karya mereka makin mudah kita lacak di berbagai platform media sosial hingga hari ini. Kita sebut saja beberapa nama yang merupakan cikal-bakal lahirnya generasi anak, cucu hingga cicit. Misalnya dari keluarga besar Syech Albar (orang tua Achmad Albar) hingga Bing Slamet (orang tua Adi Bing Slamet).

Di antara keluarga habaib yang berkiprah di dunia perfilman, bahkan tidak sedikit yang berperan sebagai aktor laga papan atas. Mulai dari era pra-kemerdekaan hingga saat ini. Wajah mereka hampir tiap hari menghiasi ruang pandang, hingga memasuki anjungan pengidolaan anak-anak muda kita. Mereka berkecimpung di bidang kehidupan yang kelak akan dikenal sebagai lahan industri budaya populer. Kreativitas mereka dimanfaatkan para pemodal untuk menghidupkan bara api hasrat berhibur dan penghiburan masyarakat. Melalui teknologi alat rekam hingga dunia digital, mereka menjadi subjek sekaligus objek industri hiburan di Indonesia.

Dalam buku “Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music”, Andrew Weintraub menyatakan, bahwa Syech Albar (1908-1947) adalah salah satu di antara pentolan dan pemrakarsa kelahiran dangdut di Indonesia. Di tahun 1937, ia menciptakan sejumlah lagu padang pasir lewat album “Zahrotul Husein” yang diterbitkan oleh His Master Voice. Di era yang bersamaan, muncul Husein Aidid (1913-1965), dari Pekojan, Jakarta Barat. Aidid menancapkan bendera Orkes Gambus Al-Usyaag, yang di tahun 1960-an berhasil menerbitkan album Orkes Melayu Kenangan. Kemudian, ia pun bergabung dengan orkes gambus Al-Wathan pimpinan Hasan Alaydroes.

Tak kalah populer, di tahun 1968 muncullah sosok legendaris Oma Irama yang kemudian mengganti nama menjadi “Rhoma Irama”. Ia mengawali karir musiknya bersama Umar Alatas yang lebih senior dan profesional. Bersamaan dengan itu, muncullah seniman dan artis prolifik lainnya, yakni Bing Slamet, yang kemudian terus meningkatkan profesinya ke dunia komedi, teater hingga bintang film.

Nama keturunan habaib lainnya yang menghiasi dunia hiburan kita adalah Hoesin Bafagih (1900-1958) dan AR Baswedan (1908-1986), yang merupakan kakek dari mantan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan. Sejak pra kemerdekaan RI, Hoesin Bafagih telah dikenal sebagai editor majalah Aliran Baroe. Salah satu naskah dramanya, Fatimah (1938), terbilang sebagai karya besar yang berani dan lantang menggugat ketidakadilan dan keculasan para rentenir Arab di Nusantara. Setelah drama Fatimah dipanggungkan di Semarang, Jakarta, dan Surabaya, surat kabar dan harian di seluruh Indonesia serentak mengalirkan pujian dan sanjungan (Algadri 1984, 26).

Di dunia perfilman, tercatat nama A.N. Alcaff atau Achmad Nungcik Alcaff (1925-1992). Habib dari marga Al-Kaff ini dilahirkan di Jambi, dan telah membintangi beberapa film terkenal sejak era 1950-an, di antaranya Dosa Tak Berampun. Ia memuncaki daftar aktor terbaik Festival Film Indonesia (FFI) pada 1955, lewat perannya sebagai Iskandar dalam film Lewat Djam Malam (1954) garapan Usmar Ismail. Ia pun pernah bekerjasama dengan Ali Albar, sebagai aktor dalam film Segenggam Tanah Perbatasan yang diperankan bersama Suzanna dan Dicky Zulkarnaen.

Baca juga:  Semangat Toleransi dalam Sinema Lintas Ruang (2): Qu’est-ce qu’on a fait au Bon Dieu? Cara Prancis Menghakimi Stigma dalam Multikulturalisme

Nama lain yang patut dicatat adalah Alwi Alhabsyi (1939-1983). Bersama Oslan Husein, mereka berduet meluncurkan lagu-lagu dangdut yang terhimpun dalam album “Alwi & Oslan”. Sejak masa kanak-kanak, Alwi telah menekuni drama dan puisi, serta beberapa kali mementaskan puisi di RRI Jakarta dalam acara Panggung Gembira yang dipandu oleh Pak Kasur. Sejak memainkan film Bintang Peladjar (1957) wajah Alwi kian wira-wiri dalam berbagai film terkenal, di antaranya Iseng (1959), Madju Tak Gentar (1965), Pinangan (1976) dan Kembang-kembang Plastik (1977).

Dari generasi 1940-an, kita pun mengenal nama lainnya, Ali Shahab (1941-2018), sebagai adik kandung budayawan Betawi, Alwi Shahab (1936). Alwi dikenal juga sebagai penulis naskah drama dan film, wartawan, dramawan, karikaturis, dan novelis. Sejak 1969, Alwi telah menerbitkan lebih dari 20 buku dan novel, juga menyutradarai beragam film, serial drama di televisi, dan opera sabun.

Nama tak asing lagi adalah Muchsin Alatas yang menikahi Titiek Sandhora. Sejak era 1970-an Muchsin telah membintangi banyak film. Ia juga kreatif berkarya menciptakan lagu-lagu dari berbagai aliran musik, di antaranya dangdut, pop melayu maupun kasidah. Ia juga mendapat kehormatan sebagai penyanyi tetap Sriwidjaja Grup dan Gita Bahari Grup.

Kreasi Utsman al-Bantani

Hasil kerja ilmiah dalam buku “Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia” (2022) oleh putera kelahiran Banten, Imaduddin Utsman al-Bantani memang memiliki validitas data yang layak diandalkan. Terlepas ada bagian kecil yang digugat dan dipersoalkan akhir-akhir ini, toh tidak menghilangkan urgensi dan orisinalitas data-data yang cukup akurat di dalamnya. Kita pun akan mengulas dan menelisik lebih jauh perihal para artis yang berkiprah di industri hiburan, khususnya mereka yang bersambung nasabnya dengan Nabi Muhammad melalui jalur Walisongo, raja-raja atau para sultan di Nusantara.

Di wilayah Banten sendiri, kita mengenal Tubagus atau Ratu yang memiliki silsilah ke atas hingga Sunan Gunung Jati dari berbagai jalur. Hanya masalahnya, kebanyakan mereka sudah menusantara atau mengindonesia, sehingga identitas kehabiban mereka sering tidak terpindai, bahkan kerap diacuhkan oleh banyak pihak. Ini berbeda dengan anak keturunan habaib dari Hadhramaut yang masih terlihat ciri fisiologisnya, dan terutama penyematan marga di belakang namanya.

Penulis novel Pikiran Orang Indonesia, Hafis Azhari, kelahiran Banten Utara (Cilegon) dari keluarga saudagar asal Temu Putih (Muhammad Ali), termasuk pendatang di tanah Pasundan yang silsilahnya boleh jadi menjurus ke Sultan Hasanudin (Cirebon). Ia pun menulis biografi beberapa kiai NU dan pemimpin pesantren, di antaranya Kiai Anang Azharie (Al-Mizan), Kiai Eeng Nurhaeni (Al-Bayan), Kiai Syahiduddin (Daar el-Qolam), Kiai Sulaiman Effendi (Manahijussadat), juga Kiai Rifai Arief yang merupakan murid dari Kiai Imam Zarkasyi (Gontor), yang juga silsilahnya menjurus ke Sunan Gunung Jati.

Baca juga:  Bahasa dan Sastra Pesantren (1): Variasi Bahasa dalam Sejarah Pesantren

Kembali ke era 1950-an, ada lagi nama Djamaludin Malik yang menikahi Farida Alhasni. Dari keduanya dikaruniai bintang dan artis terkenal Camelia Malik. Ia memiliki darah “kenabian” dari jalur ibunya, Farida Alhasni, yang juga merupakan ibu kandung Achmad Albar. Djamaludin dikenal sebagai bapak industri film Indonesia, setelah garis ibu marga Alhasni itu bercerai dari Syech Albar. Camelia Malik, dengan demikian adalah adik tiri rocker Achmad Albar. Ia mulai merambah dunia film sejak usia remaja, pernah membintangi film Ratna (1971) bersama bintang film terkenal, Rachmat Kartolo (1938-2001).

Oleh sang suami, Reynold Panggabean, Camelia Malik diorbitkan sebagai penyanyi muda sejak 1970-an. Sejak menyanyikan lagu Colak-Colek, namanya langsung melejit hingga dapat disejajarkan dengan Rhoma Irama.  Muchsin Alatas, Elvy Sukaesih, Rita Sugiarto dan Ellya Khadam. Sejak saat itu, Camelia terus bernyanyi dengan lagu-lagu dangdut legendaris melalui album Raba-Raba (1980), Ceplas-Ceplos, Gengsi Dong, Wakuncar, Murah Meriah, hingga Rekayasa Cinta (2002). Di dunia perfilman, kesuksesannya juga terus melangit melalui film Nada-Nada Rindu (1987) hingga Jaka Swara (1990) yang dimainkan bersama raja dangdut, Rhoma Irama.

Setelah dibukanya teve-teve swasta di Indonesia, mulai bermunculan sinetron-sinetron yang digandrungi generasi pada zamannya (1990-an). Kita mengenal nama Uci Bing Slamet dan Ratna Lusiana Albar yang kemudian meroket namanya setelah membintangi film Kisah Cinta Tomi & Jeri bersama Rano Karno. Memasuki era 2000-an, Ratna terus membintangi sinetron-sinetron terkenal, seperti Ketika Cinta Bertasbih (spesial Ramadhan), hingga Tukang Bubur Naik Haji. Ia pernah menikah dengan rocker Gito Rollies, meski kemudian lebih menggeluti musik-musik pop bernada sendu, seperti Bukit Berbunga (1981), Kenangan di Desa (1982) hingga Masih Adakah Rindu (1983).

Dari jalur industri budaya keislaman, ada nama Haddad Alwi (1966). Habib dari marga Assegaf ini sempat mendominasi puncak tangga lagu-lagu islami, terutama sejak ia merilis lagu Cinta Rasul I (1999) dan Cinta Rasul II (2000). Lagu-lagu salawat dari dua album ini masih sering didaur-ulang oleh berbagai penyanyi religi. Lebih sering lagi, lagu-lagu itu dibawakan oleh grup hadroh atau marawis yang mulai menjamur di Indonesia sejak awal 2010-an.

Dari jalur musik rock, ada juga Bakar Bufthaim (1967-2022). Bakar adalah drummer grup Rotor yang ikut menghidupkan gelora musik rock metal di Indonesia. Bersama Irfan Sembiring, Rotor pernah menjadi grup musik pembuka konser Metallica di Lebak Bulus, Jakarta (1993). Bakar juga tercatat sebagai additional dan session player sejumlah artis dan grup musik ternama, seperti Edane, Ikang Fawzi, Anggung C Sasmi, Doddy Katamsi, Nicky Astria, hingga acara-acara besar di layar televisi.

Baca juga:  Film dan Biografi

Habib lainnya yang agak rapat merahasiakan nama aslinya adalah Ben Sohib, yang kini telah menulis dua novel sebagaimana Hafis Azhari, yakni The Da Peci Code (2006) dan Rosid & Delia (2008). Novel itu telah diadaptasi ke layar lebar melalui film 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta. Hasilnya, film ini pun terpilih sebagai film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) pada 2010 lalu. Ben Sohib juga pernah menulis skenario film Bidah Cinta yang mulai ditayangkan di bioskop seluruh Indonesia pada Maret 2017.

Dari jalur keturunan kesultanan Banten, ada lagi nama Nita Tilana (1962-2000). Ia adalah puteri dari Tubagus Ahmad Darajat, yang bila ditarik ke atas akan bersambung dengan Sunan Gunung Jati. Nita pernah menjadi penyanyi latar dan sempat pula menjadi vokalis grup musik Slank. Ia juga pernah menekuni dunia presenter di acara Panorama yang disiarkan oleh ANTV. Nita juga pernah memproduksi album solo berjudul Kau Bohong (1992), dan bekerjasama dengan musisi ternama, Adi Adrian.

Keluarga Besar Koeswoyo

Musik-musik legendaris sudah tak asing lagi dari Koes Brothers dan Koes Bersaudara, yang sebagian besar anggotanya telah lahir sebelum era kemerdekaan RI (1930-an). Mereka tergolong keturunan dari Sunan Drajat, anak Sunan Ampel bin Sayyid Maulana Ibrahim, Asmara bin Sayyid Jumadil Kubra, yang bila ditarik ke atas, akan sampai nasabnya kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Ada versi lainnya, yang menyatakan bahwa leluhur Koes Bersaudara adalah Sunan Muria. Sedangkan Sunan Muria adalah anak dari Sunan Kalijaga. Wali legendaris ini jika ditarik ke atas, akan bersambung dengan Abdul Muththalib atau kakek Nabi Muhammad. Jika versi ini yang dipakai, tidak jadi masalah, sebab mereka masih bertemu darah dengan Nabi Muhammad dari jalur kakeknya.

Karya-karya Koes Bersaudara yang kemudian dikenal dengan “Koes Plus” bisa ditelisik hingga renik-renik paling rinci sekalipun. Termasuk kiprah para anak-cucu Koeswoyo pasca Koes Plus, yang juga terlibat di dunia industri hiburan sejak masih kanak-kanak. Bahkan, tidak sedikit menelurkan album musik dan bermain film hingga saat ini, seperti Louisa Herning Hapsari atau Sari Yok Koeswoyo (1968), Mirza Riadiani Kesuma atau Chicha Koeswoyo (1968), Rangga Panji atau Angga Koeswoyo, yang sempat menjadi gitaris dari grup band Koes Plus Junior, David Koeswoyo, dan juga Damon Koeswoyo (1973) gitaris grup musik 1990-an, Kidnap Katrina, yang juga digawangi oleh Anang Hermansyah.

Ini hanya sedikit nama-nama yang berhasil dipindai oleh sahabat saya, Yaser Arafat, seorang budayawan dan dosen Universitas Islam Negeri, Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Di luar itu, tentu masih banyak nama-nama artis habaib yang selama ini berkiprah, serta terlibat aktif di ranah industri hiburan Indonesia. ***

https://alif.id/read/alw/kiprah-para-artis-keturunan-habaib-dari-penyanyi-hingga-pemain-film-b247646p/