Pribumisasi Islam: Budaya Penghormatan Pada Empat Pemimpin di Madura

Wacana mengenai pribumisasi Islam sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Nusantara yang kaya dengan kebudayaan, tradisi, bahasa, hingga agama. Dalam hal agama, setiap orang bebas berkeyakinan, memeluk serta mengekspresikan ajaran keagamaannya masing-masing. Begitupun dalam budaya yang menjadi akar penting mengapa nilai-nilai moral bangsa ini terus hidup dan melekat dalam kehidupan sehari-hari. Dialog antara kebudayaan dan keagamaan (dalam hal  ini Islam) itu yang menjadi titik permulaan pembahasan mengenai pribumisasi Islam di Nusantara.

Seorang budayawan muda Indonesia, Irfan Afifi, dalam suatu diskusi menyampaikan bahwa manusia pada hakikatnya memiliki sifat baik di dalam dirinya. Sifat dasar itu jika semua manusia menyadari dan melakoninya, tentu akan membentuk kebudayaan yang juga baik. Sifat kebaikan itu yang menjadi titik penghubung antara kebudayaan dan ajaran Islam. Oleh karena itu, jika kita melihat orang-orang terdahulu yang kehidupannya penuh dengan kebudayaan, itu banyak sekali yang menyimpan nilai-nilai Islam.

Di Indonesia sendiri, terdapat banyak kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Namun, di sini saya secara khusus akan membahas tentang kebudayaan yang berkembang dan bahkan menjadi falsafah hidup, yaitu di pulau Madura. Kebudayaan dalam menghormati empat sosok pemimpin dalam struktur sosial masyarakat Madura yang berkembang hingga sekarang. Budaya menghormati pada empat sosok pemimpin itu juga dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam yang mereka pegang.

Baca juga:  Ketupat Qunut di Masjid Kampung Betawi

Budaya Penghormatan Pada Empat Pemimpin di Madura

Wajah Islam di Madura sangat unik dalam khazanah Islam di Nusantara. Nilai-nilai antara keislaman dan kebudayaan di Madura berhubungan begitu dekat, kalau bukan menyatu. Hal ini yang membuat unik dan membuat Islam sangat lekat dalam kehidupan sehari-hari mereka. Keteguhannya dalam “berislam”, juga memengaruhi bagaimana mereka bertindak, berbudaya, berbahasa, dan berpakaian. Bahkan ada beberapa anggapan yang mengatakan orang Madura itu konservatif. Padahal, mereka hanya menjalankan perintah agamanya dan kebudayaan mereka yang harus dilestarikan.

Dalam kebudayaan Madura, ada falsafah bhuppa’, bhabbhu’ ghuru dan rato, yang berarti bapak, ibu, guru dan raja. Falsafah tersebut merupakan budaya masyarakat Madura terhadap empat sosok pemimpin yang harus dihormati. Bahkan akan ada sanki sosial jika seseorang melanggarnya tanpa alasan yang semestinya. Penghormatan itu merupakan kebudayaan yang berkembang dan selaras dengan nilai-nilai Islam, di mana Islam selalu menganjurkan untuk menghormati orang lain.

Terlepas dari terdapatnya unsur patriarki dalam hierarki penghormatannya tersebut, yang mana penempatan pertama seorang bapak, namun masyarakat Madura tidak lantas mengesampingkan seorang Ibu. Bapak dan Ibu sebetulnya sudah tidak bisa lagi dipisahkan. Makanya, di masyarakat Madura yang paling sering diucapkan adalah “hormatilah kedua orang tua kalian”, bukan hormatilah bapak kalian, kemudian Ibu. Saya rasa, penempatan bapak dan kemudian Ibu dalam falsafah masyarakat Madura tersebut hanyalah untuk melegitimasi bahwa bapaklah seorang pemimpin rumah tangga. Bukan lantas menjatuhkan seorang Ibu, melainkan keduanya saling membutuhkan.

Baca juga:  Makna Hari dalam Tradisi Jawa

Falsafah menghormati kedua orang tua di masyarakat Madura masih hidup sampai sekarang. Artinya, falsafah tersebut sudah menjadi  kebudayaan yang diwariskan dari orang-orang terdahulu mereka. Sehingga, falsafah tersebut sangat penting untuk terus dilestarikan dan ditanamkan hingga ke generasi-generasi selanjtunya. Karena penghormatan kepada kedua orang tua selaras dengan apa yang ada di dalam ajaran Islam. Ia telah diperintahkan oleh Allah di dalam Al-Quran dan dalam hadits Nabi SAW.

Selanjutnya, penghormatan kepada ghuru. Ghuru dapat bermakna guru, ustadz, kiyai,  atau ulama. Penghormatan kepada sosok guru merupakan hal yang wajib dilakukan di masyarakat Madura. Seorang Guru/Kiyai adalah lentera ilmu pengetahuan bagi mereka, yang mengajarkan tentang agama, baik dan buruk, dan ilmu-ilmu lainnya. Utamanya dalam hal ini peran “guru alif” di dalam mendidik santri-santrinya. Disebut “guru alif”, karena mereka yang membimbing dan mengajarkan tata cara membaca Al-Quran mulai dari huruf hijaiyah “alif, ba, ta” dan seterusnya. Guru alif adalah orang yang tidak boleh dilupakan oleh santrinya sampai akhir hayatnya. Bahkan guru  alif dianggap sebagai orang tua kedua setelah orang tua kandung.

Kemudian yang terakhir penghormatan kepada rato yang dapat bermakna raja atau penguasa pemerintahan. Masyarakat Madura menempatkan raja atau pejabat pemerintah di  dalam  falsafah hidupnya. Seorang penguasa (dalam hal ini penguasa yang baik), wajib dihormati karena dia memiliki peran  dalam membangun kesejahteraan masyarakat. Pejabat yang demikian—baik dan tulus membangun kesejahteraan kepada rakyatnya—dalam hati masyarakat Madura memiliki  keistemewaan.

Baca juga:  Menapak Jejak Musik Klasik Dinasti Abbasiyah

Penghormatan kepada empat sosok pemimpin itu di masyrakat Madura telah menjadi falsafah hidup mereka yang terhimpun dalam kata bhuppa’, bhabbhu’, ghuru, dan rato. Penghormatan tersebut tentu selaras dengan nilai-nilai Islam yang telah membudaya. Budaya penghormatan itu juga memengaruhi bagaimana mereka bersikap, bertindak, berbahasa hingga berpakaian jika berhadapan dengannya. Seperti juga kebudayaan di daerah lain, akan ada sanksi sosial jika ada yang  melanggarnya.

Di sinilah pentingnya pribumisasi Islam, di mana nilai-nilai Islam membudaya di kehidupan manusia. Melalui kebudayaan, Islam akan sangat terasa ringan. Tidak perlu ada paksaan. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Islam dan kebudayaan memiliki keterhubungan. Islam yang merupakan agama rahmatan lil ‘alamin dan kebudayaan lahir dari sifat dasar manusia yang hakikatnya adalah baik.

https://alif.id/read/fzr/pribumisasi-islam-budaya-penghormatan-pada-empat-pemimpin-di-madura-b247697p/