Tradisi lebaran lekat dengan tradisi silaturahim mengunjungi setidaknya keluarga, tetangga dan guru. Dalam tradisi jawa, silaturahim lebaran masyhur dikenal dengan istilah unjung (dari kata kunjung) atau syawalan. Sebagai momen satu tahun sekali, momen unjung atau syawalan lebaran dilakukan dengan dua niat utama yaitu bersilaturahim dan meminta-memberi maaf.
Silaturahim yang dimaknai secara bahasa an-sich berarti menyambung hubungan kekerabatan sedarah. Namun pemaknaan ini meluas seiring pemahaman bahwa manusia tidak hanya berhubungan dengan kerabat yang sedarah melainkan juga dengan manusia lain yang memberikan kontribusi kepada kita dalam keseharian seperti guru dan tetangga. Maka unjung atau syawalan lebaran dengan cara silaturahim meminta dan memberi maaf seyogyanya juga dilakukan ke guru-guru dan tetangga.
Sampai disini, tradisi unjung atau syawalan lebaran menjadi clear antara istilah dan tujuan yang hendak dicapai. Lalu bagaimana dengan unjung atau syawalan lebaran kepada Ulama’ lokal yang masih belum banyak dibicarakan?.
Tradisi unjung atau syawalan lebaran kepada Ulama’ lokal menjadi hal yang unik bagi beberapa daerah di Jawa. Secara logika, tidak ada ‘illat yang mengharuskan kita datang kepada Ulama’ untuk saling meminta dan memberi maaf di hari lebaran karena ketidakterlibatan secara langsung. Silaturahim kepada Ulama’ tentunya bisa dilakukan dalam hari-hari biasa, begitu logika umumnya.
Namun sekali lagi, beragama tidak semata mengandalkan logika namun juga perlu mengedepankan aspek lain yang melingkupinya. Faktanya, animo masyarakat menjalankan tradisi ini cukup tinggi. Kita bisa cermati dari masyarakat yang tiap tahun mendatangi Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an kompleks makam Kyai Arwani Amin Kudus untuk unjung atau syawalan lebaran silaturahim kepada Kyai Ulin Nuha Arwani Al-Hafidz dan Kyai Ulil Albab Arwani Al-Hafidz yang merupakan putra Kiai Arwani Al-Hafidz, penerus Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an.
Prosesi yang Dilakukan
“Open house” ndalem kyai dibuka pada lebaran hari kedua tepatnya tiap tanggal 2 Syawwal hingga tujuh hari kedepan. Lebaran hari pertama biasanya digunakan bersama keluarga. Beberapa kyai, bahkan meluangkan lebaran pertamanya dengan mengundang secara khusus tetangga sekitar sore atau malam harinya selepas pagi hari bersama keluarga. Begitu cerita salah seorang teman yang merupakan salah satu tetangga
Pada hari-hari tersebut masyarakat umum dari berbagai wilayah datang. Biasanya mereka datang bersama rombongan keluarga, saudara atau tetangganya. Kebanyakan mereka bukan para wali santri. Sebab wali santri mendapat jadwal tersendiri yang dibarengkan dengan kembalinya santri ke pesantren. Diantara mereka juga terdapat beberapa santri alumni yang datang bersama keluarganya. Sebagian santri alumni lainnya memilih berkunjung pada acara khusus alumni yang rutin diadakan di minggu kedua lebaran.
Dalam pelaksanaannya, masyarakat yang datang akan dipersilahkan masuk dengan menyesuaikan ketersediaan tempat yang ada. Sebagian yang lain akan menunggu di luar dengan ditemani beberapa santri putra yang berjaga di setiap gerbang masuk baik tamu putra maupun putri. Banyaknya tamu yang datang mengharuskan pengurus pesantren menyiapkan beberapa hal selain hal pokok papan suguhan diantaranya pemisahan tamu putra dan putri, pemisahan jalur masuk dan jalur keluar serta area parkir yang juga dibantu oleh para warga sekitar.
Setiap satu gelombang tamu yang masuk akan disambut oleh santriwan atau santriwati (kang-mbak ndalem) yang berlebaran di pesantren. Mereka akan menyambut dengan senyum dan salam serta memberikan se-cup air mineral khas Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an.yaitu air mineral KH-Q yang merupakan air khataman Al-Qur’an yang dihasilkan oleh pondok pesantren.
Selepas tamu duduk di meja dan kursi, para santriwan atau santriwati akan mempersilahkan dan memastikan tamu mengambil suguhan kue-kue yang telah disusun rapi dalam toples. Sambil menunggu satu gelombang masuk dan duduk dengan tenang, tamu bisa mencicipi sekira satu atau dua kunyahan kue yang ada. Setelah tamu dipastikan duduk dan tenang, Kyai akan memulai sambutannya dengan menyampaikan salam selamat idul fitri, rasa terima kasih dan kesediaan saling menghalalkan yang selanjutnya ditutup dengan do’a.
Setelah ditutup dengan do’a, salah satu pengurus putra akan melantunkan shalawat yang diikuti dengan tamu bersalaman dengan Kyai satu per-satu. Tidak lebih dari 10 menit acara berlangsung, gelombang kedua kemudian menyusul masuk dan begitu seterusnya hingga waktu dhuhur tiba.
Ibrah
Animo masyarakat umum yang menjalankan tradisi sowan kepada Ulama lokal dari tahun ke tahun menjadi penanda bahwa lebaran tidak hanya identik dengan berkunjung pada keluarga, saudara atau tetangga saja. Dari tradisi tersebut, silaturahmi menjadi luas dan semakin indah maknanya. Selain sebagai penyambung ikatan sebagaimana arti harfiyahnya atau sebagai sarana memperpanjang rizki sebagaimana hadits yang selama ini berkembang, silaturahmi memiliki satu pemaknaan lagi yaitu sebagai sarana tabarruk mencari keberkahan pada Ulama.
Dengan adanya “open house” yang diselenggarakan para kyai, masyarakat umum tidak perlu merasa insecure ketika ingin datang memperoleh berkah kepada Ulama lokal (Ash-habul Wilayah) yang selama ini mereka jadikan panutan. Saya membayangkan jika tidak ada “open house”, berapa banyak mereka masyarakat biasa yang harus memendam keinginannya untuk bertemu Ulama panutannya hanya karena malu, ewoh, harus mempersiapkan sambutan apa atau bawaan apa yang sebaiknya dihaturkan kepada kyai.
Meski acara berlangsung sebentar dan sederhana, tidak sedikit kita temui mereka yang bersama rombongan memang menjadikan agenda rutin tahunan demi menyambung do’a dan melihat wajah Ulama panutannya.
https://alif.id/read/yar/tradisi-unjung-atau-syawalan-lebaran-ke-ulama-lokal-b247674p/