Bisa Membaca ataukah Suka Membaca? Catatan Ringan Hardiknas

0 0

Read Time:6 Minute, 5 Second

Oleh Masyhari

Seorang guru anak kami bertanya kepada saya saat kemarin kami main ke rumahnya, “Apakah ada tips atau stretegi khusus agar anak suka membaca?”

Pertanyaan tersebut terlontar oleh sang guru, karena tahu putra sulung kami yang terbilang suka membaca dan termasuk 20 nominator duta literasi madrasah yang digelar beberapa bulan yang lalu.

Anak sulung kami yang sau ini selama di pesantren, selain memesan jajanan dan kebutuhan sehari-harinya via surat, ia selalu menyelipkan pesan agar kami kirimkan buku koleksi di rumah Cirebon kepadanya.

***

Begini, Kawan. Sebenarnya, kami tidak punya tips khusus untuk itu. Namun, yang pasti, kami punya prinsip bahwa: mengajarkan anak agar BISA membaca lebih mudah daripada mengajarkan anak agar SUKA membaca. Bisa membaca itu berbeda dengan suka membaca. Bisa itu satu hal, dan suka itu hal yang lain.

Sayangnya, banyak orang tua (dan guru) yang ketika mengajarkan para peserta didiknya membaca, lupa mengajarkan anak suka membaca dan suka buku.

Bahkan, banyak orang terlalu kuatir anak atau muridnya tidak bisa membaca saat mereka lulus TK atau saat kelas 1 atau 2 SD, tapi di sisi lain kadang tidak peduli anak-anak mereka suka membaca atau tidak. Padahal kurikulum kita saat ini, anak lulus TK tidak dituntut harus bisa membaca. Bahkan, kalau misalnya ada anak kelas 2 SD yang masih juga belum bisa membaca sekalipun, itu hal yang biasa dan wajar-wajar saja, bukan hal luar biasa.

Apa Indikator Ketidakpedulian Itu?

Tidak dipungkiri, ketika para orang tua menyekolahkan anak-anak mereka di TK dan PAUD, tidak jarang karena bertujuan agar anak mereka bisa Calistung, sebagai persiapan masuk SD. “Kalau tidak sekolah TK, nanti ketinggalan sama anak-anak lainnya!” kata sebagian mereka.

Bahkan, kalau misalnya, anak-anak mereka dianggap ‘tertinggal’ pelajaran dari teman-teman TK-nya, mereka tidak segan-segan mengikutsertakan anak-anak mereka dalam kelas privat membaca atau berhitung.

Hal itu menunjukkan bahwa para orang tua khawatir jika anak mereka yang masih TK atau SD awal itu belum bisa membaca. Kalau Anda sepakat kekhawatiran dibilang wajar, boleh saja.

Jujur, kalau kami (saya dan istri), selama ini sepakat untuk tidak menyekolahkan anak-anak kami pada usia pra-SD di TK/RA, apalagi PAUD. Kedua anak saya yang paling besar dan sudah bersekolah (7 MTs & 5 SD), langsung masuk SDN, ya SDN, bukan MI, dan saya pastikan sudah berusia 7 tahun.

Ini berbeda dengan pilihan kebanyakan orang tua di kampung sini (Lamongan bagian utara, misalnya, yang berbondong-bondong menyekolahkan anak mereka yang masih berusia 2 atau 3 tahun). Meskipun begitu, para kenyataannya, anak kami yang pertama dan kedua sudah bisa membaca tulisan bahasa Indonesia, padahal tidak bersekolah TK, apalagi PAUD/Play Group.

Mengapa demikian? Sebenarnya kami sedikit-banyak terpengaruh dengan kampanye HomeSchooling yang intinya yang terpenting belajar, bukan sekolah. Belajar bisa di mana saja. Dan ruang kelas tidak harus ada di sekolah. Bisa jadi seseorang bersekolah, tapi tidak belajar. Sebaliknya, bisa jadi ada seseorang yang tidak bersekolah, tapi dia selalu belajar.

Artinya, saat anak-anak masih berusia pra-SD, kami tidak memiliki kurikulum khusus dirumah. Anak belajar apa saja sesuka hati mereka, melalui apa yang mereka alami, lihat, dengar, dan rasakan dari orang tuanya, tetangganya, dan sanak-saudara mereka di sekitar mereka, baik di rumah atau di luar rumah. Belajar dari kehidupan nyata.

Kalau soal membaca bagaimana?

Soal anak kami saat itu sudah bisa membaca pada usia pra-SD, kebetulan mereka belajar membaca di TPQ. Itu pun sebatas selingan saja. Dan, kami tak terlalu serius mengenai hal itu, alih-alih menuntut bisa membaca.

Selebihnya, anak-anak memang sudah terbiasa dengan buku-buku. Lah wong di rumah memang ada banyak buku berjajar di rak. Buku-buku kami, oleh anak-anak yang masih balita dibongkar dari raknya, lalu kami rapikan lagi. Berulang-ulang. Kadang buku-buku itu dimainkan sama anak-anak, diambil dari rak, hingga berantakan, dan tidak jarang pula kusut dan sobek.

Mungkin ini yang dinamakan learning by doing. Belajar berantakin buku. Resikonya, buku-buku jadi korbannya.

Sebagai orang yang hobi koleksi buku, saat punya anak balita, saya belikan mereka buku bacaan untuk usia balita, yaitu buku cerita bergambar, termasuk komik. Saat membeli, tak jarang kami ajak mereka ke toko buku.

Tidak selalu baru, buku yang kami beli terkadang juga komik-komik bekas, edisi lama yang dijual murah. Di toko buku Gramedia Cirebon di jalan Cipto misalnya, kami tentu ajak masuk anak-anak di area buku obral cuci gudang, terlebih dahulu, sebelum ke lantai atas.hahaha, ngirit, Bro.  

Kalau ada event book fair, kami ajak mereka ke lokasi pameran. Sesekali kami ajak juga mereka ke perpustakaan terdekat. Kami biarkan anak-anak memilih buku kesukaan mereka.

Kadang kami bacakan buku-buku cerita itu kepada anak-anak. Tidak selalu, sih, itu pun waktunya tidak pasti. Kami memang bukan orang yang rajin dan istikamah dalam hal ini.kwkwkw

Maka, saat kedua anak sudah masuk SD dan bisa membaca, mereka suka mengajak jalan-jalan ke toko buku, khususnya saat liburan tiba. “Ayah, yuk ke Gramedia!”

Kalau sudah ke toko buku, kami biarkan mereka memilih buku yang mereka sukai. Kadang-kadang saja kami beri saran dan masukan. Selain itu, tentunya kami batasi nilai belanjaan maksimal pada hari itu, supaya tidak jebol kantong ortunya.hahaha

Makanya, anak-anak suka membaca buku. Sedari dulu hingga kini anak-anak yang memilih buku bacaan mereka sendiri, mulai dari komik Doraemon, Detektif Conan, komik edukatif Korea, hingga kini novel anak dan remaja.

Dan, biasanya kalau sepulang dari toko buku, mereka langsung mojok di posisi wenak, melahap buku-buku yang mereka beli, kurang dari sehari langsung khatam habis.     

Kami memang tidak menerapkan homeschooling secara sempurna, dan tetap menyekolahkan anak di SD saat mereka telah berusia 7 tahun, sesuai dengan aturan pemerintah kita. Makanya, anak kedua kami yang lahir pada 2011 sekarang duduk dikelas 5 SD, dan anak pertama yang lahir pada 2009 baru kelas 7 MTs. Rata-rata teman sekelasnya lebih muda darinya, karena mereka masuk SD/MI berusia kurang dari 7 tahun.  

Oh ya, dalam memilih sekolah anak-anak saat SD, kami tidak punya kriteria khusus yang aneh, selain yang paling dekat dengan rumah dan paling mudah dijangkau dengan jalan kaki atau bersepeda, sehingga tidak harus diantar oleh orang tuanya yang kadang tidak selalu bisa mengantar.

“Kan sekolah di PAUD dan TK bukan soal Calistung saja! Ada belajar akidah, akhlak, belajar bergaul, bermain, bernyanyi dan lain sebagainya,” mungkin Anda akan menjawab semacam itu.

Ya, itu tidak salah. Saya juga sepakat. Tapi, untuk belajar dan bergaul tidak harus juga di TK atau PAUD. Anak-anak bisa bermain dengan anak-anak tetangga rumah. Di rumah atau masjid, anak-anak bisa belajar mengaji. Di rumah dan lingkungan sekitar, anak bisa belajar berliterasi dan bermain. Bernyanyi? Anak-anak tanpa disuruh sudah belajar bernyanyi dari tayangan di YouTube.hehehe

Indikator ketidakpedulian suka-tidaknya anak terhadap membaca dan buku apa?

Ya, TK dan SD mengajarkan anak agar bisa membaca buku, tapi apakah mereka mengajarkan anak suka buku? Perhatikan saja, apakah di setiap kelas sekolah mereka ada rak berisi deretan buku bacaan (cerita bergambar), bukan buku paket pelajaran?

Baiklah. Kalau tidak di setiap kelas, minimal di satu sekolah, apakah ada perpustakaan yang berisi koleksi buku-buku bacaan yang disukai anak-anak, ataukah hanya berisi buku paket pelajaran? Kemudian, apakah sekolah/guru memberikan cukup waktu kepada para murid atau motivasi untuk membaca buku-buku tersebut?

Selamat Hari Pendidikan Nasional

Perdoto Sidokelar Paciran, 01-02 Mei 2023_1:05 WIB

About Post Author

Masyhari

Founder rumahbaca.id, pembina UKM Sahabat Literasi IAI Cirebon

Happy

Happy

0 0 %

Sad

Sad

0 0 %

Excited

Excited

0 0 %

Sleepy

Sleepy

0 0 %

Angry

Angry

0 0 %

Surprise

Surprise

0 0 %