Nak, Ayo Mondok!

Seusai perhelatan Silaturahim Nasional Gerakan Nasional Ayo Mondok di Taman Chandra Wikwatikta, Pandaan, Mei 2016, saya berkesempatan sowan dan meminta nasehat pada Kiai tempat saya ngangsu ilmu dan laku selama di Pesantren.  Bagi saya ini penting, karena gagasan gerakan Ayo Mondok didedikasikan bagi branding promotion  kepada khlayak muslim kota, klas menengah  dan anak muda tentang cita rasa pendidikan pesantren.

Bermula dari ide Gus-gus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ada Gus Lukman Tremas, Gus Rozin Kajen, Gus Reza Lirboyo, dan gus-gus keren lainnya. Ayo Mondok terus berefek bola salju, hingga kini pesantren sudah mulai menjadi buah bibir di ruang makan dan ruang tidur orang tua, bahkan diobrolkan anak-anak di klas atau ruang santai sekolah. Walau belum menjadi top of mind, tapi brand pesantren sudah mulai saba kota, masuk dalam radar logika pragmatis-rasional kaum urban, menjadi alternatif di tengah kontestasi lembaga dan layanan pendidikan unggulan-modern. Bahwa Pesantren itu Keren!

“Jaman akhir, pondok pesantren kian dibutuhkan!” Kiai memulai nasehat. Dengan setengah menunduk, saya lihat wajah Kiai begitu cerah, berhias senyum. Sorot matanya menerawang. Namanya Kiai Abdurrahman Yahya, pengasuh Pondok Gading Malang. Kepadanya, saya mendaras berbagai sanad ilmu kitab kuning via pengajian bakda shubuh hingga dluha, sebelum berangkat kuliah. Masih terngiang, nada suara nyaring lafaz ‘haddatsana’ menyusuri halaman demi halaman di Kitab Hadits Bukhary yang beliau baca. Kiai Abdurrahman, Al-mursyid, wafat pada Jum’at 4 Mei 2018. Alfatehah.

Baca juga:  Manuskrip Nusantara: Mutiara yang Terabaikan di Leiden

“Begitulah Kanjeng Nabi menerima wahyu pertama kali dari Allah melalui Malaikat Jibril, dan itu tentang pendidikan. Dengan prinsip ini pendidikan pesantren dijalankan.” Suaranya lirih. Saya kian memasang telinga saat Kiai membacakan  Lima ayat pertama dari surat Al Alaq. Cara Kiai memaknai ayat demi ayat, cukup mengenyangkan, konseptual dan kontekstual dengan isu utama yang sedang saya coba ketengahkan.

Iqra’, bismi rabbikal-ladzi khalaq. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang Menjadikan. Bagi Kiai ini soal pendidikan Iman. Hal pertama yang harus ditanamkan para pengasuh pesantren pada  pada santrinya sebelum yang lain-lain. Khalaqal Insana Min ‘Alaq. (Tuhan) menciptakan manusia dari Segumpal Darah. Allah menyebut asal-usul penciptaan, agar manusia tidak lupa daratan, tahu diri, dari apa dia berasal. Sel sperma dan ovum yang berkelindan menjadi darah. Ini pesan tentang pendidikan akhlaq. Kesempurnaan akhlaq adalah misi nabi dari Allah. Karena itu, akhlaq adalah hal utama setelah iman. Akhlaq adalah karakter, hal kedua yang ditanamkan Pesantren pada santri.

Saya mulai berpikiri tentang posisi Ilmu. Iqro’, wa rabbukan akrom, alladzi ‘allama bil qalam. Bacalah. Dan Tuhan-Mu lah yang Lebih Unggul, Memberi Ilmu dengan Qalam. Iman, Akhlaq baru Ilmu. Allah mendasarkan pentingnya ilmu pada keunggulan Dzat-Nya yang berkuasa menebar ilmu melalui sistem pendidikan berupa Qalam Alam Semesta yang luas tak bertepi. Ada penegasan tentang pentingnya Ilmu melalui ayat ini. Tapi posisinya setelah Iman dan akhlaq.

Baca juga:  Tafsir Pisang dan Pesan H Munawar Chalil

Belum sempurna rasanya saya merenung dan mencerna, Badan terasa menghangat tak sabar menunggu apa berikutnya. ‘Allamal Insana Ma lam ya’lam. (Tuhanmu) yang mendidik manusia ilmu yang belum mereka kuasai ketahui. Ilmu bukan hanya untuk diraih dan dikejar, tapi lebih dari itu, untuk diamalkan, diajarkan. Ilmu tanpa amal, ibarat pohon tanpa buah. Di Pesantren ada terminologi Ilmu Manfaat, ilmu yang bisa diamalkan, diajarkan, memberi manfaat kepada sesama. Karena kemanfaatan itu, maka ilmu itu menjadi Hikmah. Terminologi ini diinspirasi sabda ‘Khairunnas Anfa’uhum Linnas’. Manusia Terhebat, adalah yang paling banyak beri manfaat pada sesama. Santri terbaik adalah santri yang bisa praktekkan ilmunya. Begitu kira-kira.

Ini tentu pesan keren dari Bilik Pesantren tentang pendidikan di era modern. Tatkala orang tua mulai khawatir tentang moralitas dan daya tahan generasi mereka di era turbulensi global, pesantren konsisten dengan konsep dan substansi pendidikannya. Tetralogi Iman-Akhlaq-Ilmu-Amal sudah menjadi trade mark, merek dagang pesantren selama ini. Tatkala Sistem Pendidikan Nasional baru tersadar dalam mengarusutamakan Pendidikan Karakter, pesantren justru telah menerapkannya sejak jaman baheula.

Pragmatisme dan kapitalismelah yang meninabobokan cara pandang manusia tentang substansi pendidikan. Kapitalisme sebagai salah satu efek globalisasi membujuk manusia mengukur segala sesuatu dari sisi duniawi: kekayaan dan kekuasaan. Pendidikan pun dibajak untuk mengabdi pada tujuan kekayaan (hubbud-dunya) dan kekuasaan (hubbul-jah). Bagi pesantren, kaya dan kuasa adalah hak prerogatif Tuhan dan hanya sekadar efek dari ikhtiar dalam bingkai tetralogi Iman-Akhlaq-Ilmu-Amal. Bukan sebaliknya.

Baca juga:  Karya Sastra dan Kebenaran Ilmiah

Pendidikan pesantren mengajari kita memperioritaskan yang penting dan utama. Hal-hal terkait kaya dan kuasa sudah ada di garis tangan, akan tiba, saat masanya menjelang. Kiai-Kiai memberi tuntunan, meniti kehidupan, harus dari tangga demi tangga, terus sabar melangkah, hingga saatnya nanti, terbang di cakrawala.

Tak ada yang lebih dirisaukan dari generasi mendatang, selain keteguhan karakter dan pemahaman akan jati dirinya sebagai hamba beriman dan sebagai anak bangsa. Tugas orang tua membekali dan menuntunnya. Dan pesantren sudah tahu apa yang harus diperankan, untuk membantu kita para orang tua. Walhasil, pesantren masih yang terbaik dalam membentuk dan menanamkan ‘tetralogi’ iman, akhlaq, ilmu dan amal shaleh anak-anak kita.

Di era dimana gaya hidup milenial telah dan akan terus menjadi bola salju, maka saatnya pesantren menjadi titik temu dan kompromi indah, antara tugas mandatori kita sebagai orang tua dengan gaya hidup serba simpel dan keren ala generasi masa kini. Sekali lagi, titik temu yang indah. Nak, Ayo Mondok!

https://alif.id/read/hakim-jayli/nak-ayo-mondok-b247687p/