Sebelum saya masuk ke tulisan utama, saya ingin sedikit mengawalinya dengan sebuah cerita tentang water cycle di dalam pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap (coal-fired power plant). Dalam pembangkit listrik jenis ini, uap panas bertekanan tinggi (temperatur >280 C, tekanan >70 bar) digunakan untuk mendorong turbin sehingga ia bisa berputar sekira 3000 rpm untuk menggerakkan generator listrik sehingga darinya sekian megawatt listrik dihasilkan.
Karena krusialnya peran ini, uap panas yang dihasilkan oleh boiler (mesin untuk mem-boil, mendidihkan, menguapkan air) harus dijaga sedemikian rupa kualitasnya. Selain untuk menjaga performanya dalam mendorong mesin turbin, ia juga harus dijaga kemurniannya supaya material di dalam sistem boiler tidak tergerus (baca: terkorosi) olehnya. Salah satu upaya untuk menjaga sikus air-uap di dalam sistem boiler tersebut adalah dengan cara menghilangkan oksigen (O2) sebagai pemicu korosi, sekecil mungkin, setiada mungkin.
Salah satu upaya untuk meniadakan oksigen di dalam air panas (>150 C) sebelum diuapkan adalah dengan mereaksikannya secara kimiawi dengan senyawa yang biasa disebut Hydrazine (N2H4). Cara kerjanya kurang lebih demikian: Pertama, secara stoikiometrik akan dihitung berapa banyak hydrazine yang dibutuhkan untuk menghilangkan sekian banyak oksigen. Kedua, secara empiris dalam skala lab, akan diketahui berapa dosis hydrazine yang tepat hingga oksigen tiada. Ketiga, secara real di lapangan, diukur kandungan residual hydrazine setelah reaksi kimia itu terjadi. Jika ada residual hydrazine (sisa hydrazine), itu berarti kadar oksigen sudah tidak ada.
N2H4 + O2 → N2 + 2H2O
Menariknya, nilai residual hydrazine ini belum tentu disepakati oleh semua kalangan. Ada pihak yang menyebutkan bahwa residual hydrazine minimal adalah 10 ppb (part per billion) untuk menjamin bahwa oksigen sudah tidak ada. Tetapi ada juga pihak yang berpendapat bahwa selama ada nilai residual hydrazine yang terdeteksi meskipun 1 ppb, itu tandanya oksigen sudah habis bereaksi dengan hydrazine.
*
Wa ba’du. Dalam dua minggu belakangan entah kenapa perdebatan muncul di ruang publik khususnya di media sosial terkait perbedaan hari idulfitri. Hal ini dipicu oleh perbedaan hasil wujudul hilal versi rukyah dan versi hisab. Sebenarnya perbedaan semacam ini sudah terlalu ‘jadul’ untuk terjadi kembali, bahkan ramai, di zaman yang sudah sedemikian maju. Amat disayangkan memang. Tetapi apapun itu realitas itu penting untuk dihadapi karena agamapun merupakan produk dari persinggungan wahyu dan realitas.
Dalam perspektif rukyah (rukyatul hilal), tentu ini sesuai dengan teks hadits yang sudah populer terkait petunjuk penentuan Idulfitri atau Ramadan,
…فصوموا لرؤيته و افطروا لرؤيته الخ…
Bagi konsesus yang pro dengan rukyatul hilal, tantangannya ada pada wujud hilal itu sendiri dapat dilihat pada derajat berapa. Untuk saat ini, pemerintah menetapkan 3 derajat. Akan tetapi, pemerintah di era sebelumnya, atau pemerintah di negara lain, belum tentu sama-sama menyepakati besaran derajat tersebut. Ada yang menetapkan batasan 2 derajat, 4 derajat, bahkan ada yang menentukan 15 derajat. Ala kulli hal, meskipun kadar derajatnya berbeda, mereka meyakini satu hal yang sama bahwa hilal harus terlihat oleh mata, sesuai definisi ru’yah (melihat).
Lain halnya dengan kalangan yang cenderung cocok dengan metode hisab. Mereka meyakini bahwa melakukan pengamatan dan perhitungan terhadap gerak faktual bulan di tata surya memiliki hasil yang lebih dapat dipertanggung jawabkan. Singkatnya, asal hilal sudah berada di atas ufuk, mau berapa derajatpun, bahkan 0.1 derajat, itu sudah diyakini sebagai wujudul hilal. Kedua kalangan ini mirip analogi sederhana yang saya utarakan di awal. Kedua kalangan sama-sama memiliki tujuan sama, hanya saja dasar pijaknya agak berbeda.
Dalam perbedaan ini, tampaknya pandangan Imam Al-Ghazali (450-505 H) perlu untuk diketengahkan sebagai pijakan alternatif. Dalam salah satu kitabnya yang berjudul Faishal at-Tafriqah, ia membagi definisi ‘al-wujud’ alias ‘ada’ dalam pembagian (taqsim) yang sangat menarik menjadi 5 (lima) tingkatan.
فأقول:
التصديق: إنما يتطرق إلى الخبر، بل إلى المخبر.
وحقيقته: الاعتراف بوجود ما أخبر الرسول صلى الله عليه وسلم عن وجوده. إلا أن للوجود خمس مراتب، ولأجل الغفلة عنها نسبت كل فرقة مخالفها إلى التكذيب. فإن الوجود: ذاتي، وحسي، وخيالي، وعقلي، وشبهي.
Dua di antara kategori ‘wujud’ itu adalah wujud adz-dzati dan wujud al-aqli. Ia mendefinisikan wujud dzati sebagai berikut:
أما الوجود الذاتي: فهو الوجود الحقيقي الثابت خارج الحس والعقل، ولكن يأخذ الحس والعقل عنه صورة، فيسمى أخذه إدراكاً.
وهذا كوجود السموات والأرض، والحيوان، والنبات، وهو ظاهر بل هو المعروف الذي لا يعرف الأكثرون للوجود معنى سواه.
Bagaimana halnya dengan wujud aqli?
وأما الوجود العقلي: فهو أن يكون للشيء: روح، وحقيقة، ومعنى. فيتلقى العقل مجرد معناه، دون أن يثبت صورته في خيال، أو حس، أو خارج، كاليد مثلاً فإن لها: صورة محسوسة ومتخيلة. ولها معنى هو حقيقتها، وهي القدرة على البطش. والقدرة على البطش هي اليد العقلية.
وللقلم صورة، ولكن حقيقته ما تنقش به العلوم، وها ما يتلقاه العقل من غير أن يكون مقروناً بصورة (قصب) و(خشب) وغير ذلك من الصور الخيالية والحسية.
Sungguh pembagian yang teliti sekaligus menarik bukan? Boleh jadi, kalangan pro-rukyah lebih sreg dengan wujudul hilal secara dzati sampai hilal ini betul-betul terlihat tanpa butuh adanya permisalan, takwil, ataupun analogi.
Akan tetapi, kalangan pro-hisab boleh jadi lebih mantap dengan definisi al-wujud al-aqli terhadap makna ‘rukyah’ itu sendiri. Dalam kata ‘rukyah’ mengandung makna takwil bahwa ia tidak harus benar-benar melihat secara definitif oleh mata. Dengan perangkat ‘takwil’, makna rukyah dan wujudul hilal ini dirasa lebih fleksibel dengan memanfaatkan segenap ilmu pengetahuan dan teknologi astronomi yang jauh lebih maju dibanding era saat hadits tersebut lahir.
Keduanya dibenarkan oleh model taqsim tentang arti wujud (ada) ala Al-Ghazali ini. Lantas apakah Al-Ghazali bukan ulama Fiqh sehingga pendapatnya terkait ini terkesan menggampangkan hal-hal dalam domain Fiqh?
Dalam catatan Prof. Abdurrahman Badawi (1917-2002) pada kitabnya yang bertajuk ‘Muallafat al-Ghazali’, disebutkan bahwa sang Hujjatul Islam juga memiliki karya kitab-kitab di bidang Fiqh, yaitu al-Basith, al-Wasith, dan al-Wajiz. Menariknya, kitab-kitab Fiqh ini dikarang pada saat awal karirnya sebagai dosen di ‘UIN’ Nidhamiyah Baghdad, pada awal periode yang disebut Badawi sebagai Fatrah al-Ula (478-488H). Jadi, Al-Ghazali terbukti sudah menjadi Faqih betulan pada usia akhir 20-an atau awal 30-an. Sungguh usia yang cukup belia untuk seorang Fuqaha.
Menariknya lagi, kitab Faishal at-Tafriqah yang didalamnya kental membahas topik-topik ekuminisme islam (kerukunan umat muslim untuk saling menghormati satu sama lain) termasuk pembagian konsep wujud di atas itu ditulis pada periode uzlah dan khalwat-nya (488-499 H). Jadi, kitab ini dikarang pada satu periode yang sama dengan kitab legendarisnya, yaitu Ihya Ulumuddin, meskipun lebih duluan kitab magnum opus-nya tersebut.
Badawi dalam muallafat menyebutkan numerasi karya-karya Al-Ghazali bahwa ketiga kitab Fiqh tersebut merupakan karangan nomor 3, 4, dan 5. Sedangkan kitab Ihya dan Faishal merupakan karya nomor 28 dan 43. Sehingga menjadi cukup jelas atas jawaban pertanyaan di atas bahwa Al-Ghazali juga seorang Fuqaha. Hanya saja ia mengawali ‘karir’ sebagai ahli Fiqh sejak muda sedangkan era-era berikutnya cenderung meminati keahlian-keahlian lainnya sebagaimana karya-karyanya yang puluhan itu.
Terkait dengan keriuhan idulfitri ini yang eksesnya bahkan belum selesai sampai hari ini, Imam Al-Ghazali juga sempat mengingatkan bahayanya ‘poropadu’ (parapadu), al-khusumah. Penyakit mulut jenis ini ditempatkan secara khusus pada bab Afatul Lisan nomor 5 (lima). Ia berpesan dengan mengutip dawuh kanjeng Nabi Muhammad SAW dari Abu Hurairah RA,
من جادل في خصومة بغير علم لم يزل في سخط الله حتى ينزع
“Barangsiapa berdebat dalam suatu perselisihan tanpa ilmu maka ia tetap dalam murka Allah sampai murka-Nya tersebut dicabut sesuai kehendak-Nya.”
Sungguh mengerikan, ya? Pertanyaan selanjutnya, terutama bagi saya sendiri, apakah pesan-pesan Al-Ghazali di atas memang benar-benar pas untuk diketengahkan ke publik atas keriuhan perbedaan hari Idulfitri belakangan ini?
Pertanyaan ini mengingatkan pada pertanyaan Kiai As’ad Syamsul Arifin kepada santrinya saat itu, yaitu Kiai Ghazali Ahmada, saat sang santri senior tersebut mengajar kitab Fathul Mu’in di pesantren (Kiai Ghazali ini merupakan ayahanda Kiai Moqsith Ghazali). Kiai Asad bertanya kurang lebih begini sebagaimana cerita Kiai Moqsith, “Apakah kamu yakin bahwa yang kamu sampaikan itu sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Syaikh Zainuddin Al-Malibari?”
Pertanyaan yang tidak mudah dijawab seketika bukan?
https://alif.id/read/ahmad-irwiyan-haq/pesan-al-ghazali-dalam-ribut-ribut-idulfitri-b247659p/